Upaya Percepatan Jangan Mengesampingkan Kualitas dan Keamanan Produk
Fleksibilitas dalam percepatan izin edar untuk produk obat dan vaksin dilakukan selama masa pandemi Covid-19. Meski begitu, pemenuhan syarat keamanan, mutu, dan manfaat produk harus tetap diutamakan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Urgensi kemandirian bangsa akan obat dan vaksin semakin nyata selama masa pandemi Covid-19. Upaya percepatan melalui kemudahan dalam pengembangan dan produksi obat dan vaksin dalam negeri amat dibutuhkan. Meski begitu, aspek kualitas dan keamanan dari produk tetap harus diutamakan.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) periode 2016-2023 Penny K Lukito di sela-sela acara bedah buku Karya dan Kiner7a, Melewati Multi Krisis: Pandemi Covid-19, di Jakarta, Senin (6/11/2023). Bersamaan dengan berakhirnya masa jabatannya sebagai kepala BPOM, kepemimpinan BPOM saat ini dijabat oleh Lucia Rizka Andalusia sebagai pelaksana tugas kepala BPOM. Rizka kini juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Penny menuturkan, selama masa pandemi Covid-19, tuntutan kecepatan dalam penerbitan izin edar untuk produk obat dan vaksin sangat besar. Itu sebabnya BPOM memberikan fleksibilitas dalam percepatan izin tersebut.
Meski begitu, persyaratan yang dibutuhkan dalam perizinan tetap sama. Tidak ada tawar-menawar dalam penilaian dan persetujuan peredaran obat dan vaksin. Sebab, kedua produk tersebut merupakan produk berisiko tinggi.
”Percepatan itu memungkinkan untuk dilakukan. Namun, kita harus tetap konsisten untuk mengedepankan basis sains. Itu semua untuk memastikan produk yang beredar di masyarakat terjamin mutu, keamanan, dan manfaatnya,” tutur Penny.
Percepatan tersebut pada pemberian izin penggunaan darurat (EUA) pada obat dan vaksin Covid-19 yang diimpor dari luar negeri serta vaksin yang diproduksi di dalam negeri. Sekalipun izin telah diberikan, pemantauan ketat juga dijalankan sejak produk masuk dari luar negeri sampai pada proses produksi dan distribusi. Pemantauan kejadian tidak diinginkan serta kejadian ikutan pascaimunisasi pun dilakukan.
Ia menambahkan, di balik tantangan yang dihadapi selama masa pandemi, kerja sama dan komitmen berbagai pihak telah membuktikan bahwa Indonesia mampu membangun kemandirian dalam produksi obat dan vaksin. Setidaknya, selama pandemi, sudah ada dua tambahan perusahaan vaksin dalam negeri, yakni PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia dan PT Etana Biotechnologies Indonesia. Sebelumnya, Indonesia hanya memiliki satu perusahaan vaksin, yakni PT Bio Farma.
Kerja sama
Menurut Penny, keberhasilan Indonesia melewati pandemi Covid-19, khususnya terkait ketersediaan obat, vaksin, dan alat kesehatan, sangat dipengaruhi kerja sama dan kolaborasi berbagai pihak. Kerja sama tersebut terbangun antara pemerintah, industri, akademisi, media, dan masyarakat luas. Kerja sama tidak terbatas di dalam negeri, tetapi juga kerja sama internasional.
”Dukungan dari para ahli pun sangat berperan sehingga keputusan yang diambil oleh BPOM bisa tepat dan berbasis sains. Intervensi lain tidak akan berpengaruh, apalagi jika hanya karena tekanan politik dan kepentingan sesaat. Kepentingan masyarakat luas, terutama terkait keamanan, harus diutamakan,” tuturnya.
Menurut Penny, konsistensi dalam mengutamakan basis bukti ilmiah tersebut pula yang menjadi landasan tidak adanya izin yang diberikan oleh BPOM pada penggunaan Ivermectin serta vaksin Nusantara untuk penanganan Covid-19. Data, bukti ilmiah, serta masukkan dari tim ahli menjadi dasar dari keputusan yang diambil oleh BPOM.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang juga Ketua Tim Peneliti Vaksin Merah Putih Fedik Abdul Rantam menyampaikan, buah dari kerja sama yang baik telah ditunjukkan dengan lahirnya vaksin Merah Putih atau yang saat ini diproduksi dengan merek dagang Inavac. Vaksin tersebut diklaim 100 persen menggunakan teknologi anak bangsa.
”Dalam pengembangan vaksin tersebut, kami telah mendapatkan bimbingan yang penuh dari BPOM. Guidelines(panduan) juga diberikan hingga vaksin Merah Putih bisa tercipta,” katanya.
Hal itu disampaikan juga oleh Direktur Utama PT Biotis Pharmaceutical Indonesia FX Sudirman. Vaksin Inavac bisa dihasilkan karena adanya komitmen bersama untuk bisa menghadirkan vaksin yang dikembangkan dan diproduksi di dalam negeri. Harapannya, industri vaksin dalam negeri pun bisa semakin berkembang di Indonesia.
Anggota tim ini dari Komisi Nasional Penilai Obat, Rianto Setiabudy, menambahkan, pihak yang juga turut andil dalam keberhasilan penanganan pandemi, khususnya terkait obat dan vaksin, yang juga patut diapresiasi adalah perhimpunan profesi kesehatan serta industri yang turut membantu mencari bahan baku obat. Selain itu, negara lain yang juga memberikan hibah vaksin bagi masyarakat Indonesia juga perlu dihargai.
Sementara sebagai persiapan menghadapi pandemi di masa depan, kemandirian dalam obat dan vaksin menjadi sebuah keharusan. ”Membangun kemandirian bangsa dalam obat dan vaksin jangan hanya berslogan saja. Dukungan perlu diperkuat pada industri obat dan alat kesehatan yang mau mengembangkan produk dalam negeri,” katanya.