Dompet Digital, Celah Predator Seksual Dekati Anak Korban
Anak-anak menjadi incaran predator seksual. Karena itu, pengawasan pada anak saat mengakses internet perlu ditingkatkan.
Teknologi informasi memberikan berbagai kemudahan, termasuk transaksi keuangan, menyusul hadirnya berbagai aplikasi keuangan digital. Salah satunya adalah dompet digital atau e-wallet, layanan berbasis aplikasi untuk menyimpan uang dan sebagai metode pembayaran.
Dompet digital bisa diakses siapa pun, tanpa ada syarat batas usia. Asalkan penggunanya memiliki telepon pintar (smartphone), cukup memasang (install) dan membuat akun aplikasi dompet digital, dan menyimpan dana, maka penggunanya bisa bertransaksi pembayaran secara daring.
Bagaikan pedang bermata dua, kemudahan bertransaksi keuangan secara daring itu di satu sisi sangat bermanfaat bagi masyarakat, tetapi di sisi lain menjadi pintu masuk bagi pelaku kejahatan seksual.
Dompet digital kini disalahgunakan predator seksual yang mengincar anak-anak. Dengan memiliki akun dompet digital, anak rentan menjadi korban karena bisa berinteraksi langsung dengan pelaku, transaksi layanan seksual tanpa perantara orang lain.
Temuan ECPAT (END Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia menunjukkan, sejumlah anak di Tanah Air menjadi sasaran dan korban eksploitasi seksual (terutama secara daring), seiring meningkatnya penggunaan dompet digital, sekitar lima tahun terakhir.
Pelaku memanfaatkan kemudahan layanan keuangan digital, dengan menggunakan sarana dompet digital untuk membayar layanan seksual anak.
Baca juga : Pelaku Kejahatan Seksual Memanfaatkan Dompet Digital
Modusnya, para pelaku kejahatan seksual mendekati anak-anak secara daring dengan melakukan grooming (pelaku berkomunikasi dengan anak, membangun keakraban dengan anak sehingga menjadi akrab. Ketika sudah akrab, pelaku mengeksploitasi anak secara seksual).
ECPAT menemukan dalam eksploitasi seksual anak yang menggunakan jasa keuangan biasanya pelaku menggunakan layanan keuangan berbasis teknologi, yang didukung dengan platform digital lainnya seperti aplikasi kencan, chat, dan media sosial.
Sebagai contoh, kasus anak SR (14). Ia mulai terbiasa menggunakan aplikasi kencan karena beberapa teman memakai hal serupa. Melalui aplikasi kencan, SR bertemu MR (orang dewasa) dan berlanjut ke aplikasi chat.
Kemudian SR diminta oleh MR untuk menampilkan video call atau panggilan video telanjangnya kepada MN. Syaratnya, MN mentransfer dana senilai Rp 150.000 ke dompet digital SR.
Prostitusi daring
Selain transaksi dompet digital, ECPAT menemukan kasus anak AA (16) yang menjadi korban praktik prostitusi daring anak menggunakan transaksi perbankan. AA terjebak dalam prostitusi daring anak karena diajak teman sebayanya.
Ia bertemu pengguna layanan prostitusi dan mendapatkan pembayaran tunai. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, pengguna atau tamu sering mentransfer sejumlah uang melalui rekening bank, yang dipinjam AA dari orang lain, karena AA berusia anak sehingga belum bisa memiliki rekening bank.
Saat mengirim uang, pelaku menambahkan pesan seperti ”Selamat berbelanja”. Bulan berikutnya ketika bertransaksi lagi, pelaku menulis ”Untuk makan”. Namun, jika sewaktu-waktu pelaku membutuhkan anak AA, maka AA harus datang menghampirinya di suatu tempat.
”Dulu orang yang menjual ‘konten pornografi’ minta dikirimi pulsa, jadi transaksi pembayarannya dengan pulsa. Seiring perkembangan teknologi informasi, kejahatan seksual layanan dibayar dengan layanan keuangan digital, seperti e-wallet, yang amat mudah diakses,” ujar Andi Ardian, Program Manager ECPAT Indonesia, Minggu (17/12/2023) di Jakarta.
Kemudahan mengakses dompet digital itu kini banyak disalahgunakan pelaku. Karena itu, penyedia jasa keuangan diminta untuk ikut melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual, dengan memperhatikan sisi keamanan layanan keuangan digital agar tidak mudah digunakan untuk transaksi seksual anak.
Transaksi keuangan
Praktik penyalahgunaan sarana teknologi finansial dompet digital untuk kejahatan seksual dan lainnya ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pada tahun 2022, PPATK menemukan adanya transaksi keuangan sebesar Rp 114 miliar yang terkait dengan video pornografi anak dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia.
Baca juga : Hati-hati, Eksploitasi Seksual Anak secara Daring Kian Mengerikan!
”Banyak pelaku memakai sarana teknologi finansial e- wallet untuk menampung pembayaran dari pembelian konten pornografi, ” ujar Kepala Sub-Bagian Tata Usaha Pusat Pemberdayaan Kemitraan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme PPATK Adhitya Abriansyah Afandi pada Pertemuan Multipihak, di Jakarta, Senin (11/12/2023).
Seiring perkembangan teknologi informasi, kejahatan seksual layanan dibayar dengan layanan keuangan digital, seperti e- wallet, yang amat mudah diakses,
Diskusi tersebut juga dihadiri Lukita Wardhani Setiyarso (Child Rights and Business Specialist dari Unicef), dan Shela Shahira Alatas (Anti Money Laundering Compliance Manager, PT Western Union Indonesia), sebagai pembicara.
Dari data PPATK, selain menemukan pelaku memakai layanan internet dan mobile banking untuk transaksi, PPATK juga mendapati berbagai profil orang-orang yang terlibat jaringan TPPO dan eksploitasi seksual anak.
”Mengingat dampak kejahatan eksploitasi seksual anak berdampak luas, maka perlu pendekatan bersama, baik pemerintah, industri perbankan, komunitas internasional, dan seluruh lembaga terkait untuk mengidentifikasi kejahatan ini,” papar Adhitya.
Selama ini PPATK menemukan penyedia jasa keuangan memiliki kelemahan dalam mengidentifikasi nasabah karena sungkan antara menjalankan bisnis dan aturan yang mengharuskan identifikasi nasabah. ”Jadi kerap lupa menanyakan apa pekerjaannya, tempat tinggalnya kosong (tidak diisi),” tambah Adhitya.
Baca juga : Pelaku Kejahatan Seksual Memanfaatkan Dompet Digital
Selama ini, dalam pantauan ECPAT, fenomena meningkatnya eksploitasi seksual anak di ranah daring dipicu sejumlah faktor, antara lain tingginya permintaan seks kepada anak dan materi kekerasan/eksploitasi seksual anak.
Faktor pemicu lainnya ialah perkembangan internet yang membuka akses tanpa batas; perkembangan teknologi digital termasuk pembayaran perbankan dengan digital. Namun, hingga kini belum ada lembaga khusus yang menangani pemberantasan eksploitasi seksual anak.
”Padahal, data Interpol mengidentifikasi sejumlah tren yang mengkhawatirkan, yakni semakin muda korban, makin parah pelecehannya. Lebih dari 60 persen korban tak teridentifikasi adalah praremaja, termasuk bayi dan balita (anak berusia di bawah lima tahun),” ujar Andi.
Dari data Interpol, 65 persen dari korban yang tidak teridentifikasi adalah perempuan. Gambar pelecehan yang parah cenderung menampilkan anak laki-laki. Sebanyak 92 persen pelaku kejahatan yang terlihat adalah laki-laki.
Aplikasi
Adapun ECPAT Indonesia menemukan, pada tahun 2022 ada empat postingan materi kekerasan seksual anak disimpan di Indonesia.
Dari Program Online Safety Outreach yang dilakukan ECPAT Indonesia dan Bandungwangi, dengan 74 responden perempuan di wilayah Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Bandung, Jawa Barat, didapati sejumlah aplikasi yang digunakan untuk memfasilitasi eksploitasi seksual anak.
Pada aplikasi tersebut ada jasa prostitusi dan live streaming untuk tujuan seksual (VCS), dengan tarif tertentu, misalnya untuk jasa prostitusi paling rendah Rp 100.000 dan VCS dengan tarif tertinggi Rp 5 juta. Ada juga tarif dengan durasi waktu seperti Rp 10.000-Rp 25.000 per menit.
Lukita Wardhani mengungkapkan, dunia usaha bisa menjalankan perannya dengan menghormati dan mendukung perlindungan hak anak.
Pada tahun 2013, Unicef, Save the Children, dan United Nations Global Compact merumuskan Prinsip Dunia Usaha dan Hak Anak (Children Rights and Business Principles) bahwa di mana semua pihak, termasuk dunia usaha, bisa melakukan perannya, menghormati dan mendukung pemenuhan hak anak.
Baca juga : Aplikasi Daring Dipakai sebagai Sarana Prostitusi
Sejumlah langkah bisa dilakukan untuk mencegah kejahatan seksual pada anak. Pencegahan itu meliputi antara lain memastikan ada kerangka hukum nasional dan daerah; mendorong kebijakan sektor keuangan yang melindungi anak dari eksploitasi; memastikan tersedianya ekosistem bisnis yang mendukung.
Adapun Shela Shahira mengungkapkan, pihak Western Union pada tahun 2023 menaruh perhatian khusus pada transaksi yang diduga terkait kejahatan seperti perdagangan orang termasuk eksploitasi seksual anak, serta menindaklanjuti semua laporan, termasuk memblokir rekening yang diduga terkait kejahatan.