Anak Penyandang Disabilitas Masih Terabaikan
Diskriminasi dan penolakan masih melekat dalam kehidupan anak-anak penyandang disabilitas. Stigma harus dihapuskan.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian anak penyandang disabilitas hingga kini terus hidup dalam stigma, tidak diakui, tersisih, bahkan nyaris dilupakan keluarga, masyarakat, dan negara. Sejak lahir, mereka mengalami penolakan, dianggap aib, dan menjadi beban dalam keluarga. Pemenuhan hak-hak sebagai anak pun terabaikan.
Akibatnya, hingga kini, anak-anak dengan ragam keterbatasan fisik, sensorik, intelektual, dan mental tersebut kehidupannya teralienasi karena dalam berbagai ruang kehidupan mereka tidak mendapat kesempatan yang sama dengan anak-anak nondisabilitas.
Di bidang pendidikan, misalnya, jumlah anak-anak disabilitas yang bersekolah masih sangat rendah. Meski sudah ada program sekolah inklusi, ketersediaan sekolah inklusi dan guru pendamping khusus masih jauh dari harapan. Pada akhirnya, sebagian besar anak disabilitas tidak punya pilihan selain bersekolah di sekolah luar biasa.
Di sisi lain, sejumlah anak disabilitas mengalami kekerasan berlapis dari keluarga dan masyarakat, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual hingga penelantaran. Di masyarakat, mereka juga kerap mengalami perundungan.
Baca Juga: Anak Perempuan Penyandang Disabilitas Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual
Rendahnya pemahaman orangtua dan keluarga terkait penyandang disabilitas membuat anak disabilitas sulit keluar dari stigma. Anak disabilitas masih dipandang sebagai aib keluarga sehingga keluarganya cenderung menyembunyikannya keberadaannya. Bahkan, sejumlah anak penyandang disabilitas mental ”dibuang” keluarga, dikirim ke panti-panti sosial, sehingga mengalami perlakuan tidak manusiawi; dikurung, dirantai, dan dipasung.
”Stigma anak penyandang disabilitas masih sangat kuat. Itu dibuktikan dengan beberapa kejadian yang viral ada anak penyandang disabilitas ditolak dan diperlakukan semena-mena,” ujar Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Sabtu (11/11/2023).
Misalnya, orangtua sering menolak ketika anak didiagnosis sebagai penyandang disabilitas karena masyarakat masih menganggap itu sesuatu hal yang memalukan. ”Selalu ditanya kenapa, ya, anak bisa disabilitas? Apa yang kamu lakukan sehingga kamu melahirkan anak seperti itu, suami kamu seperti apa, hal-hal seperti itu yang masih sering kali terjadi,” tutur Dante.
Situasi tersebut menyebabkan orangtua cenderung menyembunyikan anak disabilitas tanpa berpikir ada kerugian yang sangat besar ketika anaknya tidak diakui sehingga tidak mendapatkan layanan sesuai kondisinya.
Pemantauan KND selama ini, perlakuan semena-mena terhadap anak disabilitas juga kerap terjadi di bidang pendidikan. Misalnya, ada anak disabilitas tidak bisa bersekolah di sekolah terdekat di tempat tinggalnya dengan berbagai alasan penolakan.
Baca Juga: Disabilitas Mendamba Akses Inklusif
Pendataan anak disabilitas dengan ragam disabilitasnya juga minim sehingga berdampak pada rendahnya pemenuhan hak mereka sebagai anak, terutama kesehatan dan pendidikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Profil Anak Indonesia pada 2020 menyebutkan, dari 84,4 juta anak di Indonesia, terdapat 0,79 persen atau 650.000 anak penyandang disabilitas.
Hasil long form Sensus Penduduk Tahun 2020 yang dilakukan BPS juga mencatat prevalensi untuk anak penyandang disabilitas usia 5–17 tahun sebesar 0,52 persen atau sebanyak 299.710 anak.
Selain belum terpenuhi hak-haknya, pendataan anak penyandang disabilitas juga masih sangat minim. Bahkan, belum ada data terpilah anak disabilitas. ”Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, anak penyandang disabilitas usia sekolah jumlahnya sangat kecil, lebih banyak yang tidak sekolah,” kata Dante.
Ditinggalkan di panti
Terkait pendidikan anak disabilitas, selain sekolah luar biasa (SLB) milik pemerintah, terdapat sejumlah yayasan yang melaksanakan pendidikan untuk anak disabilitas. Salah satunya, Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) yang memiliki 17 cabang di daerah. Layanan pendidikan YPAC mulai dari SLB tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menegah atas.
Ketua YPAC Nasional Ratna Djuita mengungkapkan, selama ini YPAC di berbagai daerah menerima anak-anak disabilitas dari keluarga agar anak mereka mendapatkan pendidikan. Namun, dalam perjalanannya, sejumlah keluarga meninggalkan anaknya di panti yang dikelola YPAC. Karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, YPAC menutup sebagian besar panti.
”YPAC bukan panti asuhan. Sekarang kami sudah menutup sebagian besar panti. Sebab, anak diserahkan, orangtuanya menghilang. Sampai seumur hidup anak di panti. Seperti di YPAC Jakarta, sudah 30-40 tahun tidak ada yang menjenguk,” papar Ratna didampingi Retty Irwan, Wakil Ketua YPAC Nasional.
Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, anak penyandang disabilitas usia sekolah jumlahnya sangat kecil, lebih banyak yang tidak sekolah.
Di sisi pendidikan, saat ini YPAC menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya, ketersediaan guru pendamping khusus yang terus menurun jumlahnya. Tidak ada lagi guru-guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang mengajar di YPAC menyusul kebijakan pemerintah soal penempatan guru ASN di luar instansi pemerintah.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar menegaskan, anak disabilitas berhak mendapatkan perlakuan yang setara serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan.
”Jadi, di rumah, di sekolah, di masyarakat seharusnya tidak ada lagi praktik penolakan atas kehadiran anak disabilitas,” ucap Nahar menegaskan.
Korban kekerasan
Selain cenderung mengalami penolakan dalam banyak layanan serta stigma dan perundungan di tengah masyarakat, anak penyandang disabilitas juga menjadi korban berbagai bentuk kekerasan.
Berdasarkan data pengaduan melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA) ataupun Layanan Pengaduan SAPA129, pada 2022 terdapat 250 kasus kekerasan terhadap anak disabilitas.
Adapun pada periode Januari-Agustus 2023, tercatat 121 kasus kekerasan terhadap anak disabilitas dengan 122 korban, terdiri dari 91 anak disabilitas perempuan dan 31 anak disabilitas laki-laki. Kasus terbesar adalah kekerasan seksual.
Baca Juga: Mengasuh Anak Difabel
Kasus yang terkait anak disabilitas juga dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hingga September 2023, ada 23 kasus perlindungan khusus anak disabilitas yang masuk ke KPAI. Anggota KPAI, Diyah Puspitarini, menuturkan, pihaknya sedang mengkaji pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak disabilitas.
”Ada beberapa anak disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual dan kekerasan lainnya. Karena itu, KPAI mendorong penegak hukum menyediakan pendamping untuk anak disabilitas, memberikan pendampingan juru bicara isyarat dan pendamping psikososial karena secara emosi anak penyandang disabilitas perlu pendampingan khusus,” papar Diyah.
Selain rentan kekerasan, KPAI juga melihat permasalahan mendasar anak disabilitas di Indonesia sekarang karena belum adanya data terpisah antara penyandang disabilitas anak dan dewasa. ”Ini menjadi persoalan karena pengukuran tingkat ketercapaian pemenuhan hak anak disabilitas menjadi terhambat,” tutur Diyah.