Kembangkan Kepintaran Anak dengan Belajar dari Keseharian
Hasil studi menunjukkan, anak sudah memiliki kemampuan dasar berpikir dan belajar sejak bayi. Hal ini bisa dikembangkan agar maksimal.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak bayi, seorang anak sudah memiliki kemampuan belajar yang kuat. Seorang anak bukanlah selembar ”kertas kosong”, melainkan sudah memiliki dasar-dasar berpikir. Untuk mengembangkan kemampuan anak tersebut, orangtua pendidik perlu berkomunikasi dan melibatkan anak dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam seminar tentang pendidikan yang digelar Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Indonesia (Himpaudi) dan Universitas Yarsi di Jakarta, Sabtu (21/10/2023), Profesor Stella Christie, Director Tsinghua Child Cognition Center, Universitas Tsinghua, China, mengatakan, dalam 30 tahun terakhir berbagai penelitian untuk mengetahui mengapa kita cerdas dilakukan. Sebab, manusia memiliki kemampuan belajar yang sangat kuat atau relational mind, yakni melihat pola dan struktur dengan cepat.
Hingga saat ini, Stella dan timnya sudah meneliti lebih dari 30.000 anak untuk mengetahui perkembangan otak anak. Hasilnya menunjukkan, anak dari awal memiliki kemampuan belajar dengan sangat cepat.
”Awal kognitif manusia itu tidak seperti kertas putih atau kertas kosong. Bahkan, bayi umur tiga bulan saja sudah mengerti jumlah atau angka dengan habituasi atau pembiasaan berulang,” ujar Stella.
Para bayi sudah mengetahui tentang obyek dan fisika yakni hal-hal yang seharusnya jatuh ke bawah, tidak bergantung di udara; angka-angka dengan menunjukkan dari jumlah sedikit ke banyak; agen dengan mengatakan anjing dapat bergerak sendiri sedangkan batu tidak. Mereka juga mengetahui tempat dengan bagaimana menemukan lokasi menggunakan geometri atau sudut, serta bentuk dengan bentuk benda.
Dengan adanya bukti ilmiah bahwa anak-anak sudah memiliki dasar berpikir, ujar Stella, cara belajar yang mengembangkan pikiran anak perlu dikembangkan. ”Kita perlu memiliki kesadaran bahwa kita bukan mengajar dari nol. Anak sudah punya kemampuan. Ada aset kognitif yang sangat besar dalam diri tiap anak,” ujar Stella.
Aktivitas sehari-hari
Dalam pendidikan di rumah ataupun di pendidikan anak usia dini (PAUD), Stella mendorong agar pendidik mengajak anak belajar dari keseharian. Justru belajar yang dikaitkan dengan aktivitas sehari-hari anak membuat mereka merasa tidak asing dan semangat untuk mengembangkan rasa ingin tahu dan mengeksplorasi.
Stella mencontohkan, secara umum orang beranggapan anak belajar matematika saat melihat gambar dengan angka-angka. ”Padahal, dengan membuat kue, misalnya, anak justru bisa belajar matematika dan lebih baik. Belajar matematika keseharian di rumah dapat meningkatkan pencapaian matematika di sekolah,” kata Stella.
Menurut Stella, untuk mengajak anak kecil belajar matematika tidak perlu dengan problem matematika. ”Dengan ngobrol, mereka bisa berpikir tentang matematika karena anak-anak bayi punya pengetahuan dasar tentang jumlah. Mereka tertarik estimasi jumlah di keseharian. Namun, kita tidak menyadari bahwa matematika bukan pelajaran, melainkan bagian hidup sehari-hari,” papar Stella.
Setiap hari, hidup manusia tidak lepas dari matematika. Ada angka dan berhitung; pengukuran dan perkiraan; pola; bentuk; hingga ruang dan tempat. Anak-anak dapat paham konsep matematika ini dari bermain, berbicara dengan orangtua, dan aktivitas sehari-hari lainnya yang sederhana.
Stella mengatakan, yang paling penting orangtua berkomunikasi ke anak-anak karena dapat membantu perkembangan anak-anak di bidang apa pun. Sebab, unsur sosial paling penting untuk pembelajaran anak.
Hidup manusia tidak lepas dari matematika. Ada angka dan berhitung; pengukuran dan perkiraan; pola; bentuk; hingga ruang dan tempat.
”Saat berkomunikasi dengan anak-anak, orangtua dan pendidik harus menghargai anak dan bisa melihat kemampuan berpikir anak. Sayangnya, ini masih sulit disadari orangtua/guru. Kita harus percaya anak kita mampu berpikir. Lalu, melibatkan mereka dalam keseharian kita dan kita punya kemampuan tinggi mendidik anak,” tutur Stella.
Selain itu, saat bersama anak bisa jadi kesempatan untuk belajar bersama. Jika anak bertanya dan orangtua tidak tahu, katakan tidak tahu dan ajak anak mencari jawabannya bersama-sama. Dengan demikian, anak melihat bahwa orangtua pun tetap perlu belajar.
Pengasuhan positif
Sementara itu, Wakil Rektor III Universitas Yarsi yang juga psikolog, Octaviani Indrasari Ranakusuma, mengatakan, para orangtua dan pendidik kini diharapkan melaksanakan pengasuhan positif untuk anak. Pola pengasuhan ini dengan menghindari pemberian hukuman untuk memperbaiki perilaku bermasalah anak.
”Interaksi positif dengan anak dilakukan dengan mengomunikasikan harapan tiap-tiap pihak dengan jelas,” kata Octaviani.
Rektor Univeritas Yarsi Fasli Jalal mengatakan, orangtua punya modal pengasuhan yang utama, yakni rasa cinta. Namun, rasa cinta ini perlu dilengkapi dengan nilai-nilai lain agar anak bisa bertumbuh dan berkembang.
Dalam pengasuhan anak, orangtua/pendidik perlu memastikan terpenuhinya kebutuhan anak. Paling utama yakni rasa aman, lalu batasan yang jelas, keteraturan dalam hidup, dilibatkan dalam keluarga, ceria, dan bahagia.