Letusan Gunung Api Hunga Tonga Telah Mengurangi Tingkat Lapisan Ozon
Letusan gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha’apai yang terjadi pada Januari 2022 telah mengurangi tingkat lapisan ozon hingga 7 persen di sebagian besar wilayah belahan bumi bagian selatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Letusan gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha’apai yang terjadi pada Januari 2022 telah mengubah kimia dan dinamika stratosfer pada tahun yang sama. Letusan ini juga tercatat telah mengurangi tingkat lapisan ozon yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni hingga 7 persen di sebagian besar wilayah belahan bumi bagian selatan.
Dampak letusan gunung berapi Hunga Tonga yang telah mengurangi tingkat lapisan ozon ini terangkum dalam hasil studi para peneliti dari Harvard John A Paulson School of Engineering and Applied Sciences (SEAS) dan University of Maryland, Amerika Serikat. Laporan terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada 30 Oktober 2023.
Gunung api Hunga Tonga yang meletus pada 15 Januari 2022 di Pasifik Selatan telah menimbulkan gelombang kejut yang dirasakan di seluruh dunia. Letusan juga memicu tsunami di Tonga, Fiji, Selandia Baru, Jepang, Chile, Peru, dan Amerika Serikat.
Hasil studi para peneliti ini juga menyebut bahwa letusan telah mengubah kimia dan dinamika stratosfer hingga mengurangi tingkat lapisan ozon hingga 7 persen. Hal yang mendorong perubahan atmosfer tersebut ialah banyaknya uap air yang disuntikkan ke stratosfer oleh gunung berapi bawah laut.Letak stratosfer diperkirakan 8-30 mil di atas permukaan bumi dan merupakan tempat beradanya lapisan pelindung ozon.
Peneliti di SEAS dan penulis pertama makalah ini,David Wilmouth,dalam rilis di situs resmi SEAS, Kamis (23/11/2023), mengemukakan, letusan Hunga Tonga sangat dahsyat karena mengempaskan sekitar 300 miliar pon air ke dalam stratosfer yang kering. Ini merupakan jumlah air yang sangat besar dari satu letusan gunung berapi.
Letusan Hunga Tonga-Hunga Ha’apai merupakan ledakan terbesar yang pernah tercatat di atmosfer. Letusan tersebut melemparkan aerosol dan gas jauh ke dalam stratosfer. Beberapa material mencapai mesosfer bawah dan lebih dari 30 mil di atas permukaan bumi serta ketinggian yang tidak pernah tercatat akibat letusan gunung berapi.
Studi sebelumnya menemukan bahwa letusan tersebut meningkatkan uap air di stratosfer sebesar 10 persen di seluruh dunia, dengan konsentrasi yang lebih tinggi lagi di beberapa wilayah di belahan bumi bagian selatan.
”Kami belum pernah melihat dalam sejarah pencatatan satelituap air sebanyak ini terlepas ke atmosfer. Makalah kami merupakan studipertama yang melihat konsekuensi hilir di wilayah luas di kedua belahan bumi pada bulan-bulan setelah letusan menggunakan data satelit dan model global,” kata Ross Salawitch, profesor di Pusat Interdisipliner Sains Sistem Bumi University of Maryland dan salah satu penulis studi tersebut.
Wilmouth dan Salawitch bersama tim peneliti lain menggunakan data dari Microwave Limb Sounder (MLS) yang dipasang di satelit Aura NASA. Data ini digunakan untuk melacak uap air yang bergerak melintasi dunia sekaligus memantau suhu dan kadar klorinmonoksida, ozon, asam nitrat, serta hidrogen kloridadi stratosfer selama satu tahun setelah letusan.
Mereka kemudian membandingkan pengukuran tersebut dengan data yang dikumpulkan oleh MLS dari tahun 2005 hingga 2021 sebelum letusan terjadi.Tim menemukan bahwa injeksi uap air dan sulfurdioksida mengubah kimia dan dinamika stratosfer.Dari segi kimia, sulfurdioksida menyebabkan peningkatan aerosol sulfat yang menyediakan permukaan baru untuk terjadinya reaksi kimia.
Aerosol sulfat
Wilmouth menjelaskan, injeksi sulfurdiokasida gunung berapi memungkinkan terbentuknya aerosol sulfat. Sementara keberadaan uap air juga menyebabkan tambahan produksi aerosol sulfat ini. Meningkatnya aerosol sulfat dan uap air mengawali rangkaian peristiwa dalam kimia atmosfer kompleks yang menyebabkan perubahan luas pada konsentrasi sejumlah senyawa, termasuk ozon.
Uap air berlebih juga mempunyai efek pendinginan di stratosfer yang menyebabkan perubahan sirkulasi. Pada akhirnya hal inilah yang mendorong penurunan ozon di belahan bumi selatan dan peningkatan ozon di daerah tropis.
Para peneliti juga menemukan bahwa puncak penurunan ozon terjadi pada bulan Oktober atau sembilan bulan setelah letusan. Ke depan, para peneliti berharap dapat melanjutkan penelitian dengan mengikuti dampak letusan gunung berapi ini hingga tahun 2023.