Pendidikan ”Hijau” Terus Meluas
Dunia pendidikan didorong untuk menaruh perhatian lebih pada perubahan iklim dengan mengimplementasikan pendidikan hijau.
Dampak perubahan iklim kian serius. Ajakan bagi dunia pendidikan untuk menyiapkan guru dan pelajar memahami tantangan perubahan iklim guna mendorong banyak aksi nyata untuk mengatasinya dibutuhkan.
Ajakan bagi negara-negara dunia untuk menaruh perhatian pada pendidikan ”hijau”, pendidikan ramah lingkungan, atau pendidikan perubahan iklim terus bergaung. Terdapat total 80 negara, mencakup 75 persen populasi global, yang telah menginisiasi eksplorasi pendekatan pendidikan ramah lingkungan. Di negara-negara ini, pelajar mulai diajar dan diberi informasi tentang perubahan iklim.
Presiden Joko Widodo saat menyerahkan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) 2024 kepada semua menteri dan pimpinan lembaga sekaligus daftar alokasi transfer ke daerah (TKD) 2024 kepada para kepala daerah secara simbolis di Istana Negara, Jakarta, Rabu (29/11/2023), menyampaikan, situasi global saat ini penuh dengan ketidakpastian. ”Dampak perubahan iklim semakin nyata, potensi krisis dan resesi pun tak kunjung mereda. Sehingga saya ingin mengingatkan kepada kita semua untuk terus waspada,” ujar Presiden.
Berdasarkan studi kompetensi global Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, pelajar Indonesia termasuk yang mendapat nilai terendah dalam memahami isu-isu global, termasuk perubahan iklim. Hanya enam negara yang mendapat peringkat lebih rendah daripada Indonesia dalam studi tersebut.
Baca juga: Mengajak Dunia Pendidikan Sikapi Perubahan Iklim
Itu sebabnya, lewat Kurikulum Merdeka, pembelajaran berbasis proyek, membuka peluang para siswa belajar dari kondisi nyata di sekelilingnya dan mencari solusi dengan membuat proyek bersama menggabungkan beberapa mata pelajaran.
Pada pertemuan SEAMEO High Official Meeting ke-46 di Bangkok, Thailand, baru-baru ini, beberapa perwakilan Indonesia mendapatkan penghargaan di bidang pendidikan terkait lingkungan hidup.
Penghargaan diterima Sekolah Dasar Unggulan Al-Ya’lu, Malang, yang menjadi pemenang pertama dengan program: ”Environmentally Friendly Behavioral Innovation” pada SEAMEO-Japan Education for Sustainable Development (ESD) Award 2023. Dalam program ini, siswa SD AL-YA'LU dan orangtuanya bekerja sama mengumpulkan limbah bambu dan tebu. Limbah tersebut kemudian diolah menjadi pelet sebagai bahan bakar gas yang ramah lingkungan dan hemat di dapur sekolah.
Penghargaan selanjutnya diberikan kepada Sekolah Alam Pacitan, Jawa Timur, dan Putri Rismantia, Guru SDN 17 Talang Ubi, sebagai pemenang pertama kategori sekolah dan guru pada Southeast Asian Waste Hero Award karena berhasil mengelola sampah yang ada di sekolah dengan baik.
Praktik negara lain
Secara terpisah, Anna Cristina d’Addio dari tim Global Education Monitoring (GEM) Report di bawah UNESCO mengatakan, dorongan untuk menyusun profil-profil negara yang mengimplementasikan pendidikan ramah lingkungan atau pendidikan ”hijau” merupakan respons terhadap kebutuhan akan data yang lebih baik mengenai kemajuan pendidikan dan komunikasi perubahan iklim.
Sebuah brosur baru berjudul ”Climate Change Communication and Education Country Profiles: Approaches to Greening Education Around the World” merangkum tren-tren ini. Sebanyak 87 persen negara memiliki undang-undang, kebijakan, atau rencana yang mendukung integrasi perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Misalnya di Chile, perubahan iklim ditangani pada pendidikan pra-sekolah dasar serta pendidikan dasar dan menengah sebagai bagian dari Strategi Nasional Pendidikan Lingkungan Hidup yang lebih luas. Di Etiopia, lingkungan hidup dan perubahan iklim dimasukkan sebagai isu lintas sektoral di semua mata pelajaran di kelas 1-12.
Di Indonesia, perubahan iklim diarusutamakan ke dalam kurikulum sekolah pada tahun 2011. Sementara di Italia, pada 2019 diterbitkan undang-undang yang mengenalkan isu transversal pengajaran kewarganegaraan (yang meliputi perubahan iklim) pada pendidikan siklus pertama dan kedua.
Baca juga: Mengajak Dunia Pendidikan Sikapi Perubahan Iklim
”Dengan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai, kerangka kerja ini bertujuan untuk menanamkan perubahan perilaku pada siswa, mempersiapkan mereka untuk mewarisi dan melestarikan dunia,” kata Anna.
Kini, terdapat sejumlah negara yang mendorong pembelajaran sosial, emosional, dan pengalaman. Para pelajar didorong untuk belajar melalui tindakan mereka, seperti di Ghana ada proyek 'Satu Siswa, Satu Pohon, Satu Sekolah, Satu Hutan' dan di Maroko sekitar 6 juta siswa dilibatkan untuk menanam benih dan stek di halaman sekolah dan sekitarnya.
Sementara di Qatar, sekolah didorong untuk mengirimkan proyek penelitian mengenai isu lingkungan dalam sebuah kompetisi. Kegiatan ekstrakurikuler juga mendorong aksi iklim di negara-negara seperti Etiopia, Jordania, Lebanon, Namibia, Pantai Gading, dan El Salvador.
Mengajarkan perubahan iklim bukan hanya mengenalkan pengetahuan. Menghubungkan hati dan pikiran dengan alam menjadi hal penting yang dibangun pada siswa.
Ada pula program Eco-Schools yang kini diterapkan di lebih dari 43.000 sekolah di seluruh dunia, seperti di Kenya, India, Israel, Jepang, dan Uni Emirat Arab.
Mayoritas negara menekankan pentingnya peran guru dalam pendidikan perubahan iklim. Hal ini membutuhkan modul dan sumber daya panduan pendidikan dan komunikasi perubahan iklim. Di El Salvador, misalnya, Rencana Pelatihan Guru Nasional tahun 2019 bertujuan meningkatkan standar pendidikan, dengan fokus khusus pada perubahan iklim. Di Selandia Baru, beberapa sumber daya untuk guru tersedia daring.
Meskipun terlihat ada kemajuan, masih banyak yang harus dilakukan. Sebagai permulaan, hanya 38 persen dari 80 negara yang memiliki undang-undang, kebijakan, dan strategi nasional yang secara khusus fokus pada pendidikan perubahan iklim. Selain itu, alokasi anggaran untuk pendidikan dan komunikasi perubahan iklim juga terbatas.
Baca juga: Perubahan Iklim Mulai Mengancam Hak Pendidikan
Proyek Pemantauan dan Evaluasi Komunikasi dan Pendidikan Iklim meneliti Kerangka Kurikulum Nasional (2013) dan Rencana Sektor Pendidikan 2020-2024 sebagai referensi mengenai perubahan iklim, keberlanjutan, keanekaragaman hayati, dan lingkungan. Kerangka Kurikulum Nasional Indonesia tahun 2013 menyebutkan frasa ’perubahan iklim’ sebanyak 3 kali, ’keberlanjutan’ sebanyak 10 kali, ’lingkungan hidup’ sebanyak 1 kali, dan ’keanekaragaman hayati’ tidak ada.
Padahal, menurut survei untuk mendukung Strategi Pembelajaran Perubahan Iklim Nasional (2013), Indonesia adalah rumah bagi beragam ahli perubahan iklim dari berbagai disiplin ilmu. Strategi ini menyimpulkan bahwa perlu kapasitas individu dan kelembagaan yang lebih besar untuk memberikan pendidikan perubahan iklim yang berkualitas.
”Guru masih butuh dukungan untuk dapat menerjemahkan perubahan iklim dalam pendidikan dan pembelajaran di kelas. Untuk itu, perlu dikembangkan bahan ajar, media visual, buku, dan pelatihan perubahan iklim yang mengacu pada temuan-temuan ilmiah,” kata Sanny Djohan dari Saka Guru Foundation yang bergerak pada pendidikan perubahan iklim di Asia Tenggara.
”Tidak kalah penting ialah pendekatan sosial dan emosional. Mengajarkan perubahan iklim bukan hanya mengenalkan pengetahuan. Menghubungkan hati dan pikiran dengan alam menjadi hal penting yang dibangun pada siswa,” ujar Sanny.
Sanny menambahkan, rangkaian pendidikan perubahan iklim di lembaga pendidikan memberikan pesan bagi warga sekolah pentingnya perubahan sikap dan gaya hidup sebagai satu bentuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebab, perubahan dari diri sendiri menjadi hal pertama yang penting dilakukan.