Semburan Air di Bulan Saturnus ”Enceladus” Mengandung Materi Pemicu Kehidupan
Enceladus adalah salah satu bulan Saturnus. Bulan ini diselimuti es tebal dan muncul geiser di permukaannya. Salah satu senyawa yang terdeteksi dari semburan itu adalah hidrogen sianida, senyawa penting pemicu kehidupan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Enceladus merupakan satu dari 146 bulan atau satelit alami yang dimiliki planet Saturnus. Satelit itu diselimuti lapisan es tebal dan memiliki air berbentuk cair di bawahnya.
Dari lapisan es tebal itu juga muncul geiser yang menyemburkan uap air secara teratur. Semburan air itu mengandung sejumlah senyawa pemicu kehidupan, salah satunya hidrogen sianida.
Hidrogen sianida adalah gas tidak berwarna. Di Bumi, senyawa ini beracun dan mematikan bagi sebagian organisme.
Namun, uji eksperimen menunjukkan senyawa ini berperan penting dalam mendorong munculnya kehidupan. Hidrogen sianida menjadi prekursor atau pemicu rangkaian reaksi kimia yang membentuk molekul yang harus ada dalam setiap kehidupan, yaitu asam amino.
”Ini adalah titik awal dalam sebagian besar teori asal usul kehidupan. Senyawa ini mirip dengan pisau lipat dalam kimia prebiotik,” kata Jonah Peter, mahasiswa pascasarjana biofisika di Universitas Harvard, Massachusetts, Amerika Serikat, seperti dikutip The New York Times, Kamis (14/12/2023).
Enceladus telah menarik perhatian ahli astrobiologi sejak tahun 2005 saat wahana Cassini milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) mendeteksi semburan gas dan kristal es yang berasal dari letusan gunung berapi di dekat kutub selatannya.
Gumpalan es dan gas itu menunjukkan bulan Saturnus ini kemungkinan aktif secara geologis dan di bawah lapisan atau kerak es yang tebal di permukaannya terdapat lautan asin yang luas.
Selain itu, semburan es selama satelit ini mengorbit Saturnus telah menyebarkan partikel es ke luar angkasa di sekitar orbitnya sehingga membentuk cincin Saturnus yang dinamai cincin E.
Enceladus merupakan satelit terbesar keenam yang dimiliki Saturnus. Permukaan satelit ini diselimuti lapisan es tebal. Di bawah keras es itu ada lautan cair yang menjadikannya sebagai salah satu tempat paling menjanjikan untuk mencari kehidupan baru di Tata Surya.
Nama Enceladus diambil dari mitologi Yunani yang berarti raksasa. Satelit ini memiliki lebar sekitar 500 kilometer dan menjadi obyek paling putih dan paling reflektif di Tata Surya. Karena banyak cahaya dipantulkan, suhu permukaan di Enceladus sangat dingin, mencapai minus 210 derajat celsius.
Ini adalah titik awal dalam sebagian besar teori asal usul kehidupan. Senyawa ini mirip dengan pisau lipat dalam kimia prebiotik.
Analisis data sebelumnya yang diambil saat Cassini terbang melintas di dekat Enceladus hingga beberapa kali menunjukkan bahwa semburan itu kaya akan molekul organik, seperti metana, etana, propana, dan asetilena.
Bukan hanya itu, peneliti juga menemukan adanya sejumlah alkohol di lautan Enceladus, tetapi peneliti belum bisa memastikan jenis alkohol yang ditemukan tersebut.
Molekul organik itu bisa menggerakkan reaksi kimia untuk menyediakan energi bagi mikroorganisme yang hidup di lautan Enceladus. Keberadaan molekul organik itu juga menunjukkan bahwa ada aktivitas kimia kompleks yang terjadi di bawah lautan Enceladus.
Studi Peter dan sejumlah rekannya yang mengolah data dari misi Cassini dan dipublikasikan di jurnal Nature Astronomy, 14 Desember 2023, mengonfirmasi bahwa ada sesuatu yang mendorong reaksi kimia organik di lautan Enceladus.
Kemungkinan, reaksi kimia itu melepaskan lebih banyak energi daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dugaan itu diperoleh karena peneliti mendeteksi adanya campuran molekul organik teroksidasi yang hanya bisa disintesis dengan energi yang besar.
Citra yang diambil wahana antariksa Cassini pada 30 November 2010 ini menunjukkan semburan air dan gas yang terjadi di permukaan es satelit Saturnus, Enceladus.
”Jika metanogenesis (pembentukan metana oleh mikroorganisme) itu mirip dengan baterai jam tangan kecil, proses di lautan Enceladus mirip dengan baterai mobil yang mampu menyediakan energi untuk menopang kehidupan,” kata peneliti lain yang juga ahli astrobiologi di Laboratorium Propulsi Jet NASA Kevin Hand, seperti dikutip Livescience, 20 Desember 2023.
Meski terdeteksinya hidrogen sianida dan energi yang besar di Enceladus tidak mengonfirmasi adanya kehidupan di Enceladus, temuan ini memperkuat dugaan adanya kehidupan di satelit Saturnus tersebut.
”Prospek pengembangan kehidupan di Enceladus semakin baik,” kata Frank Postberg, profesor ilmu keplanetan di Universitas Free Berlin, Jerman. Postberg dan rekannya awal 2023 ini memublikasikan studinya yang menemukan adanya fosfat dalam semburan partikel es di Enceladus.
Keberadaan fosfat itu menunjukkan adanya interaksi geokimia antara lautan dan dasar batuan Enceladus. Fosfor, unsur utama dalam fosfat, merupakan elemen kunci yang penting bagi kehidupan.
Meski demikian, Enceladus bukan satu-satunya tempat di Tata Surya selain Bumi yang diperkirakan mampu menopang kehidupan. Ada Europa, satelitnya Jupiter atau Titan, bulan lain dari Saturnus.
Manusia juga terus menjelajahi permukaan Mars serta awan yang melayang tinggi di atmosfer Venus untuk mencari mikroba asing yang mungkin hidup di sana.
Terlepas dari apakah tempat-tempat itu bisa menopang kehidupan Bumi di masa mendatang atau tidak, dari studi ini, peneliti bisa mempelajari lebih banyak proses kimiawi terjadinya kehidupan di Bumi di masa lalu dengan mempelajari proses yang terjadi di planet atau satelit lain di Tata Surya.