Selain pianis, Iravati Mangunkusumo Sudiarso juga piawai bernegosiasi secara politis dalam birokrasi ”seni” perjuangan melawan rezim Soeharto.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari enam dekade, dari 1937 sampai 2023, Iravati Mangunkusumo Sudiarso mendedikasikan dirinya pada perkembangan musik klasik di Indonesia. Gagasan dan idealismenya tidak hanya seputar dunia musik, tetapi turut terlibat dalam perjuangan para seniman menentang represi Presiden Soeharto selama masa Orde Baru.
Sederet perjuangan dan sisi lain tentang Iravati yang jarang diketahui publik ini dikulik dengan baik oleh Agus M Irkham dalam bukunya, Iravati M Sudiarso: Empu Pianis Indonesia, yang diluncurkan pada Sabtu (4/11/2023) di Steinway Gallery, Jakarta. Buku ini bercerita tentang kepiawaian Iravati bernegosiasi secara politis dalam lingkup birokrasi dunia seni, perjuangannya melawan rezim Soeharto, hingga resep-resep rahasianya dalam menempa para muridnya.
”Tahun 70-an ketika awal Orde Baru, Taman Ismail Marzuki itu adalah pusat pergerakan perlawanan terhadap rezim dan Ibu Ira ada di situ. Bisa dibayangkan Bu Ira bisa menengahi itu, baik dari sisi seni maupun politik,” kata Agus dalam jumpa pers di Steinway Gallery.
Iravati memulai debutnya sebagai pianis Asia pertama yang tampil sebagai solis di New York Philharmonic Hall, Lincoln Center for the Performing Arts, merintis dan membesarkan Sekolah Musik Yayasan Pendidikan Musik, termasuk turut malang melintang dalam pendirian Taman Ismail Marzuki, Institut Kesenian Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan Akademi Jakarta.
Dalam arsip Kompas, 30 Juni 1996, Iravati pernah berkata, menjadi ”birokrat seni” di Dewan Kesenian Jakarta adalah sebuah kerugian besar bagi seorang musisi. Sebab, ia harus turun dari panggung dan duduk di meja. Namun, ”harus ada yang mau berkorban”, ”Saya menerima (jabatan di DKJ) karena saya percaya kesenian harus diurus oleh seniman,” kata Iravati kepada Kompas kala itu.
Ibu itu tidak pernah membicarakan tentang dirinya sendiri, beliau selalu bilang kepada saya, yang penting ’orangnya yang saya tolong, bukan diri saya, lupakan saya’.
Iravati banyak berpengaruh dalam pergerakan seniman melawan rezim, mulai dari membantu pembebasan penyair WS Rendra saat ditangkap dan dipenjara tahun 1994 setelah demonstrasi pemberedelan tiga media. Begitu pula Ratna Sarumpaet yang pernah dikurung oleh rezim Soeharto karena melawan ketidakadilan atas Marsinah.
”Jiwa ibu kami adalah pelindung atau ibu dari semua seniman di Indonesia, jadi kami harus berbagi dan menerima kalau ibu ini bukan hanya milik kami berdua,” kata Aisha Sudiarso Pletscher, putri bungsu Iravati.
Aisha mengakui, tidak mudah untuk menyusun buku ini. Sebab, mereka harus membuka arsip yang tidak terlalu rapi sejak tahun 1960-an di rumahnya. Terlebih, Iravati baru meninggal dunia sehingga keluarga masih diselimuti duka.
Buku ini dikerjakan Agus sejak tahun 2020 sampai 2022 dan baru diluncurkan pada awal November ini. Sementara Iravati mengembuskan napas terakhirnya pada usia 86 tahun di kediaman putrinya di Kebayoran Baru, Jakarta, 18 Januari 2023 sekitar pukul 15.00. Kepergiannya menjadi duka bagi dunia musik, khususnya musik klasik, di Indonesia.
”Sebenarnya, buku, pameran, atau apa pun tentangnya tidak pernah dibanggakan Ibu. Ibu itu tidak pernah membicarakan tentang dirinya sendiri, beliau selalu bilang kepada saya, yang penting ’orangnya yang saya tolong, bukan diri saya, lupakan saya’,” kata Anandita Sudiarso Moningka, putri sulung Iravati.
Selain meluncurkan buku, House of Piano, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), dan Gedung Kesenian Jakarta juga menggelar pameran arsip dan kehidupan Iravati serta gala konser. Pameran digelar pada 4-20 November 2023 di Steinway Gallery untuk publik setiap hari pukul 10.00-18.00 WIB.
Sementara Gala Konser ”Iravati M Sudiarso: Untuk Seni dan Negeri” akan digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu, 8 November 2023, pukul 19.00. Sebanyak 18 musisi alumnus murid-murid Iravati akan menampilkan kaleidoskop karya-karya musik yang digubah dan didedikasikan khusus untuk sang empu pianis oleh para komposernya.
Beberapa di antaranya adalah Tre Pezzettini, Op. 42 (1958), karya komposer Belanda, Léon Orthel; Srikandhy (1969) karya Dr Yazeed Djamin; Tembang Alit (1984) karya Jaya Suprana; hingga Luhur (2017) karya Dr Johannes Sebastian Nugroho.