Keluarga Terdekat Diduga Pelaku Penyekapan Anak 7 Tahun di Malang
Kekerasan pada anak tak pernah berhenti. Bahkan di dalam rumah anak menjadi korban kekerasan dengan pelaku orangtua sendiri.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap anak di dalam keluarga terus terjadi. Pekan lalu, Senin (9/10/2023), seorang anak DN (7) di Kota Malang, Jawa Timur, melarikan diri dari rumahnya setelah mengalami penyekapan dan penyiksaan sekitar enam bulan. Kekerasan tersebut dilakukan ayah kandung, ibu tiri, dan keluarga besar ibu tirinya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memberi perhatian khusus mengawal proses hukum kasus tersebut. Para pelaku terancam dijerat Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
”Kami mengecam keras segala bentuk tindak kekerasan fisik berupa penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap anak, apalagi yang dilakukan oleh keluarga terdekat korban sebagaimana yang terjadi pada anak DN,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar, Selasa (17/10/2023).
Informasi yang diperoleh Kementerian PPPA, anak korban DN mengalami penyekapan dan kekerasan fisik semenjak April 2023 silam. Pelakunya, selain ayah kandung dan ibu tiri, juga keluarga dari ibu tirinya, yakni nenek, kakak, dan paman.
DN selama ini disekap di ruangan kecil dan tidak diizinkan untuk keluar sama sekali. Dari pengakuan korban, dia jarang diberikan makan, sering disiksa oleh keluarga. DN kerap kali dipukul, disundut rokok, dicekik, dipukul dengan rotan, dan dicelupkan kedua tangannya ke panci yang berisi air mendidih.
Menurut Nahar, terungkapnya kasus tersebut karena keberanian anak korban yang berhasil kabur dan meminta bantuan tetangga pada 9 Oktober 2023 lalu. Pada saat itu, kondisi tubuh anak tersebut dipenuhi bekas luka dan ia kelaparan karena jarang diberi makan oleh terduga pelaku.
Tetangga tersebut kemudian menghubungi pengurus rukun warga dan pemerintah desa setempat, yang kemudian melaporkan kepada pihak kepolisian. Kepolisian bergerak cepat. Setelah berkoordinasi dengan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Malang, Selasa (10/10/2023), polisi akhirnya menangkap seluruh terduga pelaku.
Korban lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Saiful Anwar Malang untuk diperiksa kondisi kesehatannya. Pendampingan dilakukan Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Selain itu, untuk pengasuhan korban ke depan, Kementerian PPPA juga berkoordinasi dengan pihak terkait di Kota Malang untuk menelusuri keberadaan ibu kandung DN. Koordinasi juga dilakukan dengan dinas sosial setempat, jika keberadaan ibu kandung tidak diketahui atau tidak memiliki kemampuan untuk mengasuh anak korban.
”Kami juga akan terus memantau proses hukum agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memastikan anak korban mendapatkan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” ujar Nahar.
Adapun atas perbuatan pelaku, sesuai UU Perlindungan Anak diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta, dan untuk pelaku orangtua akan ditambah hukum. Selain itu, pelaku juga bisa dikenai UU PKDRT.
Masyarakat yang mengalami atau mengetahui segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk segera melaporkannya kepada SAPA 129 melalui hotline 129 atau Whatsapp 08111-129-129 atau melaporkan ke polisi setempat.
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, kondisi DN, anak laki-laki berusia tujuh tahun, yang diduga menjadi korban penganiayaan oleh keluarganya sendiri di Kota Malang, berangsur membaik. Hingga Sabtu (14/10/2023), DN masih menjalani pemulihan di RS Syaiful Anwar Kota Malang. (Kompas.id, Sabtu, 14/10/2023)
Kasus terus berulang
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini menyatakan, sesuai UU Perlindungan Anak Pasal 59A, anak korban harus mendapatkan pendampingan psikososial, mendapatkan bantuan sosial, dan jaminan perlindungan hukum. Selain itu, anak korban juga harus mendapatkan rumah yang aman agar penyembuhan atas trauma yang dialaminya.
Kasus yang menimpa DN adalah salah satu dari kasus-kasus kekerasan anak yang terjadi di rumah. Bahkan, dari laporan yang diterima KPAI sejak Juni 2023, ada tren pengaduan kekerasan pada anak dengan pihak yang terlapor yang paling banyak adalah ayah kandung dan ibu kandung.
”Sampai saat ini pengaduan kekerasan fisik dan psikis anak menempati pelaporan ketiga terbanyak di KPAI per September, jumlah laporannya sebanyak 431 kasus,” ujar Diyah.