Penyandang Disabilitas Melawan Stigma dengan Prestasi
Sebagai penyandang tunarungu, ruang kuliah bagi Adventus Ginting (27) adalah ruang sunyi tanpa suara. Namun, ia bisa menamatkan kuliah dan kini menjadi guru.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Sebagai penyandang tunarungu, Johanes Adventus Ginting (27) merasa ruang kuliah adalah ruang sunyi tanpa suara. Namun, ia tak mau menyerah. Ia bisa menamatkan kuliah sistem informasi dan kini menjadi guru di Sekolah Luar Biasa B Yayasan Karya Murni, Medan, Sumatera Utara.
Adventus meluncur dengan sepeda motor besar ke SLB Yayasan Karya Murni di Jalan Karya Wisata, Medan, Sabtu (11/11/2023). Dia bisa membawa sepeda motor tanpa kendala. ”Sudah satu tahun saya menjadi guru. Saya sudah bisa menabung dari hasil saya bekerja,” kata Adventus.
Adventus memang tidak hanya menguasai bahasa isyarat. Dia juga bisa menggunakan bahasa verbal, tetapi dengan kosakata yang terbatas. Dia tentu tidak bisa mendengar apa yang dia ucapkan dan lawan bicara ucapkan. Kemampuan berbahasa lisan dia dapatkan saat SD dan SMP di Yayasan Karya Murni Medan.
Siang itu, Adventus tampil rapi sebagai seorang guru dengan kemeja batik lengan panjang dan celana panjang hitam. Ia diwawancarai secara lisan dengan sesekali dibantu oleh Suster Yovita Situmorang KSSY. Beberapa kata yang sulit dipahami secara verbal dituliskan di ponselnya untuk dibaca, begitu pun sebaliknya.
Sejak tamat SMP dari SLB-B (khusus tunarungu) Yayasan Karya Murni Medan, Adventus berkomitmen untuk tetap melanjutkan pendidikan ke SMA hingga perguruan tinggi. Dia sekolah di SLB-B Pangudi Luhur, Jakarta, dan kuliah di Program Studi Sistem Informasi Universitas Atma Jaya Jakarta.
Menyelesaikan kuliah di kelas umum bukanlah hal mudah baginya. Selama SD sampai SMA, Adventus sudah terbiasa dengan guru yang mengajar memakai bahasa isyarat dicampur bahasa lisan. Belajar di kampus umum membuatnya harus beradaptasi lagi.
Tanpa komunikasi visual, kelas kuliah adalah ruang sunyi tanpa suara bagi Adventus. Dia hanya bisa memahami sebagian lisan dari gerak bibir. Materi lebih banyak diserap jika ada paparan visual dari dosen pengajar.
”Setiap selesai kelas kuliah, saya bertanya sebanyak-banyaknya kepada teman tentang materi kuliah dan tugas yang harus diselesaikan. Dengan cara itu saya bisa mengikuti perkuliahan,” kata Adventus.
Adventus mengatakan, dia selalu membangun motivasi di dalam dirinya agar bisa menyelesaikan kuliah. Dia juga membangun kepercayaan diri bahwa dia bisa mendapat pekerjaan yang baik setelah tamat kuliah. Tantangan seorang penyandang disabilitas adalah membangun dan mempertahankan motivitasi untuk menyelesaikan pendidikan dan menggapai cita-citanya.
Setiap selesai kelas kuliah, saya bertanya sebanyak-banyaknya kepada teman tentang materi kuliah dan tugas yang harus diselesaikan. Dengan cara itu saya bisa mengikuti perkuliahan.
Hal ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang selalu memandang kemampuan penyandang disabilitas sangat terbatas dalam semua hal. Adventus melawan stigma ini. Dia bisa menyelesaikan kuliah dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,12 dalam skala 0-4.
Meski demikian, beberapa kali dia ditolak saat melamar kerja di Jakarta. Adventus lalu memilih pulang ke Medan. Dia juga melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, tetapi ditolak setelah manajemen perusahaan mengetahui dia merupakan penyandang disabilitas tunarungu. Dia akhirnya diterima untuk mengajar mata pelajaran komputer di SLB-B Karya Murni.
”Saya mengajar komputer untuk SMP. Saya mengajarkan pelajaran Microsoft Excel, Illustrator, dan Photoshop. Saya bisa mengajar di hadapan 20-25 murid,” kata Adventus.
Adventus mengajarkan teori dan praktik komputer. Agar murid-muridnya bisa menyerap dengan lebih baik, dia lebih banyak mengajar dengan paparan visual. Selama satu tahun, Adventus bisa mengajar dengan baik tanpa kendala berarti.
Jika Adventus sudah bisa menamatkan kuliah, penyandang disabilitas tunanetra Agustinus Tamsar (22) saat ini masih menjalani kuliah semester lima di Program Studi Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
”Saya ingin melawan stigma yang menyebut bahwa penyandang tunanetra hanya cocok menjadi tukang pijat. Saya menolak saat ada kursus pijat dan berkomitmen untuk kuliah,” kata Agus.
Agus terbilang berprestasi di kampusnya. Ia mendapat IPK 3,8. Prestasi itu tidak lepas dari kebaikan dosen pengajar dan teman kuliahnya yang memfasilitasi kebutuhan Agus. Saat ujian, misalnya, dia diizinkan untuk menuliskan jawaban ujian dalam huruf Braille.
Setelah selesai ujian, Agus akan membacakan jawaban dalam huruf Braille itu. Temannya lalu menuliskannya dengan huruf biasa. Dosen juga memberikan dispensasi waktu bagi Agus.
Saat praktik memainkan alat musik, dosen pengajar memberi waktu dan perhatian khusus kepada Agus agar bisa mengajarkannya secara lisan. Di program studi etnomusikologi, Agus juga harus belajar banyak teori, yakni antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya. ”Yang paling sulit bagi saya adalah materi paparan visual, terutama jika ada grafik,” kata Agus.
Akan tetapi, komunikasi Agus semakin terbantu dengan kemajuan teknologi digital saat ini. Dia bisa berkomunikasi dengan telepon pintar karena didukung sistem pembaca layar. Sistem ini membuat telepon pintar bisa membacakan pesan yang dia sentuh di layar.
Dengan sistem ini, penyandang tunanetra bisa menggunakan media sosial, membaca pesan, dan memesan ojek daring untuk pergi pulang ke satu tempat secara mandiri. Sistem serupa juga memungkinkan penyandang disabilitas menggunakan komputer.
Ketua Yayasan Karya Murni Suster Desideria Saragih KSSY mengatakan, kesulitan terbesar mendidik anak disabilitas adalah membangun semangat dan motivasi hidup mereka. Mereka selalu dibayangi ketakutan tidak diterima bekerja meskipun sudah sekolah tinggi-tinggi.
”Ini yang selalu kami sosialisasikan kepada perusahaan-perusahaan dan pemerintahan agar memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bekerja. Banyak dari antara mereka yang bisa bekerja dengan baik di bidang-bidang tertentu” kata Desideria.
Hal itu sebenarnya sudah diamanatkan juga oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Pemerintah, pemerintah daerah, dan BUMN wajib mempekerjakan penyandang disabilitas 2 persen dari kebutuhan pegawai atau karyawannya. Sementara, perusahaan swasta 1 persen dari kebutuhan karyawannya.