Kelompok Marjinal Perlu Diprioritaskan dalam Penelitian
Kelompok marjinal perlu mendapat prioritas dalam berbagai kajian sehingga turut berkontribusi untuk membantu menciptakan kebijakan sosial yang inklusif.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS —Selama ini, kelompok marjinal kerap mengalami eksklusi sosial atau terpinggirkan dari masyarakat umum. Bagi seorang peneliti sosiologi, keberadaan kelompok marjinal ini perlu mendapat prioritas dalam berbagai kajian dan penelitian sehingga turut berkontribusi untuk membantu menciptakan kebijakan sosial yang inklusif.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia (UI) Francisia Saveria Sika Ery Seda saat memberikan pidato ilmiah dalam acara pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/12/2023). Ery memberikan pidato berjudul ”Kemiskinan, Eksklusi Sosial, dan Social Well-being: Perspektif Studi Pembangunan”.
Ery menyampaikan, mempelajari sosiologi berarti berusaha untuk belajar mengkaji beraneka gejala sosial yang terjadi di masyarakat melalui perspektif sosiologi. Perspektif ini memberikan kepekaan dan kemampuan untuk mencoba menggali lebih dalam serta secara kritis beraneka gejala sosial yang ada di dalam masyarakat.
Semakin pemerintah mempunyai kebijakan sosial yang inklusif, eksklusi sosial khususnya yang berdimensi vertikal, antara lain kemiskinan, cenderung mengalami penurunan.
”Dalam konteks penentuan posisi ini, keberpihakan kepada kelompok-kelompok marjinal yang mengalami proses eksklusi sosial sangatlah signifikan dan relevan bagi seorang peneliti sosiologi. Kelompok marjinal perlu mendapat prioritas dalam berbagai kajian dan penelitian sehingga turut berkontribusi pada kebijakan sosial yang inklusif,” tuturnya.
Menurut Ery, kebijakan sosial yang inklusif merupakan kontribusi utama sosiologi sebagai ilmu terapan bagi kesejahteraan bersama, khususnya kelompok marjinal yang mengalami proses eksklusi sosial. Kelompok ini termasuk perempuan, disabilitas, minoritas etnis ras dan agama, orientasi seksual, ideologi politik, dan strata sosial menengah ke bawah.
Eksklusi sosial adalah konsep yang secara umum menunjukkan kurangnya akses pada sumber daya dan jasa yang disertai kurangnya peran serta dukungan sosial dalam jejaring sosial. Jadi, eksklusi sosial merupakan proses pembatasan akses bagi individu ataupun kelompok untuk dapat berpartisipasi di dalam kehidupan sosial, politik, atau ekonomi.
Dalam pidato tersebut, Ery juga menjelaskan kajian konseptual mengenai kemiskinan. Terdapat dua pendekatan dalam menjelaskan kondisi kemiskinan atau deprivatisasi sosial ini, yaitu pendekatan kemiskinan struktural dan budaya kemiskinan.
”Semakin pemerintah mempunyai kebijakan sosial yang inklusif, eksklusi sosial khususnya yang berdimensi vertikal, antara lain kemiskinan, cenderung mengalami penurunan. Kemudian pada gilirannya meningkatkan inklusi sosial sebagai bagian dari kualitas kehidupan dan indikasi dari sosial well-being,” tuturnya.
Ery menekankan, terdapat satu catatan penting bahwa konteks historis, sosial, kultural, politik, dan ekonomi sangat berpengaruh untuk kondisi well-being setiap negara. Menurut kamus American Psychological Association (APA), well-being adalah keadaan pada seorang individu yang digambarkan dengan adanya rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental, serta kualitas hidup yang baik.
”Sebagai rekomendasi, kita perlu memperhatikan bahwa tidaklah cukup hanya bergantung pada negara, terutama aparat pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan sosial inklusif. Pasar dan pelaku usaha perlu mempertimbangkan bahwa mereka bukan hanya melalui program CSR (tanggung jawab sosial perusahaan), tetapi juga membuat stakeholder menjadi shareholder (pemegang saham),” katanya.
Komunikasi lingkungan
Selain Ery Seda, dalam sidang tersebut juga dikukuhkan Donna Asteria sebagai Guru Besar FISIP UI bidang komunikasi lingkungan berperpektif jender dengan pidato ilmiah berjudul ”Urgensi Komunikasi Lingkungan Berperspektif Jender untuk Mitigasi Perubahan Iklim”.
Donna mengemukakan, dampak jangka panjang perubahan iklim menyebabkan masalah kesehatan, sosial ekonomi, dan memicu konflik akibat krisis lingkungan. Dalam menghadapi situasi ini, komunikasi tidak dapat hanya sebagai instrumen atau alat perjuangan untuk mengupayakan kelestarian lingkungan dan alam.
”Komunikasi lingkungan seharusnya menjadi bagian dalam pengelolaan lingkungan dan dasar melakukan aksi. Pertukaran informasi yang bersifat dialogis akan membentuk kesamaan pemahaman yang bersifat memberdayakan masyarakat,” ucapnya.
Donna menyebut bahwa komunikasi yang diperlukan adalah membentuk pengetahuan hingga terjadi transformasi diri sebagai dasar dari kesadaran dan aksi lingkungan. Hal ini urgen karena bila ditunda akan meningkatkan risiko atau dampak buruk perubahan iklim dari perspektif jender.
Ia pun menegaskan, krisis iklim tidak bersifat netral jender. Perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, untuk membentuk kesadaran dan pengetahuan mengenai risiko perubahan iklim, semua elemen masyarakat, termasuk partisipasi kelompok marjinal perempuan, harus dilibatkan.
”Perempuan harus menjadi aktor dan komunikator, melakukan perubahan sosial dengan mengangkat pengalaman perempuan. Komunikasi lingkungan berspektif jender akan mendukung aksi mitigasi perubahan iklim yang lebih bersifat transformasional dan integratif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan lingkungan lokal dan mendukung keadilan lingkungan untuk pembangunan yang berkelanjutan,” ungkapnya.