Tinggal Lama di Luar Angkasa Tingkatkan Risiko Disfungsi Ereksi
Gangguan disfungsi ereksi tetap muncul meski antariksawan sudah setahun kembali ke Bumi.
Paparan radiasi kosmik, lingkungan tanpa bobot, hingga ketidakberdayaan karena hidup serba terbatas dan jauh dari Bumi meningkatkan risiko disfungsi ereksi pada antariksawan yang tinggal lama di luar angkasa. Meski konsumsi beberapa antioksidan bisa membantu mengatasi gangguan itu, efek ini perlu jadi perhatian seiring makin berkembangnya eksplorasi antariksa.
Saat industri antariksa bersiap mengirim antariksawan mengelilingi Bulan pada awal 2024 dan menuju Mars pada 2040, ekstremitas lingkungan luar angkasa yang berdampak pada kesehatan antariksawan perlu mendapat perhatian khusus. Eksplorasi antariksa dalam jangka panjang bisa memengaruhi kesehatan fisik, mental, hingga seksual antariksawan.
Dalam uji terhadap tikus pada laboratorium yang diatur menyerupai lingkungan luar angkasa, peneliti dari Departemen Gizi dan Fisiologi Integratif Universitas Negeri Florida, Amerika Serikat, Justin D La Favor dan rekan, menemukan tinggal lama di luar angkasa bisa mengganggu jaringan fungsi ereksi tikus. Di laboratorium di Bumi itu, tikus dipaparkan dengan kondisi gravitasi rendah dan radiasi kosmik galaksi (GCR) yang tinggi.
Bahkan, hasil studi yang dipublikasikan di The FASEB (Federation of American Societies for Experimental Biology) Journal, 22 November 2023, itu menunjukkan efek disfungsi ereksi itu masih terjadi hingga setahun masa pemulihan setelah mereka dari luar angkasa. Kondisi ini menunjukkan, eksplorasi luar angkasa memberi dampak jangka panjang bagi antariksawan.
Baca juga: Hidup di Luar Angkasa Picu Penuaan Dini
”Dengan sejumlah misi berawak ke luar angkasa yang direncanakan untuk tahun-tahun mendatang, kesehatan seksual antariksawan harus dipantau secara ketat, bahkan sekembali mereka ke Bumi,” kata La Favor seperti dikutip Livescience, Senin (27/11/2023).
Dikutip dari situs Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), radiasi kosmik galaksi adalah partikel energetik yang membombardir Bumi secara terus-menerus. Sumber radiasi ini berasal dari luar Tata Surya dan kemungkinan berasal dari sisa-sisa ledakan besar di masa lalu, termasuk supernova.
Di Bumi, atmosfer planet yang tebal akan membelokkan GCR kembali ke ruang angkasa sehingga mampu melindungi makhluk yang ada di bawah atmosfer tersebut. Namun, di luar angkasa, perlindungan antariksawan dari GCR sangat terbatas sehingga mereka mudah terpapar GCR.
Besarnya paparan GCR itu membuat antariksawan yang tinggal selama enam bulan di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS) akan menerima paparan radiasi kosmik setara dengan 25 kali masa hidup di Bumi. Tingginya paparan GCR itu bisa memicu kanker, kerusakan neurologis, hingga penyakit kardiovaskuler.
”GCR dan kondisi tanpa bobot sama-sama memberi dampak negatif pada kondisi kesehatan (antariksawan). Namun, dampak hal itu pada fungsi ereksi belum pernah diteliti sebelumnya,” kata La Favor.
Bagaimanapun, isu kesehatan seksual masih tabu untuk dibicarakan, termasuk di lingkungan antariksawan yang menjalani misi berbulan-bulan di ISS. Meski semua badan antariksa membantah pernah melakukan studi tentang hubungan seksual di luar angkasa, banyak gosip beredar tentang bagaimana antariksawan memenuhi kebutuhan seksualnya.
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan membangun dan mempertahankan ereksi pada laki-laki selama berhubungan badan. Studi Penuaan Laki-laki Massachusetts (MMAS) tahun 1994 yang dikutip dari Healthline, 5 Maret 2020, menunjukkan 52 persen laki-laki mengalami disfungsi ereksi. Prevalensi itu meningkat 5-15 persen pada laki-laki berumur 40-70 tahun.
Peneliti menyarankan untuk mempertimbangkan matang pengiriman antariksawan ke luar angkasa dalam waktu lama.
Studi terbaru di jurnal BJU International, 2 Juli 2019, menemukan prevalensi disfungsi ereksi global mencapai 3-76,5 persen. Semakin bertambah usia, jumlah laki-laki yang mengalaminya semakin meningkat.
Dikutip dari situs Mayo Clinic, pemicu disfungsi ereksi secara umum bisa berasal dari berbagai masalah fisik dan mental, mulai dari obesitas, kolesterol tinggi, diabetes, penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah, sindrom metabolik, hingga gangguan tidur. Rokok, penyalahgunaan alkohol, dan obat terlarang juga bisa memicu masalah ini. Selanjutnya, stres, kecemasan, depresi, hingga masalah relasi sosial dapat pula menimbulkan disfungsi ereksi.
Namun, pemicunya menjadi lebih kompleks di luar angkasa. Tinggal di luar angkasa saja sudah memberikan tekanan berbeda pada kondisi fisik dan mental antariksawan karena manusia memang tidak pernah berevolusi di luar angkasa. Apalagi jika mereka harus tinggal dalam waktu lama di luar angkasa. Saat ini, sejumlah badan antariksa tengah meneliti dampak tinggal di luar angkasa lebih dari satu tahun pada kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Karena itu, peneliti menyarankan untuk mempertimbangkan matang pengiriman antariksawan ke luar angkasa dalam waktu lama. Terlebih, jika dampak dari pengiriman mereka itu berlangsung dalam jangka panjang setelah mereka kembali ke Bumi.
Uji laboratorium
Proses uji dampak lingkungan luar angkasa terhadap kesehatan seksual antariksawan itu dilakukan La Favor dan rekan terhadap 86 tikus jantan dewasa. Tikus-tikus itu ditempatkan di simulator GCR berbasis Bumi di Laboratorium Radiasi Antariksa milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) di New York untuk dipaparkan dengan radiasi dalam beberapa dosis.
Selama menjalani uji, tikus-tikus tersebut diletakkan dalam posisi yang memungkinkan mereka merasakan efek fisiologis utama dari kondisi tanpa bobot sebagai konsekuensi dari kecilnya gaya gravitasi. Efek fisiologis pertama yang ingin diwujudkan adalah tikus tidak menanggung beban tubuhnya sendiri sehingga tidak ada resistensi pada otot dan tulang mereka.
Untuk bisa merasakan efek itu, tikus-tikus tersebut dibuat dalam posisi tidak berdaya selama empat minggu. Ekor tikus diangkat sehingga tikus dalam posisi menggantung dan kepalanya menunduk miring 30 derajat. Kondisi itu masih memungkinkan kaki tikus untuk menyentuh lantai.
Baca juga: Radiasi Luar Angkasa Bukan Pemicu Utama Kanker pada Antariksawan
Sedang efek fisiologis kedua yang ingin ditiru adalah pergeseran cairan tubuh dan tekanan. Manusia berevolusi dalam lingkungan dengan gravitasi Bumi penuh sehingga tubuhnya terbiasa melawan gravitasi Bumi. Rendahnya gravitasi, seperti dikutip majalah Popular Science, 26 Mei 2020, membuat darah dan cairan manusia terkumpul di tubuh bagian atas dan kepala hingga membuat wajah antariksawan bengkak dan kaki kecil mirip kaki ayam.
Setelah empat minggu, tikus-tikus tersebut dikeluarkan dari simulator dan kondisi kesehatannya terus dipantau. Pada 12-13 bulan setelah menjalani pemulihan dari paparan radiasi kosmik, peneliti mengeutanasia tikus-tikus tersebut. Tindakan ini dilakukan untuk mengambil sampel jaringan ereksi penis corpus cavernosum (CC) dan pembuluh darah arteri pudenda interna distal (dIPA) dari penis tikus.
CC adalah salah satu dari dua silinder di dalam penis yang berisi darah untuk membuat ereksi. Kedua CC ini terletak di sepanjang batang penis, dari tulang kemaluan sampai kepala penis, tempat kedua CC bertemu. Sementara dIPA adalah arteri utama utama yang mengatur aliran darah ke penis selama ereksi.
Terlalu banyak radikal bebas bisa mengacaukan sistem tubuh, menyebabkan stres oksidatif yang bisa memicu sejumlah penyakit degeneratif.
Hasilnya, peneliti menemukan bahwa paparan radiasi kosmik pada tingkat rendah sudah bisa mengganggu fungsi kedua jenis jaringan tersebut. Radiasi GCR meningkatkan stres oksidatif hingga memicu penumpukan radikal bebas di dalam tubuh yang dapat merusak sel. Gangguan pada kedua jaringan inilah yang akhirnya memicu disfungsi ereksi.
Namun, percobaan lanjutan menunjukkan bahwa beberapa efek yang disebabkan oleh GCR dapat diatasi dengan menggunakan beberapa jenis antioksidan. Antioksidan adalah senyawa alami atau buatan yang bisa mencegah dan memperlambat kerusakan sel dan jaringan yang akan menyerang radikal bebas, yaitu molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan.
Radikal bebas itu dapat berasal produk sampingan alami metabolisme tubuh atau respons terhadap tekanan lingkungan, seperti polusi, asap rokok, hingga radiasi. Namun, terlalu banyak radikal bebas bisa mengacaukan sistem tubuh, menyebabkan stres oksidatif yang bisa memicu sejumlah penyakit degeneratif. Karena itu, untuk menjaga keseimbangan radikal bebas dan mencegah stres oksidatif, antioksidan diperlukan.
Dalam uji ini, peneliti menggunakan antioksidan mito-TEMPO atau mitochondria-targeted antioxidant yang secara khusus menargetkan sel dan mitokondria serta antioksidan 4-hydroxy-TEMPO atau disebut sebagai TEMPOL. Kedua antioksidan ini termasuk senyawa buatan.
Secara alamiah, seperti dikutip dari Livescience, 5 Oktober 2022, antioksidan banyak ditemukan pada buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, dan kacang-kacangan. Buah seperti apel, stroberi, pepaya, dan semangka kaya akan kandungan antioksidan. Bahkan, buah kering, seperti apel, pir, dan kurma, memiliki antioksidan yang lebih besar dibandingkan buah segar meski kadar gulanya menjadi lebih tinggi.
Antioksidan juga banyak ditemukan pada berbagai jenis sayur. Sayuran merah, oranye, atau kuning, seperti wortel, paprika, labu, dan ubi jalar, mengandung antioksidan karotenoid. Sayur hijau seperti sawi, kubis, kangkung, brokoli, dan bayam banyak mengandung antioksidan quercetin dan lutein.
Aneka rempah, seperti kunyit, jahe, kayu manis, hingga kemangi dan oregano juga kaya akan antioksidan. Sementara kacang merah dan kacang pinto serta kacang-kacangan lain banyak mengandung antioksidan kaempferol.
Baca juga: Sajian Antioksidan
Berbagai jenis antioksidan alami itu dinilai bisa mengurangi masalah disfungsi ereksi. Namun, apakah dampaknya sama dengan penggunaan antioksidan buatan yang digunakan dalam studi, perlu ditelusur lebih jauh.
Meski demikian, studi ini memiliki kelemahan lain. Studi ini hanya dilakukan dengan mengamati efek kesehatan akibat GCR dan kondisi tanpa bobot setelah masa pemulihan yang panjang. Artinya, ada kemungkinan efek disfungsi ereksi itu akan semakin besar jika diamati dalam masa pemulihan yang lebih singkat.
Karena itu, studi lanjutan diperlukan, terutama untuk mencari penyebab disfungsi ereksi lebih dalam serta mencari solusi untuk mengatasi dan mencegahnya. Bagaimanapun, eksplorasi luar angkasa tetap penting bagi manusia, tetapi kesehatan dan keselamatan manusia yang menjalaninya tetap harus menjadi yang utama.