Beragam Kekayaan Biodiversitas Tersembunyi di Tanah Cyclops
Cagar Alam Pegunungan Cyclops di Papua merupakan kawasan keanekaragaman hayati utama serta menjadi habitat flora dan fauna langka.
Tim peneliti dalam dan luar negeri berhasil mendokumentasikan kembali spesies mamalia bertelur yang diperkirakan telah punah di Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclops, Papua.
Mamalia unik bernama ekidna paruh panjang attenboroughini ditemukan dalam ekspedisi yang dilakukan tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Universitas Cenderawasih, dan Oxford University.
Penampakan spesies endemik Papua ini pertama kali diidentifikasi Pieter van Royen, ahli botani Belanda di Gunung Rara Pegunungan Cyclops Papua pada tahun 1961.Sejak saat itu, spesies ini hanya diketahui dari laporan penampakan masyarakat Yongsu Sapari, dan tanda-tanda tidak langsung saat ekspedisi dilakukan tahun 2022.
Tanda-tanda inilah diamati selama ekspedisi, termasuk kebiasaan menusuk hidung hingga meninggalkan lubang di tanah. Kebiasaan tersebut dilakukan ekidna dengan menggunakan moncongnya yang panjang dan melengkung untuk mencari invertebrata bawah tanah.
Ekidna memiliki ciri-ciri fisik unik, yakni berduri landak, moncong trenggiling, dan kaki tikus tanah. Ekidna terlihat sangat berbeda dari mamalia lain karena spesies ini merupakan anggota monotremata atau kelompok bertelur yang terpisah dari mamalia lainnya sekitar 200 juta tahun yang lalu.
Penemuan ekidna menjadi sorotan dan begitu istimewa karena merupakan satu dari lima spesies monotremata yang tersisa di dunia dan saat ini masuk klasifikasi Sangat Terancam Punah dalam Daftar Merah Badan Konservasi Dunia(IUCN). Ekidna juga terkenal sulit ditemukan karena aktif di malam hari, hidup di liang, dan cenderung sangat pemalu.
Para peneliti dalam ekspedisi ini melakukan berbagai upaya yang tidak mudah menemukan ekidna. Dalam prosesnya, tercatat tim peneliti mengerahkan lebih dari 80 kamera jejak, melakukan beberapa pendakian lembah dan gunung dengan total ketinggian lebih dari 11.000 meter atau 3.000 meter lebih tinggi dari Pegunungan Everest.
Tim peneliti bahkan hampir putus asa karena kamera tidak menangkap tanda-tanda keberadaan ekidna selama hampir empat minggu dengan mayoritas waktu dihabiskan di hutan. Namun, pada hari terakhir dengan kartu memori yang hampir penuh, tim peneliti akhirnya memperoleh foto pertama mamalia langka tersebut.
Identifikasi spesies tersebut kemudian dikonfirmasi Profesor Kristofer Helgen, ahli mamalia dan kepala ilmuwan serta Direktur Australian Museum Research Institute (AMRI).
Ahli biologi dari Oxford University yang memimpin ekspedisi tersebut, James Kempton, mengatakan, penemuan ini merupakan hasil kerja keras dan perencanaan selama tiga setengah tahun. Keberhasilan penemuan ini juga tidak terlepas dari dukungan masyarakat lokal di Kampung Yongsu Sapari, Distrik Raveni Rara, Kabupaten Jayapura, Papua.
”Kepercayaan di antara kami menjadi landasan kesuksesan karena mereka berbagi pengetahuan untuk menavigasi pegunungan berbahaya ini.Bahkan, pengetahuan mereka memungkinkan kami melakukan penelitian di daratan yang belum pernah diinjak oleh kaki manusia,” ujarnya dalam situs resmi Oxford University yang diakses pada Rabu (22/11/2023).
Kekayaan biodiversitas
Selain ekidna, ekspedisi yang dilakukan peneliti tersebut juga berfokus melakukan penilaian komprehensif pertama terhadap kehidupan invertebrata, reptil, amfibi, dan mamalia di Pegunungan Cyclops. Dengan dukungan pemandu lokal di tim ekspedisi, para ilmuwan mampu membuat laboratorium darurat di jantung hutan dengan bangku dan meja yang terbuat dari dahan hutan serta tanaman merambat.
Dukungan tersebut sangat membantu para peneliti hingga menghasilkan banyak temuan baru. Beberapa adalah puluhan spesies serangga baru dan penemuan kembali burung pemakan madu Mayr (Ptiloprora mayri) yang terakhir kali terekam pada 2008.
Baca juga: Selamatkan Cagar Alam Cycloop, Penanaman 78.000 Pohon Bambu Dimulai
Peneliti juga menemukan genus baru udang darat yang dapat bertahanhidup di pohon. Menurut ahli entomologi di Oxford University Museum of Natural HistoryLeonidas-Romanos Davranoglou, ditemukannya udang di jantung hutan menandakan adanya perubahan dari habitat khas pantai bagi hewan-hewan tersebut.
”Kami percaya bahwa tingginya tingkat curah hujan di Pegunungan Cyclops menunjukkan kelembabannya cukup tinggi bagi makhluk-makhluk inisehingga mendukung untuk bertahan hidup sepenuhnya di darat,” tuturnya yang juga terlibat dalam ekspedisi tersebut.
Selain itu, tim mengungkap spesies bawah tanah, termasuk laba-laba buta, laba-laba penuai (harvestman), dan kalajengking cambuk. Dalam dunia sains, semua spesies tersebut belum banyak dieksplorasi dan diamati secara detail.
Kami percaya bahwa tingginya tingkat curah hujan di Pegunungan Cyclops menunjukkan kelembabannya cukup tinggi bagi makhluk-makhluk ini sehingga mendukung untuk bertahan hidup sepenuhnya di darat.
Kekayaan biodiversitas tersebut banyak ditemukan di salah satu puncak suci di atas Yongsu Sapari dan tim peneliti telah diberikan izin khusus untuk melakukan penelitian. Kawasan tersebut tidak banyak didatangi para peneliti karena dianggap suci dan berbahaya.
Tanah berbahaya
Luas kawasan pegunungan dan cagar alam Cyclops mencapai 31.480 hektar. Kawasan yang merupakan sumber air bersih bagi warga Jayapura itu berada di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura.Para peneliti memperkirakan kawasan ini memiliki kekayaan biodiversitas yang amat luar biasa. Namun, eksplorasi dan penjelajahan belum banyak dilakukan karena kawasan tersebut terkenal dengan medan dan jalur amat berbahaya.
Para peneliti dalam ekspedisi tersebut juga merasakan berbahayanya penjelajahan di Cagar Alam Cyclops. Bahkan, dalam salah satu perjalanan menuju sistem goa, peneliti merasakan langsung adanya gempa bumi dan memaksa mereka untuk mengungsi.
Sepanjang ekspedisi, tim peneliti juga diserang oleh gigitan nyamuk dan kutu hingga menghadapi bahaya ular dan laba-laba berbisa. Dalam kondisi serba tidak pasti di hutan, terkadang tim harus mengambil jalan pintas yang belum pernah dilalui manusia sebelumnya.
Meskipun beberapa orang menggambarkan Cyclops sebagai ”Neraka Hijau”, para peneliti dalam ekspedisi ini tetap terkesima dengan pemandangannya yang memesona. Bahkan, peneliti menyebut pemandangan di Cyclops bak keindahan yang digambarkan dalam novel fantasi karya penulis dan akademisi John Ronald Reuel Tolkien.
Terlepas dari kekayaan biodiversitas dan kemegahan Cyclops, sampai kini kawasan tersebut masih menghadapi ancaman degradasi lahan akibat perambahan hutan dan faktor alam. Degradasi inilah yang juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir bandang di Kabupaten Jayapura dan longsor di Kota Jayapura pada 2019 hingga menewaskan 112 orang.
Baca juga: Momentum Perbaikan Kerusakan Cycloop
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Papua pun terus melakukan pemulihan ekosistem di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclops.
Pemulihan ekosistem salah satunya dilakukan melalui penanaman 60.000 pohon merbau (Intsia bijuga), bintangur pantai (Calophyllum inophyllum), lolang hutan (Sterculia parkinsoni), matoa (Pometia pinnata), cemara gunung (Casuarina junghuhniana), dan sengon laut (Paraserianthes falcataria).
Upaya pemantauan juga terus dilakukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan dari program pemulihan ekosistem tersebut. Di sisi lain, pengawasan melalui patroli juga dilakukan guna mencegah perambahan hutan oleh sejumlah pihak. Melalui upaya ini, diharapkan Cyclops tetap menjadi tanah bagi keberlangsungan hidup flora dan fauna langka.