Orang Indonesia Tetap Paling Dermawan Sedunia Pascakasus ACT
Untuk keenam kali, Indonesia ditetapkan sebagai negara paling dermawan sedunia meski rakyatnya diterpa pandemi Covid-19 dan penyalahgunaan dana oleh ACT.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepercayaan publik pada lembaga filantropi sempat menurun drastis pascakasus penyelewengan dana sumbangan oleh Aksi Cepat Tanggap atau ACT tahun lalu. Meski demikian, untuk keenam kali Indonesia ditetapkan sebagai negara paling dermawan sedunia dalam World Giving Indeks 2023 yang diterbitkan diterbitkan Charities Aid Foundation (CAF).
Dalam laporan World Giving Indeks (WGI), skor kedermawanan Indonesia mencapai 68, sama dengan tahun lalu. Sementara skor secara global adalah 39, lebih rendah satu poin dibanding tahun lalu. Sebanyak 72 persen dari populasi dunia atau setara 4,2 miliar orang menyumbang atau membantu orang lain.
Peneliti filantropi di PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) Hamid Abidin menilai, capaian ini mengejutkan karena sektor filantropi Tanah Air tengah menghadapi tantangan besar sepanjang 2022. Pertama, kasus penyelewengan dana sosial Aksi Cepat Tanggap (ACT); kedua, belum pulihnya perekonomian masyarakat karena pandemi Covid-19; dan terakhir, regulasi yang masih belum mendukung.
”Kuatnya nilai dan ajaran keagamaan serta tradisi menyumbang yang menjadi penopang utama kegiatan kedermawanan sosial di Indonesia membuat kegiatan filantropi tetap berkembang pesat dan diakui sebagai yang terbaik di dunia,” kata Hamid, Jumat (10/11/2023).
Cara menggalang dana juga semakin berkembang dengan inovasi dan terobosan melalui platform digital. Perluasan pendayagunaan sumbangan untuk program-program yang strategis dan berorientasi jangka panjang juga membuat warga mempunyai banyak opsi isu atau program yang bisa disumbang.
Tantangan terbesar, lanjut Hamid, justru dari regulasi yang belum mendukung kemajuan sektor filantropi. Kebijakan yang ada masih menghambat dan menyulitkan banyak lembaga filantropi untuk menggalang sumbangan masyarakat karena mereka dipaksa untuk patuh terhadap regulasi yang sudah usang dan tidak tidak bisa diterapkan.
Kebijakan itu adalah Undang-Undang nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) yang dinilai menghambat kerja filantropi. Sementara, walau sempat mencuat setelah kasus ACT, isu revisi UU 9/1961 belum dimasukkan pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam program legislasi nasional prioritas 2023-2024.
Standar ganda
”Pemerintah dan DPR menerapkan standar ganda dalam memperlakukan filantropi. Pada saat membutuhkan dukungan dan sumber daya, misalnya saat terjadi bencana atau krisis ekonomi, pemerintah mendekati pegiat filantropi dan mendorong mereka berkontribusi. Namun, di sisi lain, pemerintah menerapkan kebijakan yang restriktif yang justru menghambat,” ucapnya.
Saat dihubungi secara terpisah dari Jakarta, Jumat (10/11/2023), Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily turut berbangga dengan penobatan ini. Dia berharap modal sosial besar yang dimiliki rakyat Indonesia ini harus dijadikan tanggung jawab yang besar pula oleh lembaga filantropi.
”Potensi modal sosial ini harus dikelola dengan baik, transparan, dan akuntabel agar dipercaya publik. Ini harus diatur agar memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi untuk upaya menyelesaikan masalah sosial,” tutur politisi partai Golkar ini.
Laporan ini disusun melalui survei kepada lebih dari 2 juta responden di 142 negara di seluruh dunia yang dikumpulkan oleh Gallup sejak 2009. Berdasarkan keterangan resmi, analisis data untuk laporan WGI 2023 dilakukan berdasarkan jajak pendapat secara global yang melibatkan 147.186 responden untuk menggambarkan kondisi kedermawanan di berbagai penjuru dunia selama tahun 2022.
Ada tiga perilaku menyumbang yang dinilai dalam survei global tersebut, yakni ”menyumbang uang”, ”menyumbang pada orang asing/tidak dikena”, dan ”partisipasi dalam kerelawanan”.
Meski menempati peringkat satu, Indonesia tidak lagi berada di posisi teratas untuk ketiga perilaku memberi individu yang diukur dalam survei ini.
Indonesia mengalami sedikit penurunan pada kategori ”menyumbang uang” dan ”partisipasi dalam kerelawanan”, serta mengalami sedikit kenaikan pada kategori ”menyumbang untuk orang asing”. Namun, nilai Indonesia di 3 kategori menyumbang tersebut relatif tinggi sehingga skor keseluruhan masih tertinggi dibandingkan negara-negara lainnya.
Nilainya, 82 persen orang Indonesia menyumbang uang pada 2022, lebih rendah 2 persen dibanding tahun 2021 dan lebih tinggi daripada skor rata-rata global (34 persen). Persentase warga Indonesia yang berpartisipasi dalam kegiatan kerelawanan juga masih tinggi yakni 61 persen, turun 2 persen dibanding tahun 2021, tetapi hampir tiga kali lebih besar dari rata-rata global (24 persen). Dan persentase warga yang menyumbang untuk orang asing berjumlah 61 persen, 2 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan rata-rata global (60 persen).
Sementara beberapa negara lain memiliki skor lebih tinggi dibandingkan Indonesia untuk masing-masing dari 3 perilaku menyumbang tersebut. Jamaika dan Myanmar menduduki peringkat pertama dengan skor 83 persen untuk kategori “membantu orang asing” dan “menyumbang uang”, sementara Liberia menduduki peringkat pertama untuk “partisipasi dalam kerelawanan” dengan skor 65 persen.
WGI 2023 juga mengukuhkan Ukraina sebagai negara dengan peningkatan peringkat yang sangat pesat (the highest climber) karena skornya mengalami peningkatan 13 poin dan naik peringkat dari posisi 10 ke posisi 2.