Prevalensi mikroba yang resisten terhadap antimikroba di Indonesia mencapai 67 persen. Kondisi ini menjadikan rumah sakit tidak lagi aman untuk pengobatan dan operasi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN
Gambar beberapa bakteri yang telah kebal terhadap antibiotik jika dilihat di bawah mikroskop yang telah dimodifikasi.
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi mikroba yang resisten terhadap antimikroba di Indonesia terus meningkat, mencapai 67 persen. Perlu komitmen semua pihak untuk mencegah meluasnya resistensi antimikroba yang saat ini telah menjadi pandemi sunyi.
”Prevalensi dua jenis bakteri (Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae) yang tidak bisa dimatikan dengan antibiotik golongan sefalosporin, antibiotik yang cukup tinggi, angkanya terus naik. Data terakhir sudah 67 persen,” kata Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Harry Parathon dalam seminar di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Senin (20/11/2023), di Jakarta.
Data ini didapatkan dari 11 rumah sakit yang menjadi sampling penelitian di Indonesia. ”Ini mengerikan sebenarnya karena rumah sakit menjadi tidak aman lagi sebagai tempat berobat, tempat operasi, dan melakukan tindakan emergensi,” katanya.
Menurut Harry, di Singapura prevalensi resistensi antimikroba ini hanya 24-26 persen. ”Itulah sebabnya, banyak orang Indonesia berobat ke luar negeri,” katanya.
Biaya yang dikeluarkan untuk menangani infeksi bakteri yang resisten obat bisa tiga hingga empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri yang tidak resisten.
Harry mengatakan, ada bukti lagi dari pemetaan yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) tentang semakin banyaknya bakteri yang memiliki tingkat resistensi antibiotik. ”Kalau terkena infeksi Acinetobacter akan sangat sulit diobati dan biayanya sangat mahal,” katanya.
Antimikroba, dalam hal ini termasuk antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit, merupakan obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit tidak lagi merespons obat-obatan. Hal ini menjadikan infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit parah, dan kematian.
THE LANCET (2022)
Klebsiella pneumoniae yang resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga di Indonesia berada di kisaran 70-80 persen.
Menurut Harry, biaya yang dikeluarkan untuk menangani infeksi bakteri yang resisten obat bisa tiga hingga empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri yang tidak resisten. Data menunjukkan, negara yang konsumsi antibiotiknya semakin tinggi, maka prevalensi bakteri resistennya juga tinggi. Konsumsi antibiotik ini bisa untuk manusia, hewan, ataupun untuk tanaman.
Secara global, menurut Harry, riset di jurnal The Lancet juga menunjukkan, dengan 33 bakteri penyebab kematian pada manusia, diasumsikan resistensi antimikroba bisa menyebabkan kematian 7,7 juta orang per tahun.
”Ini masih asumsi peneliti. Di jurnal lain disebut korbannya 4,9 juta orang per tahun. Tetap saja ini lebih tinggi tingkat kematiannya dibandingkan dengan pandemi Covid-19 yang menewaskan 2 juta orang dalam setahun. Namun, banyak orang belum tergugah dengan ini. Itulah sebabnya, resistensi antimikroba ini disebut silent pandemic,” katanya.
Menurut Harry, regulasi di Indonesia terkait resistensi antimikroba sudah lengkap, termasuk dengan adanya Peraturan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) No 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Tahun 2020-2024 sebagai payung hukum tertinggi.
”Selama ini yang paling sulit diatur adalah dunia kedokteran. Paling sulit mengatur dokter. Merekalah yang menulis resep. Ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia, bagaimana dokter menggunakan antibiotik secara benar,” ujarnya.
Harry mengatakan, antibiotik memiliki dua sisi. Di satu sisi bisa menyembuhkan, tetapi di sisi lain bisa memicu resistensi yang membahayakan.
Upaya pencegahan
Saat membuka seminar ini, Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Menko PMK Satya Sananugraha mengatakan, selain menyebabkan kematian dan lamanya pengobatan, resistensi antimikroba juga telah memicu kerugian sosial dan ekonomi yang sangat besar. ”Kami berharap semua pihak bisa menggunakan antimikroba secara bertanggung jawab guna mencegah resistensi lebih lanjut,” katanya.
Pada acara ini juga dilakukan pembacaan deklarasi tentang ancaman serius dari resistensi antimikroba bagi kesehatan manusia dan ekonomi sehingga perlu komitmen perwakilan organisasi profesi terkait sebagai ujung tombak pencegahan masalah ini lebih lanjut.
Deklarasi dibacakan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) diikuti sejumlah organisasi profesi kesehatan manusia dan hewan yang lain.
Ada lima poin deklarasi yang dibacakan, yaitu mengutamakan tindakan pencegahan infeksi dan hanya menggunakan antimikroba jika diperlukan, memastikan pemberian antimikroba diberikan berdasarkan resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan dari hasil diagnosis yang tepat.
Selain itu, organisasi profesi akan memberikan edukasi yang berkesinambungan kepada pasien, peternak, petani, tenaga kesehatan manusia, tenaga kesehatan hewan, dan masyarakat luas tentang bahaya resistensi antimikroba dan pencegahannya. Mereka juga berjanji meningkatkan kapasitas dan komitmen anggota dalam penggunaan antimikroba yang bertanggung jawab, serta mendukung upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan hewan serta pangan dan lingkungan yang aman kepada masyarakat.