Transisi Sawit Berkeadilan Harus Menuntaskan Berbagai Persoalan Buruh
Agenda dalam transisi sawit berkeadilan dan berkelanjutan terlebih dahulu harus menuntaskan berbagai persoalan buruh.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN
Buruh mengangkat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di lahan perkebunan Renah Mendaluh, Tanjung Jabung Barat, Jambi, Minggu (29/10/2017).
JAKARTA, KOMPAS — Perkebunan sawit di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan, khususnya terkait dengan kesejahteraan buruh. Agenda dalam transisi sawit berkeadilan dan berkelanjutan terlebih dahulu harus menuntaskan berbagai persoalan buruh.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengemukakan, aspek yang dibutuhkan kebun sawit mencakup lahan, tenaga kerja atau buruh, finansial atau modal, serta jaminan keamanan. Oleh karena itu, persoalan terkait perubahan iklim dan transisi yang adil dalam industri perkebunan sawit juga akan berhubungan dengan peran buruh.
”Ada banyak macam buruh di perkebunan sawit dan terdapat informalisasi kerja. Artinya, jarang sekali ada buruh yang sifatnya memiliki kontrak jelas. Inilah yang masih menjadi persoalan agar ke depan bisa berkurang,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Transisi yang Berkeadilan dalam Industri Sawit”, di Jakarta, Senin (20/11/2023).
Data Sawit Watch tahun 2022 mencatat, luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 25,07 hektar. Namun, mayoritas atau 60 persen perkebunan sawit tersebut masih didominasi kepemilikannya oleh perusahaan swasta skala besar. Kemudian 35 persen dimiliki petani kecil (smallholder) dan 5 persen lainnya milik perkebunan pemerintah.
Dengan luasan mencapai 25,07 juta hektar, industri sawit telah menyerap 16,2 juta tenaga kerja. Dari angka tersebut, tercatat 4,2 juta orang merupakan tenaga kerja langsung dan 12 juta orang lainnya masuk sebagai tenaga kerja tidak langsung dengan mayoritas pekerja merupakan buruh perempuan.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Diskusi bertajuk “Transisi yang Berkeadilan dalam Industri Sawit”, di Jakarta, Senin (20/1/2023).
Menurut Surambo, sampai sekarang tidak ada data resmi terkait tenaga kerja, khususnya buruh sawit di Indonesia. Data dari Sawit Watch tersebut merupakan hasil penghitungan dan bukan diperoleh secara realtime. Kondisi ini masih menjadi persoalan karena ketersediaan data sangat penting untuk mendukung proses pengambilan kebijakan ke depan.
Posisi buruh sawit semakin rendah karena tidak masuk dalam agenda terkait kebijakan moratorium dan evaluasi perkebunan sawit. Bahkan, Kementerian Ketenagakerjaan tidak dilibatkan karena buruh tani dan kebun belum diatur detail dalam peraturan kebijakan.
”Dalam kerangka agenda perubahan iklim di buruh sawit juga akan bekerja dua kali. Sebab, ada persoalan-persoalan dasar yang belum selesai, seperti terkait kontrak kerja sama. Kemudian, ini masih ditambah dengan agenda perubahan iklim,” tuturnya.
Surambo menegaskan, agenda transisi dalam industri sawit yang berkeadilan harus menuntaskan berbagai persoalan tersebut secara bersamaan. Di satu sisi, agenda perubahan iklim dalam perkebunan sawit dapat dijalankan. Namun, di sisi lain, agenda perlindungan dan pemberdayaan buruh sawit juga perlu diselesaikan.
Ia pun menekankan bahwa agenda ke depan yaitu memastikan buruh sawit tidak hanya dapat mengurus hak-hak dasar mereka. Namun, mereka perlu terlibat dalam urusan lingkungan, seperti melindungi dan mengembalikan ekosistem serta keanekaragaman hayati, mengurangi konsumsi energi, serta mengurangi sampah ataupun polusi.
”Buruh bisa mengurus agenda lingkungan sehingga kesejahteraannya pun bisa didapatkan. Menghubungkan agenda ini dilakukan dalam rangka transisi yang adil. Ke depan, diharapkan RSPO (regulasi sawit berkelanjutan) bisa berkontribusi konkret dalam perlindungan dan pemberdayaan buruh perkebunan sawit,” ucapnya.
Kerangka kerja
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Damayanti Buchori mengatakan, harus ada kerangka kerja untuk membantu mencapai transisi sawit yang berkeadilan. Kerangka kerja ini juga perlu melihat konsekuensi jika terdapat hak-hak buruh yang dilanggar.
”Penelitian kami melihat bahwa sawit sebenarnya sangat bisa dikembangkan menjadi lebih berkelanjutan ketika kita mengedepankan ekologi. Jadi, tidak boleh monokultur dan harus ada peraturan yang membatasi besaran sawit,” katanya.
Koordinator Pembinaan Kelembagaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Anna Kurnianingsih tidak menampik bahwa terdapat persoalan dalam industri sawit yang melibatkan pekerja atau buruh. Persoalan tersebut meliputi kerja paksa, perlakuan buruk, upah murah, target kerja tinggi, pemberlakuan denda, tekanan dan intimidasi, hingga ketiadaan alat kerja dan pelindung kerja (K3).
Anna menyebut bahwa setiap perusahaan yang telah mengurus surat persetujuan penempatan tenaga kerja antarkerja antardaerah (SPP-AKAD) harus memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Perusahaan harus mempertanggungjawabkan tenaga kerja dalam asuransi sejak berangkat, bekerja, selesai kontrak, kembali ke daerah asal, serta memberikan hak-haknya.