Risiko Eksplorasi dan Eksploitasi Gas Perlu Diantisipasi
Berbagai proyek eksplorasi dan eksploitasi gas masih terus terjadi di wilayah hulu dan menyebabkan sejumlah dampak sosial dan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Uap keluar dari cerobong instalasi panas bumi milik PT Geo Dipa Energi yang dialirkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pertengahan Maret 2019.
JAKARTA, KOMPAS – Berbagai proyek eksplorasi dan eksploitasi gas hingga kini masih terus terjadi di wilayah hulu. Proyek-proyek tersebut berisiko menyebabkan penggusuran, merusak lingkungan di wilayah sekitar lokasi, hingga menghilangkan penghidupan masyarakat lokal. Mitigasi terkait risiko ini perlu dikepedepankan.
Proyek eksplorasi dan eksploitasi gas yang dilakukan negara di wilayah hulu di antaranya ada di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Wilayah ini menjadi tempat proyek kilang gas alam cair/liquified natural gas (LNG) yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Tangguh Train 3 dengan kapasitas produksi mencapai 11,4 juta ton per tahun.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Sisar Matitiyang juga perwakilan Komunitas Masyarakat Bintuni, Yohanes Akwan menyampaikan, proyek eksplorasi dan eksploitasi yang terjadi di wilayah Teluk Bintuni sudah memiliki catatan sejak dahulu. Namun, proyek tersebut kerap ditentang masyarakat adat dan sampai sekarang mereka masih terus mempertahankan hak-hak dan kearifan lokalnya.
”Masuknya perusahaan internasional dan multinasional ke Teluk Bintuni ini mengubah cara pandang masyarakat. Masyarakat yang belum siap kemudian dipaksa untuk menerima sehingga membuat mereka berdiri di pijakan kaki yang tidak menentu,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk ”Ekspansi Gas di Indonesia dan Solusi Palsu Krisis Iklim” di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
Menurut Yohanes, masuknya proyek eksploitasi gas di Teluk Bintuni membuat masyarakat kehilangan hak atas tanah adatnya. Di sisi lain, ia juga menilai bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah membuat masyarakat terpecah karena kerap dibenturkan baik dari sisi politik lokal maupun relasi kekuasaan di wilayah tersebut.
Selain itu, sampai sekarang masyarakat adat juga tidak mendapatkan akses untuk turut serta mengelola proyek eksplorasi gas tersebut. Padahal, sebagai pemilik wilayah tersebut yang sudah diwariskan secara turun-temurun, masyarakat adat harus ditempatkan dalam posisi yang sejajar dengan industri atau pihak yang mengelola sumber daya tersebut.
Yohanes mengakui, memang terdapat kompensasi yang diberikan kepada masyarakat. Akan tetapi, kompensasi ini tidak diiringi dengan kemandirian masyarakat secara ekonomi. Hal ini juga yang membuat masyarakat adat secara perlahan-lahan tergusur dari tanah adatnya.
”Dampak sosial, lingkungan, dan kebudayaan dari industri pertambangan seperti minyak dan gas ini tidak dipertimbangkan negara. Negara hanya berbicara mendapatkan keuntungan dan tidak melihat keselamatan masyarakat sipil. Keberadaan masyarakat adat juga terus tergerus karena masuknya orang luar yang tidak diproteksi,” tuturnya.
Sementara dari aspek lingkungan, eksploitasi gas juga tidak terlalu bersih dibandingkan dengan energi fosil lainnya. Sejumlah penelitian menemukan fakta bahwa gas fosil (metana) adalah bahan bakar berbahaya yang merusak iklim dan lingkungan. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) menyebutkan bahwametana 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer.
”Ada sebuah perusahaan minyak dan gas yang sudah beroperasi kurang lebih 40 tahun. Namun, perusahaan ini tidak meninggalkan apa pun untuk masyarakat adat dan hanya meninggalkan limbah yang menjadi konflik. Oleh karena itu, kunci menyejahteraan masyarakat Papua, yaitu mewujudkan kemerdekaan politik dan ekonomi,” katanya.
Dukungan kuat
Ketua Bidang Politik dan Hubungan Kelembagaan Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN) Puzi Santoso menyatakan, mayoritas industri ekstraktif dijalankan dengan cara yang sama dan memarjinalkan masyarakat lokal. Hal tersebut dapat dilakukan karena terdapat dukungan yang kuat dari kekuasaan di balik industri ekstraktif tersebut.
”Terkadang, pekerja tambang dipekerjakan dengan sangat tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Investasi dari negara lain juga banyak pelanggaran. Banyak pekerja tidak mendapat jaminan sosial. Inilah persoalan yang terjadi di wilayah tambang,” katanya.
Dosen Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fathun Karib, menambahkan, memahami gasifikasi atau ekspansi gas secara global juga mencakup berbagai dimensi yang saling terkait satu sama lain. Dimensi tersebut, yakni antara perang, perubahan iklim, dan krisis kemanusiaan.
”Hubungan antara energi fosil dan perang itu sangat erat kaitannya. Proses militerisasi lingkungan ini menjadi suatu dasar dari ekspansi kapital terkait energi fosil. Jadi, proses militerisasi merupakan salah satu aktivitas ekologis yang paling merusak,” tuturnya.
Perang menyedot sumber daya alam, termasuk bahan bakar fosil yang memperparah emisi gas rumah kaca. Perang juga membawa pada krisis kemanusiaan berkepanjangan.