Visi-Misi Pendidikan Capres Dinilai Belum Sentuh Substansi
Visi dan misi calon presiden dan calon wakil presiden perlu terus dikritisi. Meski pendidikan dinilai penting, program yang ditawarkan sering bersifat teknis dan populis.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
HUMAS UNWIRA KUPANG
Mahasiswa dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang mendampingi siswa yang belum lancar membaca, menulis, dan berhitung di Kabupaten Nagekeo, NTT, Juli hingga Agustus 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia lewat pendidikan masih didekati dan diterjemahkan dalam kebijakan yang lebih bersifat teknis dan populis untuk kepentingan jangka pendek mendulang suara. Visi dan misi pendidikan yang ditawarkan calon presiden dan calon wakil presiden masih jauh dari persoalan dan solusi substantif, filosofis, dan kultural untuk membawa pendidikan yang mendukung penguatan karakter, kompetensi, dan daya saing bangsa.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Membedah Visi Misi Pendidikan dari Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden”, Selasa (21/11/2023). Webinar menghadirkan narasumber Ketua Umum Asosiasi Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Indonesia Nurhadi, Sekretaris Umum Asosiasi Profesi Pendidik dan Peneliti Sosiologi Indonesia Rakhmat Hidayat, serta Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim, yang dimoderatori peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Anggi Afriansyah.
Nurhadi mengatakan, dirinya melihat visi dan misi pendidikan yang ditawarkan ketiga pasangan capres dan cawapres lebih pada misi. Paparan terkait sekolah, guru, dan riset menjadi fokus. Namun, ada juga janji untuk menjadikan pesantren dikembangkan lebih jauh.
”Ketiga calon punya komitmen untuk mewujudkan SDM unggul, tetapi menempatkan posisi yang berbeda. Namun, tentang pendidikan lebih berat pada persekolahan. Padahal, ada pilar pendidikan selain sekolah, yakni keluarga dan masyarakat, yang belum banyak disentuh dengan serius,” kata Nurhadi.
Ketiga pasangan dinilai menempatkan pendidikan yang sifatnya teknis, seperti dana/anggaran dan fasilitas. Hal substantif yang berkembang di era kini, seperti digitalisasi pendidikan yang juga menyangkut keamanan data hingga kesehatan mental, belum disorot.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Siswa-siswa kelas jauh SDN 4 Mulyasejati sedang belajar di sekolah di Dusun Sukamulya, Desa Mulyasejati, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Senin (17/7/2017).
”Pendidikan secara substantif dimaksudkan untuk dapat mengubah seseorang atau warga negara. Namun, program pendidikan yang ditawarkan tidak melibatkan tiga ranah pendidikan secara jelas. Dukungan keluarga, masyarakat, dan keteladanan tidak secara jelas dipaparkan,” kata Nurhadi.
Terlihat visi dan misi pendidikan tidak menawarkan hal-hal yang baru. Kebijakan populis dalam penanganan guru, misalnya, masih saja ditawarkan dengan peningkatan kesejahteraan semata.
”Tawaran program-program untuk pendidikan selalu berulang, teknis, dan populis. Ada upaya mensimplifikasi persoalan pendidikan sehingga hanya menjadi persoalan yang berulang,” kata Nurhadi.
Rakhmat mengatakan, dalam konstelasi pemilihan capres dan cawapres lima tahunan, isu pendidikan memang selalu kalah jika dibandingkan dengan politik, hukum, ekonomi, atau luar negeri. Persoalan pendidikan dan sosial terpinggirkan dan tidak menjadi skala prioritas. Jikapun diangkat, hanya jadi pelengkap.
Sampai saat ini banyak masalah guru yang belum selesai yang butuh deregulasi dan debirokratisasi.
Menurut Rakhmat, dalam visi dan misi Ganjar-Mahfud, pendidikan dijabarkan dengan sederhana. Sebaliknya, konsep pemberantasan korupsi, digitalisasi birokrasi, dan tata kelola pemerintahan atau politik hukum keamanan dinilai mendalam. Namun, ada yang menarik tentang pendidikan untuk keluarga miskin satu sarjana hingga GP project sebagai inisiasi merangkul diaspora di luar negeri.
Sementara itu, Prabowo-Gibran dinilai mereplikasi program kerja pemerintahan Joko Widodo, mengubah Nawa Cita menjadi Asta Cita dan ”marketing politik” tentang masalah gizi melalui makan siang gratis dan susu gratis di sekolah dan pesantren. Hal ini perlu mempertimbangkan kesiapan anggaran apakah melalui subsidi atau gratis penuh karena jumlah siswa di Indonesia mencapai lebih dari 51 juta siswa. Ada yang menarik tentang upah minimum untuk kategori guru swasta, PAUD, madrasah, dan yayasan.
Adapun visi dan misi Anies-Muhaimin dinilai fokus, rasional, sistematis, kuat, dan mendalam karena memiliki pengalaman dan pemahaman dalam sektor pendidikan. Namun, pendidikan berbasis agama seharusnya jangan hanya untuk pesantren, tetapi juga kelompok agama lain secara berkeadilan.
”Pendidikan diangkat untuk kepentingan elektoral. Semisal untuk guru selalu diangkat soal kesejahteraan atau gaji, lebih sebatas kepentingan pragmatis elektoral, bukan substantif,” ujar Rakmat.
Hal substansi yang dibutuhkan, misalnya, kata Rakhmat, tata kelola perguruan tinggi mengalami kesenjangan antara PTN badan hukum (PTN BH), badan layanan umum, dan satuan kerja. Ada kebijakan PTN BH-isasi, tetapi ini berdampak pada minimnya subsidi negara pada pendidikan tinggi.
”Apakah dana pendidikan diserahkan kepada masyarakat sebagai penanggung jawab? Padahal, negara punya otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas dengan membangun kesetaraan dan mengurangi kesenjangan di antara perguruan tinggi yang statusnya berbeda, termasuk perguruan tinggi swasta,” ujar Rakhmat.
Rakhmat mengatakan, tidak ada dokumen capres-cawapres yang menyinggung tata kelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta pendidikan riset dan pendidikan tinggi (ristekdikti) untuk dipertimbangkan dalam Kabinet 2024. Hal ini agar beban Kemendikbud tidak terlalu berat dan fokus menggarap PAUD, pendidikan dasar, vokasi, dan kebudayaan. Adapun ristekdikti diperkuat dengan kementerian ristekdikti.
Satriwan menilai, pendidikan selama ini memang tidak terlalu serius dikelola pemerintah. Anggaran fungsi pendidikan sebesar 20 persen APBN tersebar ke kementerian/lembaga lain dan pemerintah daerah di luar Kemendikbudrsitek dan Kementerian Agama. Akibatnya, alokasi dana pendidikan tidak secara penuh dipastikan sesuai kebutuhan untuk mendongkrak pendidikan bermutu.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Murid SMP Negeri 1 Pandak mendatangi Pasar Jodog di Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta, untuk mengikuti pelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), Selasa (7/11/2023).
Menurut Satriwan, hal substantif seperti tata kelola pendidikan di Indonesia berada di bawah Kemendikbudristek, Kementerian Agama, serta kementerian/lembaga lain. Pendidikan di daerah juga dibagi lagi menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota untuk jenjang PAUD, SD, dan SMP; pemerintah provinsi untuk SMA dan SMK; sementara madrasah dikelola terpusat oleh Kementerian Agama. Hal-hal tersebut selama ini juga dinilai menimbulkan persoalan, tetapi belum ada tawaran yang substantif untuk membahasnya.
Masalah guru
Ketiga pasangan capres dan cawapres juga dinilai belum menyentuh persoalan penuntasan perekrutan guru. ”Tidak ada yang menjanjikan perekrutan guru PNS dibuka lagi. Status guru yang ASN PPPK masih menyisakan persoalan,” kata Satriwan.
Menurut Satriwan, belum terlihat jelas strategi meningkatkan kualitas guru. ”Yang disentuh rencana kebijakan populis. Ada yang menjanjikan perekrutan ASN, menambah gaji guru Rp 2 juta per bulan, menetapkan upah minimum guru non-ASN, ataupun gaji guru Rp 20 juta per bulan,” kata Satriwan.
Sebanyak 3.095 guru dan pegawai tidak tetap di Kabupaten Cilacap menggelar aksi damai untuk menuntut kesejahteraan dan pengakuan dari pemerintah kabupaten, Rabu (4/10/2017) di Alun-Alun Cilacap, Jawa Tengah.
Padahal, dalam persoalan guru, lanjut Satriwan, ada lima isu utama. Di samping kesejahteraan, ada masalah dalam kompetensi, perekrutan, distribusi, dan perlindungan. Ada persoalan pemerintah daerah dan pusat yang harus jelas dalam mengelola guru sehingga perekrutan dan distribusi guru sesuai kebutuhan.
”Sampai saat ini banyak masalah guru yang belum selesai, yang butuh deregulasi dan debirokratisasi, yaitu pengembangan kompetensi guru, kesejahteraan guru lewat sertifikasi dan beban kerja guru, perekrutan, serta distribusi dan perlindungan guru secara komprehensif,” ujar Satriwan.
Satriwan mengatakan, tidak jelasnya orientasi pendidikan Indonesia yang juga tergambar dari visi dan misi capres dan cawapres karena tidak adanya peta jalan, cetak biru, serta rancangan besar arah pendidikan Indonesia. Akibatnya, tidak jelas titik awal dan titik akhir yang hendak dituju dalam sistem pendidikan nasional.