Stres di Awal Kehidupan Mengubah Lebih Banyak Gen di Otak
Kita tidak boleh meremehkan dampak stres di awal kehidupan terhadap perkembangan otak.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stres di awal kehidupan bisa berdampak serius terhadap kesehatan fisik dan perilaku seseorang di kemudian hari. Riset terbaru menemukan, stres pada periode ini bisa mengubah tingkat aktivasi lebih banyak gen di otak dibandingkan yang diubah oleh benturan di kepala.
Dampak buruk stres di masa kanak-kanak ini dipresentasikan pada pertemuan tahunan Society for Neuroscience dan dirilis oleh The Ohio State University pada Senin (13/11/2023). Kathryn Lenz, profesor psikologi dari The Ohio State University, menjadi peneliti utama kajian ini. Penelitian ini didukung oleh Ohio State’s Chronic Brain Injury Institute, Brain Injury Association of America, dan National Science Foundation Graduate Research Fellowship.
Telah diketahui bahwa cedera kepala sering terjadi pada anak kecil, terutama karena terjatuh, dan dapat dikaitkan dengan gangguan mood serta kesulitan sosial yang muncul di kemudian hari. Pengalaman buruk pada masa kanak-kanak juga sangat umum terjadi dan dapat meningkatkan risiko penyakit, penyakit mental, serta penyalahgunaan zat di masa dewasa.
”Namun, kita tidak tahu bagaimana kedua hal ini dapat berinteraksi,” kata Lenz. ”Kami ingin memahami apakah mengalami cedera otak traumatis dalam konteks keadaan stres di awal kehidupan dapat memodulasi respons terhadap cedera otak. Dan menggunakan model hewan memungkinkan kami untuk benar-benar memahami mekanisme di mana kedua hal ini dapat berdampak terhadap perkembangan otak,” katanya.
Rangkaian percobaan pertama yang dilakukan pada tikus menunjukkan bahwa potensi stres di awal kehidupan dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan seumur hidup. ”Kami menemukan lebih banyak lagi gen yang diekspresikan secara berbeda akibat manipulasi stres awal kehidupan dibandingkan manipulasi cedera otak traumatis,” kata Lenz.
Menurut dia, stres sangat berpengaruh dan kita tidak boleh meremehkan dampak stres di awal kehidupan terhadap perkembangan otak. ”Saya pikir stres cenderung diabaikan, tetapi ini adalah topik kesehatan masyarakat yang sangat penting,” katanya.
Para peneliti memisahkan sementara tikus yang baru lahir dari induknya setiap hari selama 14 hari untuk memicu stres yang meniru efek pengalaman buruk masa kanak-kanak, yang mencakup berbagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan trauma.
Pada hari ke-15, saat perkembangan tikus setara dengan anak balita, tikus yang stres dan tidak stres diberikan cedera kepala, seperti gegar otak dengan anestesi atau tanpa cedera kepala. Tiga kondisi, yaitu stres saja, cedera kepala saja, dan stres, yang dikombinasikan dengan cedera kepala dibandingkan dengan tikus yang tidak terluka dan tidak stres.
Penulis pertama Michaela Breach, seorang mahasiswa pascasarjana di laboratorium Lenz, meneliti perubahan ekspresi gen di wilayah hipokampus otak hewan pada periode remaja menggunakan pengurutan RNA inti tunggal.
Stres saja dan stres yang dikombinasikan dengan cedera otak traumatis menghasilkan beberapa hasil yang patut dicatat. Kedua kondisi tersebut mengaktifkan jalur di neuron rangsang dan penghambat yang terkait dengan plastisitas, yaitu kemampuan otak untuk beradaptasi terhadap segala jenis perubahan. Sebagian besar hal ini untuk meningkatkan fleksibilitas, tetapi terkadang, jika perubahan tersebut bersifat malaadaptif bisa mengakibatkan hasil yang negatif.
”Ini mungkin menunjukkan bahwa otak sedang terbuka terhadap periode kerentanan baru atau secara aktif berubah selama periode waktu ini ketika otak dapat memprogram defisit kehidupan di kemudian hari,” kata Breach.
Kedua kondisi tersebut juga berdampak pada sinyal terkait oksitosin, hormon yang terkait dengan perilaku ibu dan ikatan sosial. Stres saja dan dikombinasikan dengan cedera otak traumatis mengaktifkan jalur oksitosin ini, tetapi cedera otak saja menghambatnya.
”Baik stres maupun cedera otak traumatis terkait dengan perilaku sosial yang tidak normal, tetapi kami menemukan efek yang berbeda ini melalui sinyal oksitosin,” kata Breach.
Hal ini menunjukkan bahwa efek stres mungkin memodulasi bagaimana cedera otak traumatis mengubah otak karena pengobatan kombinasi berbeda dari cedera otak traumatis saja. ”Oksitosin terlibat dalam respons terhadap stres dan perbaikan sehingga bisa menjadi modulator yang menarik untuk kita untuk mengejarnya di masa depan,” ujarnya.
Dalam uji perilaku pada tikus yang telah memasuki usia dewasa, hanya hewan yang mengalami stres di awal kehidupannya yang cenderung lebih sering memasuki ruang terbuka lebar, lokasi yang biasanya membuat hewan pengerat merasa rentan terhadap predator.
”Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan bahwa mereka mungkin mengambil lebih banyak risiko di kemudian hari, yang konsisten dengan data manusia yang menunjukkan bahwa stres di awal kehidupan dapat meningkatkan risiko kondisi tertentu, seperti ADHD, yang dapat ditandai dengan perilaku pengambilan risiko atau gangguan penggunaan narkoba,” kata Breach.
Menurut Lenz, data perilaku yang menunjukkan dampak buruk dari stres di awal kehidupan memberikan bukti lebih lanjut tentang perlunya mengatasi pengalaman buruk masa kanak-kanak.
”Hal-hal seperti dukungan sosial dan pengayaan dapat menahan dampak stres di awal kehidupan yang telah ditunjukkan pada model hewan dan manusia,” katanya. ”Saya rasa kita tidak bisa terlalu menekankan betapa merusaknya pemicu stres di awal kehidupan jika tidak ditangani,” imbuhnya.