Teknologi ”Wolbachia” Bukan Hasil Rekayasa Genetik
Peneliti nyamuk dengan bakteri ”Wolbachia” memastikan bakteri itu bukan hasil rekayasa genetik. Keamanan teknologi tersebut dalam penanganan dengue terbukti.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
World Mosquito Program memulai kegiatan kampanye metode Wolbachia untuk pengendalian dan pencegahan demam berdarah dengue di Bali, termasuk di Kota Denpasar. Bakteri Wolbachia dimasukkan dalam nyamuk Aedes aegypti sehingga menghambat perkembangan virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti.
JAKARTA, KOMPAS — Nyamuk berbakteri Wolbachia semakin luas dimanfaatkan dalam upaya pengendalian demam berdarah dengue. Berbagai pengujian menunjukkan teknologi tersebut efektif untuk menekan kasus penularan dengue. Selain itu, keamanan penggunaan teknologi itu sudah dibuktikan. Peneliti memastikan teknologi Wolbachia yang dikembangkan bukan berdasarkan hasil rekayasa genetik.
”Wolbachia bukan rekayasa genetik. Bakteri ini ada di lebih dari 50 persen serangga yang ada di sekitar kita. Jadi, Wolbachia itu merupakan bakteri alami yang saat dimasukkan ke telur nyamuk Aedes (aegypti) akan mengalami mekanisme yang menghambat perkembangan virus dengue,” kata peneliti utama riset nyamuk Wolbachia, Adi Utarini, dalam temu media yang diadakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), di Jakarta, Senin (20/11/2023).
Utari yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, menambahkan, bakteri Wolbachia yang ada di dalam tubuh nyamuk tidak berbeda dengan bakteri yang ada di inang asli di lalat buah. Teknologi Wolbachia tersebut sudah dibuktikan aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan.
Wolbachia bukan rekayasa genetik. Bakteri tersebut ada di lebih dari 50 persen serangga yang ada di sekitar kita. Jadi, Wolbachia itu bakteri alami.
Penelitian terkait teknologi Wolbachia sudah dilakukan sejak 2011. Fase pertama dari pengujian dilakukan untuk membuktikan keamanan dan kelayakan dari teknologi Wolbachia.
Setelah keamanan dan kelayakan terbukti, riset dilanjutkan pada fase kedua dengan pelepasan nyamuk berskala kecil di dua dusun di Sleman dan dua dusun di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pelepasan nyamuk ini dilakukan dengan persetujuan etik dari penduduk sekitar.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Project Leader World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta Adi Utarini menunjukkan peta lokasi penelitian WMP di Kota Yogyakarta, Selasa (26/2/2019), di kantornya di kampus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. WMP merupakan program penelitian penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) menggunakan bakteri Wolbachia.
Kemudian, pengujian fase ketiga mulai dilakukan pada 2016 dengan pelepasan nyamuk Wolbachia pada skala besar. Sebelum pembuktian dilakukan pada dampak teknologi, analisis risiko dijalankan terlebih dahulu oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti).
Keamanan
Pengujian terkait keamanan dilakukan secara independen oleh setidaknya 20 pakar terkait dari berbagai bidang yang dibentuk Kemenristek dan Dikti. Risiko intervensi Wolbachia untuk pengendalian dengue pun dapat diabaikan.
Pada 2021, pengujian fase keempat dilakukan sebagai model implementasi. Pelepasan nyamuk Wolbachia pada pengujian fase ini dilakukan ke seluruh Kota Yogyakarta. Hasil pengujian menunjukkan penurunan insiden demam dengue hingga 77 persen dan menurunkan angka rawat inap terkait dengue sampai 86 persen.
Peneliti riset nyamuk Wolbachia yang juga menjadi Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM Riris Andono Ahmad mengutarakan, kebutuhan fogging atau pengasapan dengan insektisida terbukti menurun dari dampak pemanfaatan teknologi Wolbachia. Hal ini membuat anggaran penanganan demam dengue bisa ditekan.
”Kami teruskan untuk pemantauan dampak jangka panjang dari pemanfaatan teknologi Wolbachia sampai 2025. Kami harap intervensi ini bisa mendukung capaian dari eliminasi dengue di Indonesia,” tuturnya.
Metode Wolbachia untuk mengatasi penyakit terinfeksi dengue yang diteliti di Yogykarta, Indonesia, berkontribusi penting bagi dunia.
Andono menambahkan, keberhasilan dari teknologi Wolbachia kini telah terbukti pula di beberapa kota di sejumlah negara. Selain di Yogyakarta, keberhasilan tersebut dilaporkan antara lain di Cairns, Australia; Niteroi, Brasil; dan Vinh Luong, Vietnam.
Metode
Utari menjelaskan, metode penyebaran Wolbachia yang dilakukan di Indonesia menggunakan metode pengganti (replacement). Ketika terjadi perkawinan antara nyamuk dengan bakteri Wolbachia dan nyamuk Aedes aegypti yang ada di suatu lingkungan, telur dari hasil perkawinan itu akhirnya membawa bakteri tersebut.
Bakteri Wolbachia berperan untuk menghambat replikasi dari virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Nyamuk yang mengandung bakter ini pun tidak lagi mampu untuk menularkan virus dengue.
”Bakteri Wolbachia yang dikembangkan terdapat di dalam telur nyamuk. Jadi, Wolbachia diturunkan dari satu generasi (nyamuk) ke generasi berikutnya. Dampak dari perlindungan Wolbachia terhadap penularan dengue akan berkelanjutan,” tutur Utari.
Andono menyebutkan, penerapan teknologi Wolbachia akan efektif untuk wilayah yang padat penduduk dengan populasi nyamuk cukup tinggi. Sementara jika dilakukan di wilayah dengan populasi nyamuk yang kecil membuat dampak dari teknologi tersebut menjadi kurang efektif.
KOMPAS/ HARIS FIRDAUS
Seorang peneliti Eliminate Dengue Project (EDP) Yogyakarta meletakkan tangannya di atas kotak berisi nyamuk Aedes aegypti untuk "memberi makan" nyamuk-nyamuk tersebut, Kamis (25/9), di Kantor EDP Yogyakarta. Aktivitas itu merupakan bagian riset untuk pencegahan penyakit demam berdarah dengue melalui bakteri Wolbachia, bakteri alami yang biasa terdapat pada serangga dan menghambat perkembangan virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti.
Dalam praktik di masyarakat, pelepasan nyamuk yang mengandung Wolbachia dijalankan selama enam bulan. Setiap dua minggu sekali dalam periode itu akan dilakukan penggantian 150-200 telur nyamuk dengan Wolbachia. Penempatan titik pelepasan nyamuk dilakukan di tiap rumah berjarak sekitar 75 meter. Dalam jangka waktu itu diharapkan 60 persen nyamuk di lingkungan tersebut merupakan nyamuk dengan bakteri itu.
”Saat ini kapasitas di laboratorium kami bisa menghasilkan sekitar 6 juta telur per minggu. Sudah ada satu tempat lagi yang menjadi tempat produksi telur Wolbachia di Balai Vektor Salatiga. Diharapkan ini dapat mendukung upaya perluasan pemanfaatan dari teknologi Wolbachia,” tutur Andono.
Dalam rilis resmi yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada 13 November 2023, teknologi Wolbachia akan digunakan untuk melengkapi strategi pengendalian dengue di Indonesia. Untuk percontohan akan dilakukan di lima kota, yakni Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang.
Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Implementasi Wolbachia sebagai Inovasi Penanggulangan Dengue.
Teknologi Wolbachia akan melengkapi upaya penanggulangan lain yang sudah berjalan. Masyarakat diharapkan tetap melakukan upaya penanggulangan dengue lain, seperti penerapan 3M Plus dengan menutup, menguras, dan mendaur ulang serta menggunakan krim antinyamuk.