Produksi Hoaks Makin Canggih, Tingkatkan Kolaborasi Lawan Disinformasi
Produksi hoaks semakin canggih dengan kecerdasan buatan. Diperlukan kolaborasi untuk melawan disinformasi di ruang digital menjelang Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Produksi hoaks yang semakin canggih, termasuk dengan menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), patut diwaspadai menjelang Pemilu 2024. Kolaborasi berbagai pihak perlu ditingkatkan untuk melawan penyebaran disinformasi di ruang digital.
Masyarakat membutuhkan beragam informasi sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan dalam Pemilu 2024. Namun, jika informasi yang diakses tidak benar atau palsu, pertimbangan yang digunakan itu pun menjadi keliru.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Jumrana mengatakan, seiring perkembangan teknologi informasi, produksi hoaks juga semakin canggih dengan memanfaatkan berbagai aplikasi dan kecerdasan buatan. Alhasil, konten-konten yang tidak sesuai fakta semakin banyak beredar dan berpotensi menghasut.
Konten-konten manipulatif banyak menyebar di jagat maya. Salah satu yang sering ditemukan adalah menggabungkan video dengan audio dari sumber berbeda sehingga menghasilkan disinformasi.
”Melawan misinformasi dan disinformasi membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Kolaborasi ini harus terus ditingkatkan,” ujarnya dalam webinar ”Mengoptimalkan Peran Komunitas dalam Memberantas Misinformasi dan Disinformasi” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Selasa (19/12/2023).
Misinformasi merupakan informasi yang keliru, tetapi orang yang menyebarkannya meyakini hal itu benar. Adapun disinformasi adalah informasi keliru yang sengaja disebar untuk tujuan tertentu.
Baca juga : Hilang Nyawa karena Hoaks Merajalela
Jumrana mengatakan, sejumlah pihak atau komunitas terus berupaya melawan penyebaran hoaks. Salah satu cara yang dilakukan menggunakan metode debunking atau membongkar kebohongan informasi yang sudah disebarkan.
Akan tetapi, penyebaran hoaks jauh lebih masif ketimbang upaya debunking tersebut. Oleh karenanya, tim pemeriksa fakta dituntut terus mengembangkan kapasitasnya, termasuk mempelajari tools atau alat dan aplikasi teknologi terkini.
”Tim sudah debunking hoaksnya. Namun, sebagai contoh, yang share (membagikan) paling cuma ratusan, sementara hoaksnya sudah disebar ribuan kali,” ucapnya.
Cara lain yang digunakan adalah metode prebunking. Metode ini merupakan proses membongkar kebohongan informasi sebelum hoaks menyerang. Masyarakat diedukasi untuk mengidentifikasi informasi palsu.
”Dengan metode prebunking, kita mengisi gap informasi yang ada. Artinya, memberikan informasi sebelum hoaks itu berkembang di masyarakat,” katanya.
Jumrana menuturkan, pihaknya telah membuat sejumlah konten prebunking terkait pemilu. Konten-konten itu disebarkan melalui website dan media sosial untuk mengedukasi masyarakat.
Konten-konten manipulatif banyak menyebar di jagat maya. Salah satu yang sering ditemukan adalah menggabungkan video dengan audio dari sumber berbeda sehingga menghasilkan disinformasi.
Lebih kritis
Masyarakat diajak untuk lebih kritis dalam menerima informasi di media sosial, terutama yang berkaitan dengan pemilu. Selain itu, menghindari menyebarkan konten bersentimen SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) karena berpotensi menyebabkan polarisasi di masyarakat.
”Kita perlu bersama-sama menjaga ruang digital untuk tetap aman, damai, dalam memilih pemimpin berdasarkan informasi yang benar. Sebab, kalau salah memilih pemimpin akan berdampak terhadap kehidupan kita untuk lima tahun ke depan,” ucapnya.
Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Novi Kurnia mengatakan, upaya melawan misinformasi dan disinformasi bisa dimulai dari diri sendiri. Caranya beragam, mulai dari selalu memverifikasi informasi, mengadukan konten berbahaya atau yang berpotensi menghasut, hingga berpartisipasi dan berkolaborasi dalam komunitas memberantas hoaks.
”Pemilu juga membutuhkan kolaborasi pengawasan dan pelaksanaan regulasi moderasi konten maupun pelaksanaan regulasi pemilu serta bentuk-bentuk implementasinya,” ujarnya.
Literasi digital menjadi salah satu cara melawan penyebaran hoaks di dunia maya. Kolaborasi antarpihak perlu ditingkatkan untuk mengoptimalkan edukasi sehingga masyarakat tidak gampang terpengaruh hoaks.
”Jadi, literasi digital itu penting, termasuk menciptakan ruang digital yang inklusif. Berikan ruang untuk semua, tidak terkecuali pada kelompok termarjinalkan,” katanya.
Indeks Literasi Digital Nasional pada 2022 meningkat menjadi 3,54 poin (dalam skala 5). Kenaikan 0,05 poin dibandingkan 2021 itu dinilai belum signifikan dan literasi digital Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar (Kompas, 2/2/2023).
Baca juga : Literasi Digital Dongkrak Daya Berpikir Kritis Masyarakat
Selain keamanan digital, tantangan besar lainnya adalah mengantisipasi penyebaran disinformasi atau hoaks, terutama menjelang pemilu serentak 2024. Sebab, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital 2022, 72,6 persen responden menyatakan mendapatkan sumber informasi dari media sosial.
Novi menambahkan, semua pihak, baik komunitas literasi digital, perguruan tinggi, organisasi jurnalis, maupun elemen lainnya, menjadi bagian penting untuk membangun ruang digital yang sehat demi meminimalkan penyebaran hoaks menjelang pemilu. ”Kita akan memilih pemimpin bangsa. Oleh karenanya, masyarakat membutuhkan banyak informasi. Jangan sampai ruang digital itu dikacaukan oleh disinformasi,” ucapnya.