Perubahan Iklim Perluas Sebaran Kelelawar Vampir Pembawa Virus Rabies
Perubahan iklim memperluas penyebaran kelelawar vampir yang membawa virus rabies.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim memperluas penyebaran kelelawar vampir (Desmodus rotundus) ke wilayah yang sebelumnya aman. Penelitian terbaru ini juga menemukan, perluasan wilayah jelajah D. rotundus telah meningkatkan penularan virus rabies.
”Apa yang kami temukan adalah distribusi kelelawar vampir berpindah ke arah utara seiring berjalannya waktu,” kata Paige Van de Vuurst, mahasiswa doktoral di Program Pascasarjana Biologi, Kedokteran, dan Kesehatan Translasi Virginia Tech, dalam keterangan tertulis, Senin (27/11/2023).
Kondisi ini disebabkan perubahan iklim di masa lalu, yang berhubungan dengan peningkatan kasus rabies di banyak negara Amerika Latin. Van de Vuurst menjadi penulis utama riset yang diterbitkan di jurnal Ecography baru-baru ini.
Laporan itu menyebutkan, kelelawar vampir, yang saat ini hanya ditemukan di Meksiko serta Amerika Tengah dan Selatan, berpindah tempat, dan Amerika Serikat akan menjadi rumah yang layak dalam 27 tahun ke depan.
Patogen yang dibawa kelelawar merupakan ancaman terhadap kesehatan global dan dalam sejarah terkini telah memberikan dampak besar terhadap morbiditas dan mortalitas manusia. Contohnya termasuk penyakit seperti rabies, ensefalitis virus nipah, dan sindrom pernapasan akut parah (SARS).
Perubahan iklim dapat memperburuk munculnya patogen yang dibawa oleh kelelawar dengan memengaruhi ekologi kelelawar di ekosistem tropis. Dalam kajian ini, para peneliti melaporkan dampak perubahan iklim terhadap ekologi distribusi kelelawar vampir Desmodus rotundus selama satu abad terakhir.
Temuan ini menyimpulkan, dengan adanya pergeseran musim, perbedaan suhu antara musim terdingin dan terhangat, kelelawar vampir telah memperluas lokasi untuk mencari iklim yang lebih stabil dan beriklim sedang.
Tim peneliti, yang terdiri dari mahasiswa sarjana dan pascasarjana, juga menemukan bahwa perluasan jangkauan ini dapat dikaitkan dengan penyebaran rabies.
Kelelawar vampir (Desmodus rotundus) dikenal sebagai pembawa rabies, penyakit yang terkenal dengan tingkat kematiannya tinggi dan sering dianggap sebagai patogen tertua yang diketahui manusia, sejak 3.000 tahun yang lalu.
”Analisis retrospektif kami menyebut relasi positif perubahan iklim dan perluasan sebaran D. rotundus ke utara di Amerika Utara. Selain itu, standar deviasi suhu di area penangkapan D. rotundus menurun seabad terakhir, sebagai iklim lebih konsisten dan tak musiman beberapa tahun terakhir,” tulis Van de Vuurst.
Menurut para peneliti, hasil kajian ini juga menjelaskan hubungan antara perluasan wilayah jelajah D. rotundus dan peningkatan penularan virus rabies di tingkat kontinental dari D. rotundus ke sapi dalam 50 tahun terakhir dari periode penelitian 120 tahun.
Studi korelatif tersebut berdasarkan observasi lapangan, menawarkan bukti empiris yang mendukung studi berbasis statistik dan simulasi matematis sebelumnya yang melaporkan kemungkinan peningkatan penyakit yang ditularkan kelelawar sebagai respons pada perubahan iklim.
”Kami menyimpulkan sistem rabies D. rotundus memberi contoh konsekuensi perubahan iklim pada relasi satwa liar-ternak-manusia, yang menunjukkan perubahan global memengaruhi sistem yang kompleks dan saling berhubungan ini untuk mendorong peningkatan munculnya penyakit,” sebut Van de Vuurst.
Laboratorium alam
Dalam kajian ini, tim Virginia Tech mengidentifikasi dan melacak pergerakan kelelawar dengan menempuh perjalanan ke Kolombia untuk membantu menahan penyebaran ke negara lain, termasuk Amerika Serikat dan industri peternakan penting di negara tersebut.
Sistem rabies D. rotundus memberi contoh konsekuensi perubahan iklim pada relasi satwa liar-ternak-manusia.
”Kolombia adalah negara yang amat beragam, menjadikannya laboratorium alam yang sempurna,” kata Luis Escobar, asisten profesor di Departemen Konservasi Ikan dan Satwa Liar di Virginia Tech. Negara ini memiliki burung kolibri dan kelelawar terbanyak akibat iklim tropis dan dekat garis khatulistiwa.
Berkolaborasi dengan tiga universitas lokal, Universitas La Salle, Universidad Distrital, dan Universidad del Tolima, tim kolektif ini menjelajahi seluruh Kolombia untuk mengumpulkan lebih dari 70 sampel spesies kelelawar.
Hal itu mencakup perubahan geografis dan iklim, mulai dari hutan panas dan lembap hingga bagian Pegunungan Andes yang dingin dan berawan. Kondisi itu memungkinkan tim mengamankan sampel dan mengamati bagaimana perubahan iklim dapat mengubah munculnya penyakit pada kelelawar.
Tim juga menjelajahi tempat-tempat di Kolombia yang sebelumnya tertutup bagi para ilmuwan, termasuk Chaparral, kota di wilayah Tolima yang diizinkan untuk menyambut wisatawan setelah perjanjian damai tahun 2016.
Penelitian ini berupaya mengatasi kesenjangan pengetahuan yang membatasi pemahaman tentang penyebaran rabies dan penyebarannya dari satwa liar ke manusia. Van de Vuurst memimpin perekrutan tim di seluruh kampus dan menghasilkan 30 mahasiswa yang berminat dari berbagai disiplin ilmu.
Sebelum perjalanan ke Kolombia untuk mempelajari kelelawar vampir, Escobar dan timnya bertemu di dekat Duck Pond untuk meninjau informasi keselamatan penting dan protokol pengambilan sampel lapangan. ”Kami memilih sekelompok siswa luar biasa, dan saya amat bangga dengan mereka,” kata Van de Vuurst.