Indeks Pembangunan Manusia Belum Menyorot Aspek Sosial Budaya
Kebudayaan merupakan modal yang sangat berharga karena berkontribusi pada pembangunan manusia. Namun, selama ini yang diukur selalu perihal ekonomi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Pembangunan Manusia yang setiap tahun dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas belum mencakup aspek sosial dan budaya masyarakat. Indikatornya selama ini selalu seputar pendidikan dan ekonomi, padahal pembangunan manusia juga mencakup kemajuan dari sisi sosial dan budaya masyarakat.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas Amich Alhumami mengatakan, mengukur tingkat kemajuan sosial dan budaya memang tidak mudah karena alat ukurnya sangat kompleks, berbeda dengan ekonomi yang bisa diukur dengan angka. Maka Bappenas menginisiasi pengembangan konsep indeks pembangunan masyarakat atau IPMas.
”Kami ingin betul-betul menyuguhkan hasil ini dengan tampilan angka kuantitatif, tetapi sesungguhnya ini merefleksikan dinamika sosial kemasyarakatan dari buah pembangunan yang kita laksanakan,” kata Amich dalam diskusi Bappenas bertajuk ”Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Masyarakat dalam Rangka Menyongsong Indonesia Emas 2045” di Jakarta, Senin (13/11/2023).
Menurut Amich, capaian pembangunan manusia dari sisi sosial-budaya ini turut menjadi perhatian dunia internasional. Sebab, kebudayaan merupakan modal yang sangat berharga karena berkontribusi pada pembangunan dengan tetap menjaga kelestarian alam, kehidupan Bumi dan manusia, serta memperkuat kemajemukan untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Dalam IPMas ada beberapa isu sosial-budaya untuk menggambarkan capaian kondisi pembangunan non-ekonomi. Isu yang disorot, antara lain, tentang mentalitas, karakter, serta etos maju dan etika kerja masyarakat. Beberapa konsep pengembangan IPMas mencakup dimensi kohesi sosial, inklusi sosial, dan kapasitas masyarakat sipil.
Saat mengukur kohesi sosial, Bappenas akan menggambarkan situasi masyarakat dengan indikator kerja sama sosial, jejaring sosial, kepercayaan sosial, dan aksi kolektif. Inklusi sosial akan mengukur penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap perbedaan dalam segala hal. Sementara kapasitas masyarakat sipil akan diukur bagaimana kesadaran hukum, organisasi sipil, mitigasi risiko sosial, dan penyelesaian sengketa secara beradab.
”Ini akan menggambarkan isu sosial kemasyarakatan yang bisa diobservasi dan dinarasikan yang penampilannya itu dalam bentuk numerik atau angka kuantitatif yang secara statistik bisa diuji dan didiskusikan,” ucapnya.
Isu polarisasi ini sangat genting dalam 10 tahun terakhir, ini tantangan kohesi sosial.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, mengatakan, perlu penjelasan yang lebih rinci dengan dimensi inklusi sosial di dalam IPMas. Jika tidak, angka yang dihasilkan masih bisa diperdebatkan.
”Maka, yang harus ditajamkan, dengan mengangkat inklusi sosial, kita sekadar mau menggambarkan penerimaan orang terhadap perbedaan sosial atau kita mau mengindikasikan perlunya pengawasan terhadap perbedaan sosial dalam keadilan sosial,” kata Robet.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Amin Mudzakkir, menambahkan, kohesi sosial secara sederhana bisa diterangkan sebagai perekat atau ikatan yang menjaga masyarakat tetap bersatu atau terintegrasi. Sementara masyarakat Indonesia selalu dihadapkan dengan peristiwa politik yang mengakibatkan polarisasi.
”Isu polarisasi ini sangat genting dalam 10 tahun terakhir, ini tantangan kohesi sosial,” tutur Amin.
Capaian nilai IPMas Indonesia yang sudah tercatat adalah 59 pada 2019, 69 pada 2018, dan menurun menjadi 62,85 pada 2021. Nilai terakhir menunjukkan pembangunan masyarakat berada pada kategori sedang. Nilai dimensi inklusi Indonesia paling tinggi dengan 78,08, sedangkan dimensi kohesi sosial dan pengembangan kapasitas masyarakat sipil rendah, yakni masing-masing dengan nilai 56,37 dan 51,87.