Politisi Belum Banyak Menyuarakan Isu Perubahan Iklim
Hasil riset oleh Monash Climate Change Communication Research Hub menunjukkan belum banyak politisi yang menyuarakan isu perubahan iklim di media sosial.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman global dan dampaknya sudah dirasakan semua lapisan masyarakat. Namun, sampai sekarang masih belum banyak politisi yang menyuarakan isu ini dan tidak menjadi agenda kampanye utama mereka.
Hal tersebut terangkum dalam hasil riset yang dilakukan Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) Indonesia Node Monash University Indonesia. Riset bertujuan mengidentifikasi agenda para politisi terkait dengan perubahan iklim.
Politisi menjadi subyek yang ditekankan dalam riset ini karena mereka memainkan posisi penting dalam mengawasi kebijakan perubahan iklim. Selain merumuskan kebijakan, politisi juga bertanggung jawab menerapkan, memantau, dan memastikan kebijakan ini sejalan dengan lanskap ekonomi sosial Indonesia.
Associate Professor Program Manajemen Kebijakan Publik Monash University Indonesia Ika Idris menyampaikan, riset ini dilakukan melalui pengumpulan data selama 3,5 tahun, yakni 2019-2021, dari 157 akun (page) media sosial politisi. Page media sosial ini dipilih karena menjadi ruang politisi untuk berkampanye atau menyuarakan dan mencitrakan dirinya.
”Kami ambil politisi di tingkat eksekutif dan legislatif, yakni semua menteri, 66 gubernur dan wakil gubernur, 12 ketua partai, serta 48 ketua komisi di DPR. Kami juga menentukan kata kunci dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar spesifik ke isu perubahan iklim,” ujarnya dalam diskusi publik sekaligus peluncuran buku bertajuk Navigasi Isu Perubahan Iklim di Pemilu 2024: Panduan Komunikasi untuk Para Politisi, di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Hasil riset menunjukkan, dari 157 akun tersebut hanya ada 106 akun atau 67,5 persen yang mengunggah konten terkait isu perubahan iklim dengan total 983 unggahan. Persentase terbanyak, yakni 80 persen, diunggah akun dari menteri. Disusul 8 persen dari ketua partai dan masing-masing 6 persen dari gubernur dan ketua komisi di DPR.
Topik yang mendominasi unggahan itu, di antaranya, tentang kepemimpinan Indonesia dalam pertemuan negara-negara G20, penghargaan bagi Jakarta dalam transportasi berkelanjutan, dan konservasi mangrove.
Kemudian terdapat unggahan terkait pemulihan ekonomi, pertanian dan ketahanan pangan, akses air bersih, kesadaran lingkungan, hingga keterlibatan generasi muda dalam isu perubahan iklim.
”Ternyata unggahan tentang perubahan iklim paling banyak dipengaruhi agenda kebijakan global. Akan tetapi, isu yang berdampak langsung terhadap masyarakat, seperti pertanian, ketahanan pangan, dan air bersih, paling rendah unggahannya,” katanya.
Menurut Ika, saat inibanyak perjanjian internasional yang memengaruhi komitmen serta kebijakan pemerintah dan politisi tentang perubahan iklim. Namun, politisi pada level tertentu tetap harus memiliki pemahaman yang cukup mengenai isu ini.Pemahaman dari politisi akan memengaruhi kebijakan yang mereka dukung atau buat.
Unggahan tentang perubahan iklim memang paling banyak dipengaruhi agenda kebijakan global. Akan tetapi, isu yang berdampak langsung terhadap masyarakat, seperti pertanian, ketahanan pangan, dan air bersih, paling rendah unggahannya.
Sejumlah rekomendasi bagi politisi dan partai politik untuk mengampanyekan isu perubahan iklim juga dituangkan dalam buku berjudul Navigasi Isu Perubahan Iklim di Pemilu 2024. Buku yang disusun MCCCRH Indonesia Node ini menguraikan fakta, posisi sentral politisi, hingga praktik terbaik komunikasi perubahan iklim di kampanye.
”Kami akan memberikan workshop dan pelatihan bagi politisi, calon legislatif, dan partai politik yang ingin mendalami isu perubahan iklim. Namun, syaratnya mereka harus berbicara dan mendengarkan para ilmuwan kami,” ucap Ika.
Menyusun program kerja
Juru bicara pasangan calon presiden Anies Baswedan dan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar, Surya Chandra, mengatakan, riset dan buku mengenai Navigasi Isu Perubahan Iklim di Pemilu 2024 sangat penting dan membantu untuk menyusun program kerja pasangan Anies-Muhaimin. Riset dan buku tersebut juga bisa menjadi rujukan para calon kepala daerah ke depan.
”Dampak perubahan iklim dapat dirasakan puluhan hingga ratusan tahun dan anak muda yang paling merasakannya. Jadi, negara perlu mengatasi isu perubahan iklim dari perspektif korban. Oleh karena itu, penting sekali ada politik perubahan iklim yang tepat sasaran sekaligus menjadi proses untuk memanusiakan rakyat Indonesia dan global,” katanya.
Surya menekankan bahwa pasangan Anies-Muhaimin berkomitmen menanggulangi perubahan iklim dengan tetap mengedepankan faktor kemanusiaan. Salah satu program yang nantinya akan didorong terkait dengan kolaborasi transisi energi.
Sementara juru bicara bakal calon presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati, menyebut bahwa membaca isu perubahan iklim di media sosial tidak mudah karena isu ini kerap dibicarakan oleh kementerian terkait. Selain politisi, pengetahuan masyarakat terhadap isu perubahan iklim dan dampaknya juga perlu dipetakan secara detail.
”Sebenarnya isu perubahan iklim ada di semua capres. Jadi, jangan menjadikan perdebatan soal krisis iklim untuk melihat siapa yang memiliki ide paling baik karena akan saling klaim. Seharusnya, jika idenya bagus harus bersama-sama menyukseskan,” ucapnya.