Memperluas Wawasan Budaya lewat Pameran Benda Bersejarah Rampasan Belanda
Setelah berabad-abad, benda-benda bersejarah Nusantara yang dirampas Belanda dipulangkan ke Indonesia. Repatriasi ini bukan sekadar memindahkan barang, tetapi membuka jalan menggali dan memperluas wawasan budaya bangsa.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Di bawah guyuran gerimis, Zehan (13) dan teman-teman sekolahnya mempercepat langkah memasuki Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Jumat (1/12/2023). Namun, langkah mereka sempat berhenti saat berhadapan dengan arca Prajnaparamita yang terletak di ruang depan galeri tersebut.
Arca peninggalan abad ke-13 dari Kerajaan Singasari ini menggambarkan sosok dewi kebijaksanaan yang duduk di atas lapik padma atau teratai. Kedua tangannya diletakkan di depan dada dalam sikap dharmacakra yang melambangkan ajaran kebenaran.
”Baru pertama kali menengok arca secara langsung. Selama ini cuma lihat gambar di buku sejarah dan video,” ujar Zehan saat mengunjungi pameran Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara yang digelar pada 28 November-10 Desember 2023.
Arca ini ditemukan pada awal 1800-an bersama arca-arca lain di sekitar Candi Singasari, Jawa Timur. Setelah dibawa ke Belanda pada 1820, arca bercorak Buddha tersebut dikembalikan ke Tanah Air pada 1978.
Di ruangan yang sama, berdiri tegak empat arca peninggalan Kerajaan Singasari lainnya, yaitu Durga Mahisasuramardini, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha. Bedanya, keempat arca itu baru dipulangkan ke Indonesia pada Agustus lalu.
Artinya, sudah tiga abad empat arca tersebut berada di ”Negara Kincir Angin”. Di masa kolonial, Belanda banyak mengumpulkan benda bersejarah dari berbagai daerah di Indonesia. Modusnya beragam, mulai dari perampasan, penelitian, hingga koleksi pribadi.
Pameran tersebut juga menampilkan ratusan benda bersejarah lainnya hasil repatriasi. Bentuknya pun beraneka rupa, di antaranya senjata, benda pusaka, dan perhiasan.
Menurut Zehan, mengunjungi pameran itu membantunya untuk lebih mudah mempelajari sejarah Nusantara. Sebab, selain mendengarkan narasi pengetahuan dari pemandu pameran, ia dan rekan-rekannya juga bisa melihat langsung benda-benda bersejarah itu.
Saat masih asyik mengamati beberapa perhiasan rampasan Belanda dari Lombok, siswa kelas VII SMP Negeri 60 Jakarta itu diingatkan oleh petugas pameran bahwa waktu berkunjung akan segera berakhir. ”Senang bisa menimba pengetahuan di pameran ini. Kalau waktu kunjungannya lebih panjang, pasti akan semakin bagus untuk siswa belajar lebih banyak,” ucapnya.
Kunjungan pameran repatriasi dibagi dalam 10 sesi dalam satu hari. Setiap sesi kunjungan berlangsung selama 55 menit. Rata-rata pengunjung per sesi berjumlah 100 orang. Artinya, terdapat 1.000 pengunjung setiap hari.
Rizki Dhifan, pemandu pameran, mengatakan, arca Prajnaparamita menjadi salah satu artefak yang memelopori upaya repatriasi. Total terdapat 152 benda bersejarah dari berbagai daerah yang ditampilkan dalam pameran tersebut.
Harapannya dari sini kita bisa secara langsung menyaksikan keping sejarah bangsa yang sempat lama menghilang dari Tanah Air.
”Banyak pengetahuan yang bisa digali dalam pameran ini. Misalnya, arca Prajnaparamita itu bercorak Buddha, sementara empat arca lainnya yang juga dari Singasari bercorak Hindu. Ini menggambarkan sinkretisme di Candi Singasari atau di periode itu,” jelasnya.
Mengungkap misteri
Pameran kolaborasi Galeri Nasional Indonesia dengan Museum Nasional Indonesia juga menyisakan sejumlah pertanyaan bagi pengunjung. Pertanyaan itu meliputi berbagai aspek, mulai dari perlakuan terhadap benda bersejarah hingga informasi tentang obyek tersebut.
Dewi (21), mahasiswa universitas swasta di Jakarta, misalnya, masih belum menemukan jawaban yang memuaskan mengapa empat keris rampasan dari Lombok tidak dikeluarkan dari warangka atau sarungnya. Padahal, obyek keris lainnya, seperti keris dari Kerajaan Klungkung, Bali, diperlihatkan secara jelas dengan dikeluarkan dari sarungnya.
Ia pun sempat menanyakan hal itu kepada pemandu pameran. ”Jawabannya lebih mengarah mengenai mistis. Misteri ini perlu diungkap, mungkin dengan penelitian. Saya yakin ada alasan rasional di baliknya,” katanya.
Menurut Dewi, upaya repatriasi yang dilakukan pemerintah untuk memulangkan benda bersejarah Nusantara patut diapresiasi. Langkah ini membuka jalan untuk meneliti sejarah budaya bangsa yang lebih luas.
”Ini kesempatan bagus untuk Indonesia, terutama bagi generasi muda dalam menambah wawasan budaya. Hanya saja harus dibarengi dengan tanggung jawab negara dengan memastikan pemeliharaan dan keamanannya. Kita ingat sekitar dua bulan lalu Museum Nasional terbakar. Kejadian itu harus jadi pelajaran penting,” ucapnya.
Dalam pengantar kuratorialnya, kurator pameran itu, Bonnie Triyana, menyebutkan, upaya pengembalian benda bersejarah Indonesia sudah dirintis sejak lama. Mantan Menteri Kehakiman Mohammad Yamin sudah mengusulkan hal itu pada 1951.
Setelah 21 tahun berselang, keropak Nagarakertagama dikembalikan ke Tanah Air. Menyusul enam tahun kemudian arca Prajnaparamita dan sejumlah pusaka dari Kerajaan Lombok dipulangkan dari Belanda.
”Pengembalian benda-benda tersebut mengawali babak baru hubungan kebudayaan kedua negara (Indonesia dan Belanda) yang sempat membeku akibat konflik di era revolusi kemerdekaan. Repatriasi membuka pintu bagi dialog kedua negara dalam bidang sejarah dan kebudayaan,” jelasnya.
Dalam pembukaan pameran Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, terdapat perbedaan antara proses repatriasi pada 1970-an dan era sekarang. Dahulu, benda-benda itu dikembalikan atas dasar ”hadiah” dari Pemerintah Belanda. Saat ini, benda-benda itu dikembalikan karena permintaan dari Pemerintah Indonesia.
”Harapannya dari sini kita bisa secara langsung menyaksikan keping sejarah bangsa yang sempat lama menghilang dari Tanah Air. Dengan semangat itu, di masa mendatang bukan hanya benda-bendanya yang kembali, melainkan juga perhatian dan pemahaman tentang koleksi benda bersejarah itu semakin berkembang,” katanya.