Kesepakatan Bahan Bakar Fosil Dapat Pengaruhi Percepatan Transisi Energi Indonesia
Kesepakatan COP28 tentang bahan bakar fosil dinilai dapat memiliki dampak besar, terutama dalam memengaruhi percepatan transisi energi di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Perubahan Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, telah berakhir dan menghasilkan sejumlah kesepakatan, salah satunya terkait dengan seruan untuk beralih dari bahan bakar fosil. Kesepakatan bersejarah ini dinilai dapat memiliki dampak besar, terutama dalam memengaruhi percepatan transisi energi di Indonesia.
Seruan bagi negara-negara di dunia untuk beralih dari bahan bakar fosil ini merupakan yang pertama kali disepakati sepanjang sejarah konferensi perubahan iklim. Adapun kesepakatan yang disetujui oleh 198 negara itu menekankan transisi dari bahan bakar fosil ke dalam sistem energi dengan cara yang adil, teratur, dan merata.
Menanggapi hasil kesepakatan ini, DirekturWorld Resources Institute (WRI) Indonesia Nirarta Samadhi menyampaikan, selama ini, pembicaraan terkait peralihan bahan bakar fosil selalu terjadi di luar ruang perundingan. Pembicaraan tersebut juga sama halnya dengan istilah net zero emission yang baru muncul dari percakapan sejumlah pihak.
Nirarta memandang bahwa kesepakatan tentang peralihan bahan bakar fosil dalam COP28 akan menjadi norma baru dan menginspirasi semua pihak dalam mempercepat transisi energi, termasuk di Indonesia. Sebab, kesepakatan yang ditandatangani 198 negara tersebut bersifat mengikat dan harus dijalankan oleh semua negara anggota.
”Dimasukkannya kesepakatan tentang bahan bakar fosil ini akan memiliki dampak yang besar, khususnya di ranah nonteknis. Hal ini juga diharapkan dapat memengaruhi percepatan transisi energi di Indonesia,” ujarnya dalam diskusi media merespons hasil COP28 di Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Climate and Energy Senior Analyst WRI IndonesiaRezky Zain mengatakan, peta jalan penurunan emisi Indonesia di sektor energi akan selalu mengalami transformasi. Transformasi ini terjadi karena adanya keterlibatan sejumlah pihak, mulai dari dunia internasional, sektor publik, hingga investor, agar energi Indonesia bisa lebih bersih.
Sebagai contoh, saat ini banyak perusahaan besar yang mempunyai target konsumsi energi terbarukan secara penuh pada 2030. Komitmen dan upaya dari perusahaan ini memiliki kekuatan untuk mendorong pemerintah mempercepat transisi energi.
”Upaya lainnya dengan perkembangan yang cukup baik, yaitu rencana investasi komprehensif dari JETP (kemitraan transisi energi yang berkeadilan). Di sini sudah terlihat bahwa Indonesia mau mempercepat penghapusan penggunaan energi batubara. Jadi, peta jalan energi kita transformatif dan saat ini semakin terlihat lebih komprehensif,” tuturnya.
Meski demikian, Rezky menekankan bahwa pemerintah juga perlu memperlihatkan angka-angka terkait target penurunan emisi sektor energi yang lebih realistis. Dengan begitu, semua pihak bisa melihat target tersebut dengan jelas sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam mencari pendanaan transisi energi dari banyak pihak.
Secara terpisah, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyebut, terdapat beberapa persoalan krusial yang sempat mendapat respons penolakan, khususnya dari negara-negara berkembang. Dari sektor energi ini, negara-negara berkembang memiliki pandangan berbeda terkait peningkatan ambisi tiga kali untuk energi baru terbarukan dan dua kali untuk efisiensi energi.
Selain itu, pandangan berbeda juga masih ada untuk isu peningkatan ambisi pengurangan gas metana secara substansial. Menurut Alue, negara berkembang tidak sependapat karena mengarah pada angka target penurunan pada 2030 dan menginginkan narasi yang sama dengan yang telah disepakati saat COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun 2021.
Selain kesepakatan tentang penghapusan energi fosil, presidensi COP28 berhasil mengumpulkan komitmen pendanaan dari sejumlah negara senilai 792 juta dollar AS untuk kehilangan dan kerusakan. Pendanaan ini menjadi topik pertama dari sekitar 20 topik yang disetujui semua pihak untuk dimasukkan ke dalam dokumen Global Stocktake.
Terkait hal ini, Indonesia juga mendorong sekaligus memastikan agar operasionalisasi pendanaan tersebut mudah diakses dan diimplementasikan serta transparan. Sebab, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengakses pendanaan tersebut.
Kesepakatan tentang peralihan bahan bakar fosil dalam COP28 akan menjadi norma baru dan menginspirasi semua pihak dalam mempercepat transisi energi, termasuk di Indonesia.
Sustainable Business dan Net Zero Analyst WRI IndonesiaNada Zharfania Zuhaira menambahkan, selama ini tidak ada satu formula utuh yang sama tentang bagaimana cara mengoperasikan pendanaan kehilangan dan kerusakan dengan lebih baik. Namun, setidaknya terdapat beberapa hal yang disampaikan delegasi tentang pengoperasiannya agar pendanaan ini lebih efektif.
”Yang pertama yaitu perlunya lembaga independen yang punya cara kerja lebih fleksibel dalam mengoperasikan dana. Kemudian, yang sering disuarakan yaitu siapa yang punya kewajiban dana itu sendiri. Pendanaan kehilangan dan kerusakan ini masih bergantung dari tindakan sukarela negara dan belum benar-benar diikat mana negara yang harusnya punya tanggung jawab lebih untuk berkontribusi,” ucapnya.