Penyakit Menular dan Masa Depan
Terlepas dari pandemi Covid-19 di tahun 2023, kita tetap harus dalam kondisi siap menghadapi risiko di masa depan.
Tahun 2023 patut dimaknai sebagai titik balik dunia yang telah berhasil mengalahkan pandemi Covid-19. Pada Mei 2023, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO secara resmi mencabut status kedaruratan kesehatan global untuk penularan Covid-19 di dunia. Sejak saat itulah kehidupan masyarakat mulai kembali normal.
Sekalipun–jika harus diingat kembali–berbagai penderitaan dan krisis harus dialami oleh banyak orang di setiap sudut dunia saat pandemi terjadi. Namun, kondisi tersebut seharusnya bisa menjadi pemelajaran yang sangat baik bahwa dunia harus bersiap dan harus selalu siap akan risiko pandemi.
Setelah status pandemi dicabut, itu tidak berarti penularan Covid-19 yang disebabkan oleh virus Sars-CoV-2 bisa 100 persen hilang di dunia. Penularan masih terjadi, namun lebih terkendali. Baru-baru ini pun dilaporkan adanya subvarian Omicron JN.1. Adanya subvarian tersebut membuat lonjakan kasus terjadi, meski tingkat fatalitas atau kematian dari penularan tidak tinggi.
Selain Covid-19, beberapa penyakit menular pun muncul. Penyakit cacar monyet yang kemudian disebut Mpox sempat membuat geger dunia. WHO sempat menyatakan penularan Mpox sebagai kedaruratan kesehatan global.
Penyakit tersebut sebenarnya bukan penyakit baru. Pada 1980, penyakit cacar monyet dinyatakan telah berhasil dieradikasi. Artinya, penyakit itu tetap ada, tetapi hanya terjadi di beberapa negara.
Namun, pada 2022, penyakit cacar monyet yang disebabkan virus monkeypox ini menyebar ke banyak negara. Gejala penyakit ini berbeda dengan sebelumnya. Pada cacar monyet sebelumnya, ruam muncul merata pada tubuh, namun pada cacar monyet kali ini ruam dan lesi terlokalisasi di beberapa tempat. Sebelumnya, kasus cacar monyet juga ditemukan pada semua usia, sementara cacar monyet atau Mpox yang baru lebih banyak pada usia dewasa.
Pandemi
Munculnya penyakit infeksi emerging ataupun penyakit infeksi emerging baru bukan anomali. Para ahli telah memprediksi munculnya penyakit yang bisa jadi pandemi.
Asisten profesor kedokteran Harvard Medical School di Rumah Sakit Umum Massachusetts Amerika Serikat (AS) Jacob Lemieux dalam riset yang dipublikasi pada 17 November 2022 di laman Harvard Medical School menyampaikan, pandemi akan terjadi berulang kali.
“Hal (pandemi) ini mungkin terjadi lebih sering karena adanya perubahan dalam cara kita berinteraksi, cara kita bergerak, dan cara kita berinteraksi dengan lingkungan yang telah memberikan banyak peluang bagi penyebaran patogen dari reservoir hewan dan menular dari orang ke orang,” kata Lemieux.
Hal (pandemi) ini mungkin terjadi lebih sering karena adanya perubahan dalam cara kita berinteraksi, cara kita bergerak, dan cara kita berinteraksi dengan lingkungan.
Artikel yang ditulis Abraham Haileamlak pada Ethiopian Journal of Health Science pada Maret 2022 menyebutkan beberapa faktor penyebab pandemi makin sering terjadi dengan cakupan lebih luas. Selain pola pergerakan dan interaksi manusia, seperti disampaikan Lemieux, faktor lain karena peningkatan interaksi manusia dengan hewan, kurangnya tenaga kesehatan, serta perubahan iklim.
Baca juga: Tetap Waspada Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Pergerakan dan interaksi antarmanusia yang tidak terbatas membuat penularan penyakit dari satu tempat ke tempat lain makin mudah. Pola pergerakan urbanisasi yang menuntut orang untuk tinggal di perkotaan dengan lingkungan padat membuat penyakit menular lebih mudah berkembang biak.
Selain itu, interaksi manusia dengan hewan yang meningkat turut menyebabkan risiko wabah akibat zoonosis atau penyakit yang ditularkan dari hewan. Covid-19 maupun Mpox merupakan zoonosis.
Sementara jumlah tenaga kesehatan yang kurang dan tidak merata, terutama di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah, membuat sistem kesehatan nasional tidak terbangun dengan kuat. Itu juga terjadi di Indonesia. Akibatnya, risiko penularan penyakit menjadi tinggi sehingga ancaman wabah akan meningkat.
Perubahan iklim
Ancaman lainnya akibat krisis iklim. Perubahan iklim memengaruhi penyebaran penyakit, seperti penyakit yang ditularkan akibat vektor nyamuk. Pemanasan global sebagai dampak perubahan iklim meningkatkan beban kesehatan lewat penyebaran malaria ke wilayah baru oleh parasit Plasmodium falciparum dan P vivax yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Anopheles (Kompas, 6/12/2023).
Hal itu juga dijelaskan dalam Laporan Kementerian Kesehatan bersama dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dan Speak pada tahun 2021.
Pada laporan itu disebutkan peningkatan suhu akibat perubahan iklim bisa meningkatkan laju replikasi virus. Peningkatan suhu juga dapat memperpendek durasi inkubasi ekstrinsik (EIP) serta mempercepat laju perkembangan nyamuk. Semakin tinggi suhu udara, perkembangbiakan parasit akan semakin cepat.
Karena itu, penularan malaria berisiko semakin cepat terjadi karena masa inkubasi parasit yang kian pendek. Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan frekuensi nyamuk dalam mengisap. Nyamuk yang berada di lingkungan dengan kelembaban tinggi akan menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit.
Baca Juga: Zoonosis yang Mengancam Kehidupan Manusia
Dampak pemanasan global pada risiko pandemi berikutnya bisa terjadi akibat gletser mencair. Dikutip dari TheGuardian.com, para peneliti di Ohio State University, AS, menemukan materi genetik dari 33 virus dan 28 di antaranya merupakan virus baru di dalam sampel es yang diambil dari dataran tinggi Tibet. Berdasarkan lokasinya, virus tersebut diperkirakan berumur kurang lebih 15.000 tahun.
Persiapan
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, pandemi berikutnya merupakan keniscayaan sekalipun tidak tahu pasti kapan akan datang dan penyakit apa yang akan memicu terjadinya pandemi tersebut. Karena itu, kesiapan untuk menghadapi pandemi berikutnya menjadi sebuah keharusan.
Setidaknya, ia menuturkan, kerja sama global dalam pengendalian penyakit menular harus terus diperkuat. Pencegahan dan penemuan kasus serta penguatan pada fasilitas laboratorium pemeriksaan amat penting untuk diperhatikan. Hal itu perlu dibarengi pula dengan penguatan sumber daya manusia kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
“Pendekatan One Health dalam kesiapan juga sangat penting bagi Indonesia dan dunia untuk menghadapi kemungkinan pandemi berikutnya. One Health adalah pendekatan satu kesehatan antara manusia, hewan, dan lingkungan,” katanya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menyampaikan, pascapandemi Covid-19, pemerintah berupaya memperkuat sistem ketahanan nasional yang diwujudkan dalam transformasi kesehatan nasional. Untuk menghadapi pandemi, konsep One Health dijalankan bersamaan penguatan pencegahan, persiapan, dan respons pandemi.
Baca Juga: Penyakit akibat Perubahan Iklim di Depan Mata
”Laboratorium diperkuat agar lebih cepat mendeteksi sumber penyakit di masyarakat. Pintu masuk negara di kantor kesehatan pelabuhan diperkuat dengan sumber daya mumpuni. Kolaborasi antarsektor juga kian baik dalam penerapan One Health karena itu harus dilakukan bersamaan dari sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, dari tingkat pusat sampai daerah,” tuturnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi.
Selain itu, kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan ancaman penyakit menular perlu ditingkatkan. Ancaman penyakit yang bisa menyebabkan pandemi nyata. Rendahnya kesadaran masyarakat sering kali membuat berita bohong atau hoaks menjadi tumbuh subur.
Padahal, hal itu membuat penanganan dan persiapan menghadapi pandemi menjadi tidak optimal. Penularan pun semakin luas serta upaya pengendalian tidak terwujud. Ingatan akan pandemi Covid-19 juga diharapkan tidak berlalu agar setiap orang bisa selalu siap dan siaga akan risiko kesehatan yang terjadi di masa depan.