Pelajaran Pahit dari Marapi
Sebelum erupsi freatik pada Minggu (3/12/2023), Gunung Marapi sudah berulang kali mengirim alarm bahaya. Namun, jalur pendakian tetap dibuka.
Sebanyak 23 pendaki ditemukan meninggal dunia di Marapi saat gunung di Sumatera Barat ini meletus pada Minggu (3/12/2023) pukul 14.54 WIB. Erupsi itu tiba-tiba dan tanpa peringatan dini, tetapi jatuhnya banyak korban seharusnya bisa dicegah jika rekomendasi tidak mendekati kawah dalam radius 3 kilometer ditaati.
Saat terjadi erupsi, 75 orang mendaki Marapi sejak Sabtu (2/12/2023). Jumlah itu adalah yang tercatat di sistem pendaftaran daring Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat (Sumbar) sebagai pengelola Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Marapi, yang mengizinkan pendakian.
Marapi yang berketinggian 2.891 meter dari permukaan laut (mdpl) telah ditetapkan berstatus Waspada oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) setelah erupsi pada Rabu (3/8/2011). Status Marapi tidak berubah hingga saat ini dengan rekomendasi masyarakat tidak diizinkan berada dalam radius 3 kilometer dari kawah.
Meski begitu, zona bahaya yang ditetapkan PVMG ini seperti diabaikan. Pendakian ke Marapi tetap jalan terus dan sudah beberapa kali nyaris menelan korban.
Baca Juga: Memahami Erupsi ”Tiba-tiba” Gunung Marapi dan Risikonya
Pada Sabtu (14/11/2015) pukul 22.33 WIB, gunung ini erupsi tiba-tiba. Saat itu ada ratusan pendaki. Namun, karena kejadian malam hari, tidak ada pendaki di puncak. Biasanya pendaki membangun tenda di pos terakhir sebelum kemudian mendaki ke puncak pada dini hari.
Pada Minggu (4/6/2017), Marapi kembali meletus tiba-tiba. Letusan pertama terjadi pukul 10.01 WIB dengan kolom abu tebal dengan tekanan sedang mengepul mencapai ketinggian 300 meter. Letusan kedua pada pukul 10.22 WIB mencapai ketinggian 700 meter dari puncak.
Saat erupsi, ada 16 pendaki di gunung ini. Sembilan di antaranya harus dievakuasi karena terjebak abu tebal. Mereka ditemukan dalam keadaan lemah sehari setelahnya karena kehabisan bahan makanan dan tidak bisa turun lagi. Beruntung tidak ada korban jiwa.
Berikutnya, aktivitas vulkanik Gunung Marapi kembali meningkat pada awal tahun 2023 yang didominasi oleh terjadinya erupsi eksplosif yang berlangsung sejak 7 Januari 2023 hingga 20 Ferbuari 2023.
BKSDA Sumbar sempat menutup sementara jalur pendakian pada Januari 2023. Namun, mereka kembali membuka kembali jalur pendakian Marapi pada 24 Juli 2023 meski gunung ini masih tetap berstatus Waspada.
Pembukaan kembali pendakian itu diresmikan Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy didampingi Kepala BKSDA Sumbar saat itu, Ardi Andono, bersama sejumlah pejabat daerah. Para pendaki ditarik biaya penerimaan negara bukan pajak dan tiket asuransi. Kuotanya 100 orang di hari biasa dan 150 orang di hari libur atau akhir pekan.
Mendeteksi erupsi freatik
Selain menunggu hasil penyelidikan polisi mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas jatuhnya banyak korban, masyarakat perlu memahami karakter erupsi freatik seperti Marapi. Hal itu karena Indonesia memiliki sejumlah gunung api yang memiliki potensi erupsi freatik dan sebagian besar ramai oleh wisatawan.
Letusan freatik yang mendadak telah berulang kali menelan korban. Misalnya, pada 2 Juli 2017, sekitar pukul 12.00 WIB, Kawah Sileri di Kompleks Vulkanik Dieng di Provinsi Jawa Tengah tiba-tiba erupsi freatik. Saat itu, ada 17 wistawan yang berada di sekitar kawah dan 10 di antaranya mengalami luka-luka. Ketika erupsi, Kawah Sileri dalam status Normal, tetapi sudah ada larangan pengunjung dilarang mendekat kawah dalam radius 100 meter untuk mengantisipasi erupsi freatik.
Erupsi freatik bisa menjadi berbahaya karena sifatnya yang tiba-tiba. Hal ini disebabkan dinamika fluida dekat kawah karena faktor eksternal, yang bisa dipengaruhi oleh hujan atau perubahan cuaca.
Berbeda dengan letusan magmatik yang lebih sering terjadi, letusan freatik berpusat pada uap superpanas, bukan magma. Kadang-kadang fenomena ini juga disebut letusan ”meriam uap” karena melontarkan uap superpanas bersama abu dan batu ke udara.
Letusan freatik tidak memiliki tanda-tanda awal yang jelas, seperti minimnya intensitas gempa vulkanik, penggembungan tubuh gunung, atau perubahan kimia air kawah. Letusan freatik Gunung Ontake didekat Nagano, Jepang, pada 27 September 2014 menjadi contoh sulitnya mendeteksi dini karakter erupsi ini.
Untuk saat ini, pendaki atau pelaku wisata sebaiknya menjadikan rekomendasi jarak aman PVMBG sebagai acuan.
Letusan Ontake yang terjadi saat status gunung dinyatakan Normal itu menyebabkan 57 pendaki tewas serta 6 lainnya hilang dan diduga tewas. Baru setelah erupsi, Japan Meteorological Agency (JMA), lembaga yang menangani bencana di Jepang, merilis status Level 3, yang artinya tak boleh mendaki Ontake.
Setelah tragedi itu, para peneliti Jepang tertantang untuk mematahkan pengetahuan umum bahwa erupsi freatik tidak bisa dideteksi. Dalam publikasinya di jurnal Earth, Planets and Space (2015), peneliti gunung api dari Nagoya University, Aitaro Kato dan tim, menemukan bahwa sebelum erupsi freatik, Ontake sebenarnya telah mengirim sinyal bahaya.
Para peneliti ini meninjau data seismik setahun menjelang letusan, terutama dua minggu sebelumnya, dan menemukan pola peningkatan aktivitas. Dari pola-pola tersebut—khususnya peningkatan aktivitas di sepanjang parit yang membentang dari utara-barat laut hingga tenggara-tenggara—para peneliti mampu membangun model bagaimana letusan ini berevolusi.
Mereka berhipotesis bahwa, seiring berjalannya waktu, air mulai menyusup ke celah-celah kecil di dasar gunung berapi dan ruang magma akan memanaskan air ini, menimbulkan tekanan yang kemudian melemahkan batuan di sekitarnya. Ini yang akhirnya menyebabkan letusan. Para peneliti kemudian menyarankan untuk memperbaiki teknik observasi untuk membantu memprediksi letusan freatik di masa depan dengan lebih baik.
Simak Juga: Marapi Erupsi, Puluhan Pendaki Dievakuasi
Menurut para peneliti, perlu pemantauan kegempaan terus-menerus dan pergerakan kerak bumi di sekitar puncak karena sinyal geofisika yang terkait dengan perambatan retakan vertikal sebelum letusan terlalu terlokalisasi untuk dapat diamati di medan jauh.
Ini merupakan penelitian pertama yang menggambarkan perambatan cepat saluran vertikal selama tahap percepatan sebelum letusan freatik yang bisa menjadi kabar baik bagi upaya pemantauan dini dan meningkatkan kewaspadaan bagi para pendaki untuk melakukan evakuasi dari lokasi sebelum erupsi.
Namun, perspektif baru dari Kato dan tim ini sepertinya masih belum bisa diterapkan di pemantauan gunung api di Indonesia yang sumber dayanya relatif terbatas. Untuk saat ini, pendaki atau pelaku wisata sebaiknya menjadikan rekomendasi jarak aman PVMBG sebagai acuan.