Pemenuhan gizi berdampak besar terhadap pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena itu, program perbaikan gizi bukanlah pemborosan, melainkan investasi jangka panjang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanggulangan masalah gizi tidak efektif jika hanya menggunakan pendekatan medis atau sistem pelayanan kesehatan. Program pemenuhan gizi memerlukan perencanaan holistik yang melibatkan berbagai sektor sehingga terintegrasi dengan perencanaan pembangunan nasional.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Kegizian Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia Prof (Emeritus) Soekirman mengatakan, masalah gizi di dunia, termasuk di Indonesia, bukan hanya stunting (tengkes), tetapi juga anak kurus (wasting), dan kegemukan (overweight). Selain itu, terdapat masalah gizi mikro khususnya anemia pada ibu hamil.
Menurut Soekirman, meskipun masalah gizi termasuk dalam domain ilmu biomedis, untuk memecahkan masalahnya membutuhkan analisis ekonomi dan manajemen. ”Dengan demikian, penyusunan programnya memerlukan perencanaan yang bersifat holistik sehingga menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional,” ujarnya saat menyampaikan Widjojo Nitisastro Memorial Lecture Ke-6 dengan tema ”Kelembagaan dan Kepemimpinan Gizi Nasional & Global dalam Pembangunan: Dari Christiaan Eijkman sampai Widjojo Nitisastro” di Auditorium Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Kegiatan itu digelar oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Selain anggota AIPI, acara ini juga dihadiri oleh Wakil Presiden ke-11 RI Boediono serta perwakilan keluarga Widjojo Nitisastro.
Widjojo (1927-2012) memang dikenal sebagai arsitek pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, menurut Soekirman, Widjojo juga merupakan tokoh dalam bidang gizi karena menjadi Kepala Bappenas yang pertama kalinya mencantumkan masalah pangan dan gizi dalam kebijakan pembangunan nasional, yaitu Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III pada 1979-1984.
Ia mengatakan, keberhasilan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan stabilitas, juga telah berdampak pada perbaikan gizi masyarakat waktu itu. ”Pak Widjojo menekankan bahwa gizi bukan tanggung jawab satu sektor saja, tetapi melibatkan berbagai sektor dan berbagai bidang. Oleh karena itu, memerlukan sinkronisasi dalam perencanaan dan koordinasi yang tepat dalam pelaksanaannya,” ujarnya.
Hal itu sejalan dengan teori THIO (technoware, humanware, infoware, organoware) yang diutarakan Nawaz Sharif. Menurut Soekirman, untuk menanggulangi masalah gizi, diperlukan adanya kelembagaan gizi yang mempunyai kemampuan mendayagunakan keempat aset THIO tersebut.
”Model THIO ini dapat diterapkan untuk evaluasi program, termasuk program gizi dengan menilai efektivitas keempat aset THIO dari program. Efektivitas keempat aset THIO terutama ditentukan oleh kepemimpinan yang dapat menentukan kualitas produksi dari organisasi dalam institusi program,” ujarnya.
Dengan pandangan ini, fokus perhatian masalah gizi diperluas dari masalah kesehatan menjadi masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja.
Dalam memorial lecture itu, Soekirman juga memaparkan sejarah kelembagaan gizi di Tanah Air. Salah satu tokohnya adalah Christiaan Eijkman yang meraih hadiah nobel di bidang kedokteran pada 1929 atas penelitiannya tentang penyakit beri-beri yang disebabkan oleh kekurangan senyawa yang terdapat pada kulit beras.
Konsep ini menjadi awal penemuan vitamin. Penemuan vitamin pertama oleh Eijkman dan penerusnya dianggap sebagai awal dari ilmu gizi modern.
”Dengan demikian, Eijkman adalah tokoh besar pertama ilmu gizi di Indonesia sebagai scientist yang mendirikan lembaga penelitian makanan dan gizi,” katanya.
Soekirman menambahkan, selama 23 tahun bertugas di Bank Dunia, ahli gizi asal Amerika Serikat, Alan Berg, banyak membantu proyek gizi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Meskipun pada hakikatnya masalah gizi merupakan persoalan pangan, solusinya tidak dengan sendirinya berupa peningkatan atau penyediaan pangan.
Di banyak negara berkembang, masalahnya lebih banyak menyangkut penyediaan pangan pada tingkat rumah tangga. ”Dengan pandangan ini, fokus perhatian masalah gizi diperluas dari masalah kesehatan menjadi masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja,” ucapnya.
Pembangunan manusia
Menurut Boediono, Widjojo merupakan seorang ekonom sekaligus demographer yang belajar tentang kependudukan. Oleh karena itu, fokus perhatian terbesarnya terletak pada masalah penduduk, baik terkait kuantitasnya maupun kualitasnya.
Kebijakan pembangunan manusia selalu diperhatikan dan diprioritaskan. Dengan anggaran memadai, berbagai program pelayanan kesehatan, seperti penyebaran dokter ke daerah-daerah, puskesmas, posyandu, dan perbaikan gizi, bisa berjalan.
”Menurut hemat saya, program pembangunan manusia seperti itu masih relevan sampai sekarang. Mengapa? Sebab, sumber daya manusia adalah dasar bagi institusi penyangga suatu negara, yaitu institusi-institusi yang mengatur bidang ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan,” ujarnya.
Ketua AIPI Prof Daniel Murdiyarso mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia mengalami kondisi yang sangat pelik dan berkepanjangan terkait stunting. Persoalan tersebut sudah dipikirkan oleh ilmuwan terdahulu melalui kebijakan fortifikasi makanan.
”Jadi, kita diingatkan sekali lagi betapa pentingnya sains dan pengetahuan masuk dalam kebijakan sehingga memengaruhi proses-proses pengambilan keputusan. Tidak berdasarkan proyek, tetapi kebijakan menyeluruh jangka panjang,” katanya.
Anggota Komisi Ilmu Kedokteran AIPI Prof Sangkot Marzuki menambahkan, kesadaran tentang pentingnya gizi bagi pembangunan SDM telah disadari secara luas. Namun, masalah kekurangan gizi masih terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
”Padahal, menurut publikasi Bank Dunia, perbaikan gizi merupakan suatu investasi. Jadi, bukan pemborosan atau sekadar charity,” ujarnya.