Mengembangkan Museum Berbasis Kebutuhan Pengunjung
Studi pengunjung menjadi landasan pengembangan museum berbasis kebutuhan pengunjung.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Agar tetap relevan, museum perlu menyesuaikan pelayanannya dengan perkembangan zaman. Studi kunjungan secara berkesinambungan dapat menjadi landasan dalam mengembangkan museum yang berbasis kebutuhan pengunjung.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi turut memengaruhi perubahan kebutuhan pengunjung akan museum. Informasi koleksi museum, misalnya, perlu dilengkapi dengan informasi digital dengan infografis yang lengkap. Selain agar lebih menarik, juga memudahkan pengunjung memahaminya.
”Meskipun museum punya visi dan misinya sendiri, pelayanannya perlu disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Studi atau survei kunjungan bisa menemukan apa yang belum bagus sehingga dapat dibenahi,” ujar peneliti museum, Andika Devara Loeis, dalam seminar ”Museum Masa Depan: Membangun Program Publik, Fasilitas, dan Media Sosial Berbasis Kajian Pengunjung”, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Dalam tiga bulan terakhir, Devara melakukan kajian pengunjung Museum Tekstil di Jakarta dengan metodologi survei formulir Google, wawancara, dan analisis media sosial terhadap 400 pengunjung.
Secara demografi, pengunjung didominasi usia 12-25 tahun, yaitu sebanyak 336 orang. Mayoritas pengunjung merupakan pelajar (331 orang).
”Hal ini sejalan dengan adanya study tour atau program dari sekolah. Tantangannya adalah bagaimana membangun ketertarikan terhadap museum pada orang-orang di luar kelompok itu (12-25 tahun),” katanya.
Oleh sebab itu, museum perlu mengembangkan program publik yang menarik. Devara menuturkan, berdasarkan hasil survei dan data, tema dan konten program di Museum Tekstil, seperti seminar dan lokakarya, dinilai baik. Namun, juga terdapat saran agar program publik lebih bervariasi.
Pengembangan museum memungkinkan diselaraskan dengan berbagai program yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Untuk merespons krisis iklim, misalnya, museum dapat memandu pengunjung melalui perjalanan yang rendah emisi.
Saran lainnya dari peserta program publik adalah penambahan informasi digital. Selain itu, memperbaiki teknis pelaksanaan program yang dilakukan secara hibrida.
”Selain kebutuhan pengunjung, juga mesti dipikirkan apa sebenarnya kebutuhan dari mereka yang belum datang ke museum. Misalnya, bagaimana agar museum bisa menjadi tempat healing atau menghibur diri,” tuturnya.
Survei tersebut juga menemukan sejumlah keluhan pengunjung terhadap fasilitas museum, seperti pendingin ruangan, pencahayaan, dan kebersihan toilet. Kenyamanan menjadi salah satu faktor masyarakat untuk berkunjung ke museum.
Museolog Hilman Handoni mengatakan, pengembangan museum perlu dibarengi dengan penambahan berbagai fasilitas. Di Museum Tekstil, misalnya, pengelola bisa menyiapkan fasilitas reparasi kain atau wastra.
”Kalau saya punya kain tradisional dari mbah saya yang sudah robek, bagaimana mereparasinya? Adanya fasilitas seperti ini mungkin akan menumbuhkan ketertarikan,” ucapnya.
Berkelanjutan
Pengembangan museum memungkinkan diselaraskan dengan berbagai program yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Untuk merespons krisis iklim, misalnya, museum dapat memandu pengunjung melalui perjalanan yang rendah emisi.
”Beri tahu rute menuju museum dengan memakai angkutan umum, kereta, atau sepeda. Bisa juga museum memanfaatkan atapnya untuk tanaman hidroponik. Selain itu, bagaimana museum mengedukasi pengunjung untuk meminimalkan pembuangan limbah,” ujarnya.
Menurut Hilman, pengembangan museum harus inklusif. Dengan begitu, fasilitasnya disesuaikan dengan kebutuhan semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas.
”Hal ini membutuhkan perubahan paradigma dari semua pengelola museum. Setiap orang punya hak mengakses museum. Jadi, tidak ada seorang pun yang boleh ditinggalkan,” katanya.
Kepala Unit Pengelola Museum Seni Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Sri Kusumawati menyampaikan, studi kunjungan sangat penting untuk mengetahui kebutuhan pengunjung museum. Kemudian memformulasikannya dalam program-program publik untuk menjangkau masyarakat lebih luas.
Kemajuan teknologi membawa banyak perubahan, termasuk dalam mengelola museum. Generasi muda cenderung lebih tertarik dengan penggunaan teknologi imersif dan realitas virtual.
”Kekuatan museum sebenarnya terletak pada koleksinya. Teknologi informasi menjadi penunjang untuk memamerkan koleksi-koleksi itu agar lebih menarik,” ujarnya.