Indonesia perlu mengawal kesepakatan tentang ”Global Stocktake” pada COP28 Dubai guna mendorong perubahan transformatif dalam mempercepat aksi iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu agenda dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 30 November-12 Desember 2023 adalah mengevaluasi aksi iklim dalam Global Stocktake. Sebagai salah satu negara kepulauan yang paling terdampak perubahan iklim, Indonesia perlu mengawal kesepakatan ini guna mendorong perubahan transformatif dalam mempercepat aksi iklim.
DirekturWorld Resources Institute (WRI) Indonesia Nirarta Samadhi mengemukakan, terdapat sejumlah hal yang perlu disoroti dalam COP28 Dubai. Hal pertama yang disoroti adalah bagaimana respons Indonesia terhadap Global Stocktake atau Inventarisasi Global.
”Sebelumnya, setiap negara melaporkan tindakan iklim sesuai kesadaran masing-masing. Akan tetapi, dalam COP21 di Paris tahun 2015 disadari bahwa melaporkan tindakan iklim sesuai kesadaran masing-masing ini tidak akan ada titik temu secara global. Oleh karena itu, negara-negara memutuskan adanya Global Stocktake,” ujarnya dalam diskusi media terkait COP28 di Jakarta, Jumat (24/11/2023).
Proses Global Stocktake dalam Perjanjian Paris 2015 dirancang untuk mengevaluasi tindakan negara-negara di dunia dalam mengatasi krisis iklim setiap lima tahun. Sesuai rencana, Global Stocktake pertama dijadwalkan selesai pada COP28 Dubai tahun ini.
Global Stocktake akan mengevaluasi sejumlah tindakan global, terutama dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca untuk menjaga suhu Bumi tetap di ambang batas 1,5 derajat celsius. Kemudian Global Stoctake juga bertujuan membangun ketahanan terhadap dampak iklim serta menyelaraskan dukungan pendanaan untuk mengatasi krisis iklim.
Nirarta menjelaskan, Global Stocktake akan membuat semua negara berada di titik permulaan yang sama terkait kondisi emisi. Dengan begitu, upaya yang dilakukan setiap negara tersebut bisa ditinjau dan dievaluasi bersama untuk penguatan aksi iklim ke depan.
”Nantinya, upaya yang dilakukan Indonesia dibandingkan dengan negara lain karena semua dilakukan dengan cara, metode, dan alat ukur yang sama. Jadi, tidak ada negara yang bisa mengklaim penghitungan emisinya sendiri. Ini penting untuk diperbandingkan bagaimana ambisi iklim Indonesia dengan negara lain,” tuturnya.
Kemajuan dalam mengatasi perubahan iklim dari negara-negara di dunia masih terlalu lambat.
Kesepakatan tentang Global Stocktake ini akan menjadi landasan untuk aspek lainnya yang perlu disoroti dalam proses perundingan. Aspek tersebut terutama terkait dengan sistem transformasi yang mencakup energi, pangan dan tata guna lahan, serta perkotaan.
”Setiap negara memiliki kemampuan finansial yang berbeda-beda. Apabila kita sudah memulai Stocktake dari titik yang sama, maka seharusnya juga akan menyamakan dari aspek finansial. Global Stocktake akan memperjelas posisi negara masing-masing,” katanya.
Saat memberikan bekal persiapan delegasi Republik Indonesia dalam perundingan COP28 Dubai, Agustus lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar juga menyoroti terkait Global Stocktake. Salah satu ekspektasi target Indonesia dalam COP28 adalah menghasilkan keputusan yang tepat untuk pemanfaatan nyata atas hasil Global Stocktake Pertama.
Selain itu, Indonesia juga menargetkan hasil yang ambisius pada adaptasi melalui Global Goal on Adaptation (GGA), kehilangan dan kerusakan (loss and damage), sertapendanaan terkaitaspek tersebut. Kemudian target lainnya adalah pendetailan Program Kerja Mitigasi (MWP) yang disertai dengan dukungan untuk mengimpelentasikan MWP tersebut.
Tidak cukup kuat
Komitmen dalam meningkatkan aksi iklim global yang lebih kuat juga ditekankan oleh Managing Director for Global DeliveryWRI Moazzam Malik. Aksi iklim ini perlu diperkuat karena kajian terbaru menunjukkan aksi global di berbagai sektor tidak cukup kuat untuk membuat Bumi berada di ambang batas suhu 1,5 derajat celsius.
Laporan Global Stocktake yang dirilis Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCC) tahun ini dengan jelas menunjukkan bahwa kemajuan dalam mengatasi perubahan iklim dari negara-negara di dunia masih terlalu lambat. Namun, laporan ini juga menjabarkan beragam alat dan solusi dari berbagai negara untuk mempercepat pengendalian perubahan iklim.
”Hanya satu dari 42 indikator yang berada di jalur untuk mencapai target tahun 2030. Satu indikator tersebut adalah terkait pangsa kendaraan listrik yang meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak tahun 2020. Pertumbuhan eksponensial ini menempatkan indikator ini tepat di jalurnya pada tahun 2030,” kata Moazzam yang juga Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste 2014-2019.
Menurut Moazzam, dari 42 indikator yang diteliti, tercatat 24 indikator telah bergerak ke arah yang benar. Akan tetapi, target yang ditetapkan saat ini diperkirakan tidak mencukupi untuk menahan laju peningkatan suhu global. Indikator tersebut di antaranya terkait dengan pengembangan intensitas energi, penurunan deforestasi, dan restorasi mangrove.
Guna mencapai transformasi yang cepat di semua sektor untuk mencapai tujuan iklim global, maka diperlukan percepatan aksi iklim dalam dekade ini. Beberapa di antaranya yakni dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan khususnya surya dan angin.
Pangsa kedua energi terbarukan tersebut salam pembangkitan listrik telah tumbuh rata-rata sebesar 14 persen dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pertumbuhan penggunaan energi surya dan angin perlu terus ditingkatkan hingga mencapai 24 persen agar dapat mencapai target penurunan emisi pada tahun 2030.
Upaya lainnya yaitu dengan menurunkan penggunaan energi fosil khususnya batubara secara bertahap tujuh kali lebih cepat dibandingkan laju saat ini. Target ini setara dengan menghentikan sekitar 240 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara setiap tahun hingga 2030.
Kemudian diperlukan juga upaya untuk memperluas cakupan infrastruktur angkutan umum enam kali lebih cepat dari saat ini. Upaya ini setara dengan membangun sistem angkutan umum tiga kali lebih besar dari jaringan rel kereta bawah tanah, jalur bus, dan jalur kereta api ringan di Kota New York setiap tahun.
Selain itu, laju deforestasi tahunan dunia juga perlu dikurangi empat kali lebih cepat dalam dekade ini. Sebab, data menunjukkan bahwa rata-rata deforestasi dunia meningkat dari 5,4 juta hektar pada tahun 2021 menjadi 5,8 juta hektar pada tahun 2022.
Di sisi lain, semua pihak perlu beralih ke pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan delapan kali lebih cepat dari laju sekarang. Hal ini dapat dilakukan dengan penurunan konsumsi daging sapi, kambing, dan domba per kapita menjadi sekitar dua porsi per minggu atau kurang. Penurunan ini terutama dilakukan di wilayah dengan tingkat konsumsi daging tinggi seperti Amerika, Eropa, dan Oseania.