Pendidikan Inklusif untuk Anak Difabel Belum Optimal
Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk berkembang lewat layanan pendidikan inklusif.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah hingga perguruan tinggi diperkuat agar tidak seorang pun tertinggal mendapat layanan pendidikan bermutu. Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember menjadi momentum untuk meneguhkan komitmen seluruh bangsa dalam mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang disabilitas.
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Rusprita Putri Utami, mengatakan, saat ini lebih dari 36.000 satuan pendidikan di Indonesia telah menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Pelaksanaan pendidikan inklusif sebagai upaya mewujudkan akses setara di bidang pendidikan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 28H Ayat (2) yang menyebutkan setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
”Semangat inklusivitas, terutama kesetaraan jender dan disabilitas, harus digaungkan. Mari, kita jadikan peringatan Hari Disabilitas Internasional sebagai momentum untuk menegaskan kepedulian dan solidaritas dalam meletakkan prinsip dasar inklusivitas, yaitu No One Left Behind,” ujar Rusprita dalam Temu Sahabat Karakter bertema ”United in Action to Rescue and Achieve the Sustainable Development Goals for, with and by Persons with Disabilities”, Sabtu (2/12/2023), di Jakarta.
Mengacu pada Rapor Pendidikan Nasional 2023 dari hasil Asesmen Nasional tahun sebelumnya, iklim inklusivitas sekolah menjadi salah satu elemen penting yang diukur pemerintah secara nasional. Ada juga soal iklim kebinekaan, keamanan, karakter, kualitas pembelajaran, serta kemampuan literasi dan numerasi.
Iklim inklusivitas sekolah mengevaluasi kondisi lingkungan sekolah yang terbuka terhadap perbedaan dan mampu memfasilitasi murid dengan disabilitas serta cerdas istimewa dan berbakat istimewa.
Semangat inklusivitas, terutama kesetaraan jender dan disabilitas, harus digaungkan. Mari, kita jadikan peringatan Hari Disabilitas Internasional sebagai momentum untuk menegaskan kepedulian dan solidaritas dalam meletakkan prinsip dasar inklusivitas, yaitu No One Left Behind.
Hasil capaian iklim inklusivitas secara nasional dinyatakan baik untuk jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah atas (SMA) sederajat, sedangkan di sekolah menengah pertama (SMP) sederajat masih kurang. Meskipun dinyatakan baik, skornya terbilang rendah di kisaran 55 dari skor 100, dibandingkan dengan iklim kebinekaan sekolah di kisaran 64-67 ataupun iklim keamanan sekolah di kisaran 65-68.
Rusprita mengajak para pemangku kepentingan pendidikan menerapkan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila guna mewujudkan iklim inklusivitas. ”Mari bersama mewujudkan iklim inklusivitas bagi teman-teman difabel dengan membangun karakter kita melalui perwujudan Profil Pelajar Pancasila,” ujarnya.
Meskipun ada peningkatan akses pendidikan anak difabel, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Banyak anak berkebutuhan khusus belum atau tidak melanjutkan pendidikan. Berdasarkan data Statistik Pendidikan 2022, lebih banyak anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah dibandingkan dengan anak nondifabel.
Pada kelompok usia 7-12 tahun (tingkat SD), ada 8,43 persen anak difabel yang tak bersekolah. Anak nondifabel yang tidak bersekolah pada tingkat itu hanya 0,52 persen.
Saat ini, keberadaan sekolah inklusif juga belum optimal. Jumlah dan kualitas gurunya belum memadai. Di samping itu, budaya inklusif di sekolah inklusif, apalagi sekolah reguler, belum berjalan dengan baik. Masih banyak anak penyandang disabilitas yang mengalami diskriminasi dan perundungan di lingkungan sekolah.
Mengakui hak
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Kikin Tarigan, mengapresiasi upaya kolaborasi untuk penguatan karakter bagi para pemangku kepentingan bidang pendidikan untuk para penyandang disabilitas. ”Perlu disadari bahwa makna Hari Disabilitas Internasional sebenarnya adalah saat di mana kita secara sadar sudah memberikan dan mengakui hak-hak para penyandang disabilitas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kikin menekankan pentingnya menyadari kesetaraan hak-hak para penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan. Pemenuhan hak penyandang disabilitas baru terwujud pada tahun 1992 saat Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat resolusi. Sejak itulah lahir Hari Disabilitas Internasional.
Salah satu guru Sekolah Luar Biasa (SLB) A Tingkat Nasional, Santy Yulianti, mengungkapkan berbagai kegiatan yang melibatkan penyandang disabilitas menjadi pengalaman berharga bagi anak-anak dalam meningkatkan kepercayaan diri mereka dan membuktikan mereka juga mampu menampilkan keterampilan yang baik dengan segala keterbatasan.
”Penyelenggaraan pendidikan di SLB A Tingkat Nasional bukan hanya berisi pendidikan formal, tetapi juga ada kegiatan ekstrakurikuler. Kami di sekolah telah mengadakan penilaian untuk melihat potensi para murid penyandang disabilitas sehingga mereka bisa memiliki keterampilan lain seperti yang kita saksikan hari ini, yaitu penampilan band,” ujar Santy.
Salah satu orangtua penyandang disabilitas, Siti Aminah, menuturkan, anaknya yang penyandang disabilitas, Sigit Radityo Nugroho, dapat berprestasi sebagai atlet catur. ”Saya sebagai orangtua berharap para penyandang disabilitas di seluruh Indonesia, bahkan di dunia, juga mendapatkan perhatian, pengakuan, penghormatan, akses, dan juga kesetaraan hak yang menjadi bekal untuk mengarungi kehidupan,” kata Siti.
Sementara itu, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan di Hari Disabilitas Internasional ini, pihaknya menyerukan kepada seluruh komunitas internasional untuk melakukan mobilisasi sehingga penyandang disabilitas dapat aktif berkontribusi dalam menanggapi krisis dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru.