Perempuan Perlu Terus Bersuara dan Terlibat dalam Isu Konservasi Laut
Kaum perempuan juga bisa menjadi korban akibat dampak perubahan iklim dan ancaman terhadap sektor kelautan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semua pihak, termasuk kaum perempuan, perlu terus menyuarakan dan terlibat dalam isu lingkungan, khususnya terkait konservasi laut dan pesisir. Sebab, kaum perempuan juga bisa menjadi korban akibat dampak perubahan iklim dan ancaman terhadap sektor kelautan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti saat menjadi pembicara kunci secara daring dalam acara diskusi bertajuk ”Narasi Media dan Peran Perempuan dalam Konservasi Laut dan Pesisir” di Jakarta, Kamis (9/11/2023). Diskusi tersebut merupakan salah satu rangkaian acara Green Press Community yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ).
”Peran kita sebagai perempuan dapat terus menyuarakan, membuat diskusi, dan mengedukasi ke lapangan, serta mengajak ibu-ibu untuk memahami isu ini. Bila ibu-ibu ini dikoordinasi dan dimobilisasi, suaranya akan lebih keras,” ujar Susi.
Susi menyampaikan, perubahan iklim hingga ancaman lainnya di sektor kelautan dan perikanan telah berdampak ke semua kelompok masyarakat. Kaum perempuan pesisir, khususnya istri nelayan yang mengatur perekonomian rumah tangga, bisa turut terdampak karena perubahan iklim telah menurunkan hasil tangkapan dari nelayan.
”Apa yang terjadi di tengah laut pasti akan berdampak ke pesisir. Penangkapan ikan ilegal yang merajalela akan mengurangi jumlah ikan sehingga berdampak pada pendapatan nelayan dalam jangka panjang. Bila nelayan pesisir sudah tidak berdaya, ekonomi keluarga nelayan ini juga akan menjadi lemah,” ucapnya.
Selain mengandalkan pendapatan suami, selama ini ibu-ibu atau perempuan pesisir kerap membuat produk turunan dari ikan, udang, ataupun cumi-cumi untuk mendukung kebutuhan rumah tangganya. Namun, kegiatan ini juga tidak bisa dilakukan dengan optimal bila hasil tangkapan nelayan turun signifikan.
Menurut Susi, seluruh upaya mengatasi dampak perubahan iklim, termasuk mengoptimalkan upaya konservasi laut dan pesisir, tidak bisa dilakukan tanpa dukungan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan yang berpihak kepada nelayan atau masyarakat kecil dan kelestarian lingkungan perlu dikedepankan alih-alih terus memihak industri skala besar.
Ekspor terumbu karang ini juga memiliki dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar dan membuat stok ikan berkurang.
Susi juga menyoroti terkait kebijakan pemerintah saat ini yang memperbolehkan ekspor terumbu karang. Padahal, negara lain sudah melarang kebijakan ekspor terumbu karang. Pendapatan yang diterima oleh nelayan juga tidak sebanding dengan industri eksportir.
Di sisi lain, ekspor terumbu karang ini juga memiliki dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar dan membuat stok ikan berkurang. Padahal, terumbu karang merupakan penjaga sekaligus sumber mata pencarian masyarakat pesisir.
”Industri memang penting untuk pendapatan negara, tetapi perlu dipikirkan (dampak) kerusakan dari aktivitas industri. Contoh saja di Danau Toba itu banyak perambah dari masyarakat yang dihilangkan, tetapi kita lupa ada industri budidaya di sana yang sangat besar di sana. Pada akhirnya, hal ini turut membuat air Danau Toba tercemar,” katanya.
Praktik konservasi
Menjaga laut dan pesisir melalui upaya konservasi yang dilakukan perempuan selama ini juga sudah banyak dilakukan oleh masyarakat, termasuk ibu-ibu di wilayah Indonesia timur. Mereka menerapkan sasi atau larangan untuk mengambil hasil laut dalam jangka waktu tertentu untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam tersebut.
Manajer Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Hilda Lionata mengatakan, saat ini terdapat sedikit perbedaan dari praktik sasi meski telah dilakukan sejak zaman dahulu. Perbedaan tersebut ialah adanya integrasi dari elemen sains. Jadi, saat ini pemanenan setelah masa sasi akan dipilih sesuai dengan batas umur dan ukuran biota laut tersebut.
”Awalnya, praktik sasi itu domainnya para laki-laki karena mereka punya hak pengelolaan terhadap satu wilayah dan memanen. Kemudian, sekarang kita mendorong mama-mama untuk mengelola wilayah sasi tersebut,” ucapnya.
Manajer Program Kelautan EcoNusa Mida Saragih menambahkan, saat ini banyak produk kebijakan dari turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengancam masyarakat adat dan pesisir. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi telah jelas untuk membatalkan privatisasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil karena masyarakat memiliki hak untuk hidup serta memanfaatkan kawasan tersebut.
Ia pun mendorong agar pemerintah segera menemukan model pengelolaan pesisir-laut yang tepat sesuai dengan amanat konstitusi. Di sisi lain, semua pihak juga perlu duduk bersama guna melakukan inventarisasi, melindungi, dan mengakui keberadaan serta wilayah kelola masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.