Kemendikbudristek restorasi film jadul karya sutradara perempuan pertama Indonesia, Ratna Asmara, berjudul ”Dr. Samsi”.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan film hitam putih hasil restorasi berjudul Dr. Samsi yang diproduksi tahun 1952. Dr. Samsi merupakan besutan sutradara perempuan pertama Indonesia, Ratna Asmara.
Film Dr. Samsimengisahkan kehidupan seorang dokter bernama Samsi bersama istri yang membesarkan Sugiat. Sugiat rupanya anak hasil hubungan gelap sang dokter dengan perempuan bernama Sukaesih. Setelah Sugiat dewasa dan bekerja sebagai pengacara, ia menangani kasus pembunuhan di mana Sukaesih dituduh membunuh suaminya, Leo.
Adapun Ratna Asmara (1913-1968) menjadi sutradara dari filmDr. Samsi. Film-film Ratna menyajikan narasi kaya diiringi visual indah. Tak lupa, Ratna menyelipkan ciri khas kekayaan budaya nasional dalam karyanya.
”Pada tahun ini, kami memilih film Dr. Samsi karena usianya lebih dari 50 tahun dan ada nilai sejarah dan budaya. Ini merupakan upaya penyelamatan dan perlindungan arsip film dan pemajuan perfilman Indonesia,” kata Kapokja Perizinan dan Arsip Direktorat Film, Musik, dan Media Kemendikbudristek Nujul Kristanto dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/12/2023).
Berdurasi satu jam lebih, Dr. Samsi yang terbuat dari materi seluloid 35 mm merupakan salah satu film yang tersimpan dalam koleksi Sinematek Indonesia. Proses restorasi menggunakan materi film seluloid dari copy positif dan negatif dengan total 15 reels yang memakan waktu 180 hari, lebih cepat dari target.
Koordinator Utama Digitalisasi dan Restorasi Kemendikbudristek Rizka Fitri Akbar menjelaskan, proses restorasi Dr. Samsi juga mendesak mengingat materi film nyaris punah. ”Jika dibiarkan terus, walaupun kita memperbaikinya terus, ternyata ada yang namanya penyakit autokatalitik yang akhirnya ketika film tersebut akan hancur ketika tiba waktunya,” ujarnya.
Namun, proses restorasi mengalami sejumlah tantangan. Kondisi film Dr. Samsi tidak lengkap dan sebagian rusak, khususnya bagian audio. Copy positif film sudah washed out, sedangkan copy negatif tidak lengkap. Alhasil, audio dalam film adalah kombinasi semua materi tersebut yang membuat volume suara kadang terdengar tidak stabil.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra mengatakan, Dr. Samsi menjadi penanda penting perkembangan industri sineas Indonesia yang tetap relevan hingga kini. ”Dari film ini memberikan inspirasi kepada pegiat sinema sekarang untuk menjelajahi tema-tema universal menggugah hati,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Restorasi berlanjut
Proses restorasi film-film nasional sempat tertunda lantaran pandemi. Sejauh ini, Dr. Samsi merupakan film nasional kelima yang telah direstorasi dari format seluloid ke digital.
Empat film lain yang telah melalui proses restorasi adalahDarah dan Doa (1950) karya Usmar Ismail pada 2013, Pagar Kawat Berduri (1961) karya Asrul Sani pada 2017, serta Bintang Ketjil (1963) karya Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran pada 2018. Ada pula film Kereta Api Terakhir (1981) karya Mochtar Soemodimedjo pada 2019.
”Sekarang ada sekitar enam film dari era 1950-an sampai 1960-an yang sedang ’mengantre’ untuk restorasi. Antre dalam arti kami sedang mencoba kalkulasi terlebih dulu karena ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, seperti apakah masih ada materinya, materinya ada di mana, dan apa kerusakannya,” kata Pamong Budaya Ahli Muda Bidang Perfilman Kemendikbudristek Panji Wibisono.
Proses restorasi film melewati proses kurasi sejumlah film nasional terlebih dulu. Setelah itu, film akan dipilih berdasarkan kelangkaan materi, kerusakan, dan keunikan film. Panji mengatakan, dalam beberapa kasus, ada film yang sulit untuk direstorasi karena materinya sulit didapat, seperti Loetoeng Kasaroeng dan Sembilan (1967) film berwarna pertama Indonesia garapan Wim Umboh.
Rizka menambahkan, standar bujet untuk restorasi bisa mencapai Rp 1,5 miliar sampai Rp 2,5 miliar. Namun, proses restorasi film sebetulnya tidak mengenal durasi dan biaya karena tergantung dari materi yang diperoleh.
”Masyarakat diharapkan dapat aktif dalam perawatan dan pelestarian arsip-arsip film nasional. Dan juga memberikan informasi keberadaan materi-materi film tersebut, baik dalam bentuk pita magnetik maupun pita seluloid agar pemerintah juga cepat dalam mengambil tindakan penyelamatan,” kata Rizka.