Dicari, Pemimpin Baru Indonesia yang Pro-lingkungan
Kontestasi pemilihan presiden 2024 perlu menjadi momentum bagi Indonesia untuk mencari pemimpin baru yang pro terhadap lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai krisis yang tengah terjadi di dunia mayoritas disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan. Kontestasi pemilihan presiden 2024 perlu menjadi momentum bagi Indonesia untuk mencari pemimpin baru dengan kapasitas dan kriteria yang pro terhadap lingkungan sekaligus pembangunan berkelanjutan.
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Mahawan Karuniasa mengemukakan, jangka waktu lima tahun ke depan perlu menjadi pilar bagi Indonesia untuk menghadapi potensi krisis iklim maupun ekonomi global. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang memiliki kapasitas dan komitmen dalam menghadapi kondisi ini.
”Masyarakat, organisasi nonpemerintah, dan akademisi bisa melakukan intervensi sehingga kapasitas yang dibutuhkan dapat diarusutamakan ke dalam sistem politik. Namun, dalam pidato-pidato presiden sering kali meniadakan persoalan yang justru menjadi pilar kehidupan kita semua,” ujarnya dalam webinar ”Mencari Figur Pemimpin Pro-lingkungan”, Kamis (26/10/2023).
Kerusakan lingkungan, polusi, dan perubahan iklim merupakan isu yang sangat penting bagi pemilih pemula atau milenial.
Menurut Mahawan, kapasitas pertama yang perlu dimiliki oleh pemimpin baru Indonesia yakni terkait bagaimana menghadapi kelangkaan sumber daya alam tidak terbarukan. Upaya ini sekaligus untuk menjaga kedaulatan pengelolaan SDA dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan SDA tidak terbarukan dalam negeri sehingga tidak dengan mudah menjual bahan mentah ke pihak luar karena ketersediaannya yang terbatas.
Pemimpin baru Indonesia juga perlu memiliki kapasitas dalam menghadapi deplesi atau penyusutan aset SDA terbarukan. Upaya menghadapi deplesi SDA ini harus diiringi dengan pengendalian jumlah penduduk, membangun swasembada pangan dan meninggalkan impor, serta melakukan percepatan energi terbarukan.
”Kapasitas berikutnya terkait dengan menghadapi triple planetary crisis, yakni perubahan iklim, kehilangan biodiversitas, dan pencemaran. Tidak ada pilihan lain bagi kita untuk mengendalikan emisi dan harus dijalankan dengan baik oleh pemimpin baru,” katanya.
Selain itu, dalam menghadapi polikrisis ini juga harus memerhatikan perubahan sistem lahan, sistem air, dan siklus kimia. Kondisi ini harus disikapi pemimpin baru Indonesia dengan mengendalikan perubahan penggunaan lahan yang semakin masif serta pemanfaatan fosfor dan nitrogen untuk menjaga kesuburan tanah.
”Pemimpin baru juga perlu punya kemampuan membangun environmentally sustainable societies atau masyarakat yang ramah lingkungan. Terdapat dua hal seperti memperbarui konsep kesejahteraan berbasis kebahagiaan dan membangun sumber daya manusia dengan mengedepankan keharmonisan dengan alam,” ujarnya.
Mahawan menekankan bahwa kerusakan lingkungan yang kerap terjadi imbas dari adanya pilpres atau pemilihan legislatif harus segera diubah. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain selain mendorong perubahan sistem politik dengan kriteria pemimpin baru yang mampu mengarusutamakan politik dan ekonomi ramah lingkungan.
”Semua kompetensi ini perlu dimiliki pemimpin baru dengan berbagai tekanan baik dari konstituen, akademisi, maupun media. Negara maju di masa depan ialah negara yang mampu menjaga sumber daya alamnya termasuk jasa lingkungan di sekitarnya,” katanya.
Pilihan sulit
Program Advisor for Climate and Forest ESG Researcher Universitas Bina Nusantara Dayu Nirma Amurwanti mengatakan, setiap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) seharusnya berani menerapkan pilihan sulit untuk menghadapi krisis iklim. Komitmen ini perlu dituangkan dalam visi-misi, program kerja, dan target pemerintahan ke depan.
”Salah satu misi utama setiap pasangan capres-cawapres yaitu menekan laju deforestasi, tetapi di sisi lain kegiatan ekstraktif terus berjalan. Jadi, masih ada kontradiksi sehingga pilihan sulit harus dibuat dan ketiganya belum terlihat melakukannya,” ujarnya.
Dayu menilai, pasangan capres-cawapres yang meyakini adanya krisis iklim seharusnya memiliki ambisi untuk melakukan transisi energi lebih cepat. Pilihan untuk segera mempercepat transisi penggunaan energi kotor ke energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan harus dibuat meskipun membutuhkan pendanaan yang besar.
Peneliti senior Indikator Politik Indonesia, Kennedy Muslim, mengatakan, hasil survei Indikator Politik menunjukkan, kerusakan lingkungan, polusi, dan perubahan iklim merupakan isu yang sangat penting bagi pemilih pemula atau milenial. Mayoritas responden juga menilai bahwa pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi krisis iklim.
”Visi misi pasangan capres-cawapres saat ini rata-rata sudah memasukkan isu lingkungan. Namun, cukup diragukan kalau hal ini masih tetap menjadi isu utama dalam debat nanti. Oleh karena itu, penting bagi aktivis lingkungan, termasuk media, untuk menggaungkan isu ini karena insentif elektoralnya sudah sangat jelas,” ungkapnya.