Probiotik Turunkan Gejala Covid-19 bagi Mereka yang Belum Divaksinasi
Probiotik, khususnya ”Lactobacillus”, menunjukkan kemampuan yang signifikan untuk menunda infeksi Covid-19 dan mengurangi gejala di antara sekelompok orang yang tidak divaksinasi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Probiotik, khususnya Lactobacillus, menunjukkan kemampuan yang signifikan untuk menunda infeksi Covid-19 dan mengurangi gejala di antara sekelompok orang yang tidak divaksinasi. Temuan ini menunjukkan, probiotik bisa menjadi pendekatan yang relatif sederhana dan murah bagi orang yang terpapar Covid-19.
Studi acak terkontrol plasebo ini dipimpin oleh peneliti dari Duke University School of Medicine, Amerika Serikat. Hasil risetnya dipublikasikan di jurnal Clinical Nutrition pada 11 Desember 2023.
Temuan ini bisa menjadi intervensi yang tepat waktu karena data pelacakan Covid-19 di sejumlah negara menunjukkan peningkatan. Apalagi, kini tiba musim liburan Tahun Baru yang akan meningkatkan risiko penularan.
”Sebelum adanya Covid-19, terdapat bukti kuat bahwa probiotik dapat melindungi terhadap infeksi saluran pernapasan,” kata Paul Wischmeyer, Wakil Ketua Penelitian Klinis Departemen Anestesiologi Duke University dan salah satu penulis utama penelitian ini.
Ia menambahkan, saat Covid-19 menyerang, sangat penting untuk menentukan apakah intervensi sederhana dan dapat ditoleransi dengan baik ini dapat bermanfaat. Penelitian Wischmeyer dan kawan-kawan memberikan bukti yang menggembirakan mengenai penggunaan probiotik.
Wischmeyer dan rekannya, termasuk penulis utama Helen Tang, mahasiswa kedokteran di Duke, dan penulis koresponden Anthony Sung, profesor di Departemen Kedokteran Duke, memulai riset mereka pada Maret 2020, sebelum vaksin tersedia secara luas di Amerika Serikat. Pasien didaftarkan jika mereka tidak divaksinasi dan pernah terpapar oleh seseorang yang mengidap Covid-19, tetapi belum menunjukkan gejala.
Penelitian ini melibatkan 182 peserta, dengan separuhnya secara acak ditugaskan untuk mengonsumsi probiotik Lactobacillus dan separuhnya lagi secara acak mengonsumsi pil plasebo. Baik peserta penelitian maupun administrator tidak mengetahui siapa yang menerima terapi aktif.
Wischmeyer mengatakan, periode pendaftaran studi dipersingkat karena jumlah peserta yang memenuhi syarat menurun karena vaksin menjadi lebih umum dan infeksi mulai menurun sebelum gelombang varian Delta.
Probiotik juga dapat meningkatkan efek vaksin terhadap infeksi saluran pernapasan karena virus lainnya, seperti influenza.
Setelah dianalisis, para peneliti menemukan bahwa partisipan yang menerima probiotik secara acak memiliki kemungkinan 60 persen lebih kecil untuk mengalami gejala Covid-19 dibandingkan dengan mereka yang menerima plasebo secara acak. Peserta yang mengonsumsi probiotik juga mampu mencegah infeksi lebih lama dibandingkan dengan mereka yang menerima pil plasebo.
Meskipun kelompok probiotik memiliki angka kejadian diagnosis Covid-19 yang lebih rendah secara numerik, angka tersebut tidak memenuhi signifikansi statistik (8,8 persen tingkat diagnosis Covid-19 pada kelompok probiotik dibandingkan 15,4 persen tingkat diagnosis Covid-19 pada kelompok kontrol) karena besarnya penelitian.
”Kami sebenarnya tidak terkejut dengan temuan ini,” kata Wischmeyer. ”Ada beberapa penelitian yang menunjukkan kemanjuran yang kuat dari probiotik terhadap infeksi saluran pernapasan, termasuk penelitian yang sangat besar pada bayi di India yang diterbitkan di Nature pada tahun 2017. Penelitian awal lainnya menunjukkan bahwa probiotik juga dapat meningkatkan efek vaksin terhadap infeksi saluran pernapasan karena virus lainnya, seperti influenza.”
Meningkatkan fungsi kekebalan
Wischmeyer mengutip bukti bahwa probiotik meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dalam beberapa cara, termasuk meningkatkan populasi sel T pengatur, menurunkan sitokin proinflamasi, meningkatkan penghalang pelindung paru-paru terhadap infeksi, dan memodulasi ekspresi gen antivirus.
”Meskipun ukuran sampelnya terbatas, penelitian kami memberikan kepercayaan pada gagasan bahwa mikroba simbiosis kita dapat menjadi mitra yang berharga dalam memerangi Covid-19 dan potensi penyakit pandemi lainnya di masa depan,” katanya.
Ia mengatakan, hal ini akan sangat relevan pada negara-negara yang kekurangan sumber daya, yaitu negara dengan tingkat vaksinasi masih tertinggal, termasuk vaksinasi penguat (booster) yang terbatas.
Temuan ini memperkuat serangkaian studi sebelumnya mengenai manfaat probiotik untuk mencegah infeksi saluran pernapasan bagian atas. Riset Benjamin Mullish dari Divisi Penyakit Pencernaan Imperial College London, Inggris, yang dipresentasikan di Digestive Disease Week (DDW) 2021, misalnya, menunjukkan, penggunaan probiotik setiap hari berkaitan dengan lebih sedikit gejala saluran pernapasan bagian atas pada orang yang kelebihan berat badan dan orang tua.
”Ini bukanlah gagasan yang paling intuitif, bahwa memasukkan bakteri ke dalam usus Anda dapat mengurangi risiko infeksi pernapasan,” tulis Mullish.
Menurut dia, terdapat banyak bukti bahwa mikrobioma usus memiliki hubungan yang kompleks dengan berbagai sistem organ kita. Ini tidak hanya memengaruhi cara kerja usus atau hati kita, tetapi juga aspek cara kerja seluruh tubuh kita.
Dalam kajian ini, Mullish dan tim menganalisis kembali catatan harian rinci dari 220 pasien yang berpartisipasi dalam studi terkontrol plasebo double-blind sebelumnya tentang probiotik dan penurunan berat badan. Mereka meninjau entri gejala umum infeksi saluran pernapasan atas, termasuk batuk, sakit tenggorokan, dan mengi.
Para peneliti menemukan, peserta yang mengonsumsi probiotik selama penelitian enam bulan memiliki kejadian gejala saluran pernapasan atas secara keseluruhan 27 persen lebih rendah dibandingkan dengan kelompok plasebo. Manfaat terbesar didapatkan peserta yang berusia 45 tahun atau lebih serta mereka yang mengalami obesitas.