Pemerintah Jangan Ragu Perkuat Aturan Pengendalian Rokok
Pemerintah dituntut segera mengesahkan aturan pengendalian produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan. Prevalensi perokok anak dikhawatirkan terus meningkat jika tidak ada aturan yang kuat.
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan upaya pengendalian produk tembakau menjadi salah satu substansi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan. Namun, aturan yang seharusnya ditargetkan rampung pada September 2023 tersebut tidak kunjung disahkan.
Sejumlah kelompok masyarakat sipil mendorong agar pemerintah tidak ragu untuk segera mengesahkan aturan tersebut. Penguatan pengendalian produk tembakau amat mendesak untuk meningkatkan perlindungan pada masyarakat, terutama anak-anak.
Pendiri sekaligus Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari, dalam konferensi pers bertajuk ”Menyoal Komitmen Pemerintah dalam Melindungi Masyarakat dari Zat Adiktif melalui Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan”, di Jakarta, Rabu (22/11/2023), mengatakan, pasal terkait aturan zat adiktif dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan merupakan harapan bagi setiap masyarakat, terutama anak-anak, agar semakin terlindungi dari dampak buruk produk tembakau. Itu sebabnya, pemerintah jangan ragu untuk segera mengesahkan aturan tersebut. Substansi yang sudah disampaikan di dalamnya diharapkan tidak mengalami degradasi.
Baca juga: Pengendalian Penyakit Bukan Hanya Tanggung Jawab Sektor Kesehatan
”PP ini untuk memastikan adanya perlindungan yang kuat pada anak dari paparan asap rokok. PP ini memastikan rokok tidak dijual ke anak. PP ini juga untuk memastikan anak tidak menjadi target pemasaran dari produk rokok. Jadi, jangan ditunda lagi. Semakin lama ditunda, selama itu pula jumlah perokok anak akan terus meningkat,” ujarnya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Jika tidak ada langkah yang agresif dari pemerintah untuk mengendalikan produk rokok, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksi prevalensi perokok anak akan terus meningkat menjadi 16 persen pada 2030 atau setara dengan 6 juta anak.
Untuk itu, Lisda menuturkan, penguatan aturan pengendalian tembakau dalam Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan seharusnya bisa menjadi bentuk komitmen dari pemerintah untuk menekan angka perokok anak di Indonesia. Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak perlu khawatir untuk mengesahkan aturan tersebut karena aturan itu semata-mata untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak.
PP ini untuk memastikan adanya perlindungan yang kuat pada anak dari paparan asap rokok. PP ini memastikan rokok tidak dijual ke anak.
”PP ini secara menyeluruh mengatur mengenai kesehatan. Tidak ada ayat atau pasal yang melarang petani untuk menanam tembakau. Tidak ada juga yang melarang orang untuk merokok, hanya ada batasannya. Selain itu, PP ini juga tidak ada larangan industri untuk memproduksi rokok. Iklan juga masih diperbolehkan. PP ini lebih untuk melindungi masyarakat dan anak,” tuturnya.
Manajer Program Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Nina Samidi menyampaikan, pemerintah diharapkan bisa tetap konsisten untuk memperkuat upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Berbagai pihak saat ini dinilai tengah berupaya untuk melemahkan komitmen tersebut.
Aturan dalam RPP Kesehatan harus lebih kuat dari PP No 109/2012 terkait zat adiktif. Aturan tersebut dinilai lemah sehingga tidak lagi efektif untuk mengendalikan produk tembakau di masyarakat. Oleh sebab itu, aturan dalam RPP Kesehatan mengenai pengendalian zat adiktif harus lebih kuat daripada aturan dalam PP No 109/2012.
”Ada upaya untuk menjegal dan melemahkan isi dari aturan zat adiktif dalam RPP Kesehatan. Ada upaya melalui penyebaran disinformasi ataupun hoaks yang menggoyahkan pemerintah untuk mengesahkan aturan ini,” katanya.
Nina mengatakan, disinformasi tersebut, antara lain, informasi yang menyatakan produk tembakau disamakan dengan narkotika, penghapusan iklan produk rokok, serta melegalkan iklan dan promosi produk rokok. Hal tersebut merupakan informasi yang tidak benar. Sebab, pasal yang menyamakan produk tembakau dengan narkotika sudah dihapus. Selain itu, iklan juga tidak dihapuskan, tetapi iklan akan dibatasi. ”Iklan, promosi, dan sponsorship harus dibatasi dengan ketat karena itu bisa mendorong anak mulai merokok,” tuturnya.
Iklan
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Janoe Arianto dalam siaran pers, Selasa (21/11/2023), menyatakan penolakan atas pasal-pasal dalam RPP Kesehatan yang menyatakan adanya larangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau. Penolakan tersebut terutama pada pasal yang merencanakan pembatasan waktu siaran iklan produk tembakau di televisi yang semula pada pukul 21.30-05.00 menjadi pukul 23.00-03.00.
Baca juga: Anak-anak Indonesia Terkepung Asap Rokok
Penolakan juga dikemukakan atas larangan total pada iklan rokok di media elektronik dan luar ruangan, larangan total iklan, promosi, dan sponsorship pada kegiatan kreatif serta larangan peliputan dan publikasi tanggung jawab sosial dari perusahaan produk tembakau. Aturan tersebut dinilai akan berdampak buruk pada sektor periklanan, ritel, petani tembakau, dan industri tembakau,
”Produk tembakau adalah komoditas legal yang memiliki hak untuk berkomunikasi memasarkan produknya dengan target konsumen dewasa sehingga pelarangan total iklan dan turunannya untuk produk tembakau tidak hanya menghambat industri tembakau, tetapi juga industri periklanan dan media kreatif yang sebetulnya perlu banyak dukungan dari publik,” ujar Janoe.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyampaikan, produk tembakau memang menjadi produk legal di Indonesia. Namun, produk tembakau merupakan produk abnormal. Produk tembakau punya dampak berbahaya bagi masyarakat yang mengonsumsinya.
”Produk rokok tidak tidak normal sehingga semua harus dikendalikan, termasuk pada iklan, promosi, dan sponsorship. Di sejumlah negara lain, iklan rokok malah dilarang total, sementara di Indonesia aturannya masih parsial,” katanya.
Dalam kegiatan dengar pendapat publik RPP UU Kesehatan pada 20 September 2023 disebutkan, pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektrik dilakukan dengan melarang iklan rokok di media luar ruang, situs, ataupun aplikasi elektronik komersial, media sosial, serta tempat penjualan produk tembakau dan rokok elektrik. Sementara di media cetak dan media penyiaran dilakukan pembatasan untuk iklan produk tembakau dan rokok.
Dihubungi terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, RPP Kesehatan masih dalam pembahasan. Namun, ia menegaskan, pasal terkait zat adiktif merupakan hal penting yang harus masuk dalam RPP Kesehatan.
Baca juga: Iklan dan Promosi Rokok Masih Terus Membayangi Anak
Menurut dia, produk rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektrik, berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Rokok menjadi faktor risiko terbesar penyebab 70 persen kematian di Indonesia akibat penyakit tidak menular. Rokok pula erat terkait dengan kondisi tengkes (stunting) di masyarakat. Gizi masyarakat tidak terpenuhi karena tingginya konsumsi rokok di masyarakat, terutama masyarakat tidak mampu.
”Sudah diamanatkan di UU Kesehatan terbaru bahwa zat adiktif diatur dalam PP. Hukumnya sudah jelas. Dalam aturan ini, industri dan petani (tembakau) tidak dihilangkan haknya. Kita hanya mengatur agar masyarakat sehat. Jadi, sudah seharusnya semua pihak mendukung kebijakan yang kita susun untuk pengaturan yang lebih baik agar kesehatan masyarakat bisa lebih baik pula,” tutur Eva.