Gairah Singapura Lepas dari Jerat Sampah
Meski dikenal dengan negara bersih, Singapura belum lepas dari jerat masalah sampah. Beragam terobosan untuk menekan pembuangan sampah pun dilakukan.
Gerimis mengguyur kawasan Chinatown, Singapura, Senin (9/10/2023). Hai Xiang mempercepat langkahnya menuju gedung enam lantai di sudut Jalan Eu Tong Sen. Ia langsung bergegas menuju lantai dua.
Ia menyusuri lorong sempit di antara rak produk makanan yang dijual oleh wirausaha sosial MoNo SG. Sekilas toko itu mirip dengan minimarket pada umumnya. Berbagai produk makanan, seperti biskuit, kue, cokelat, susu, dan minuman ringan tersusun rapi di sana.
Akan tetapi, perbedaannya, toko itu menjual produk yang mendekati, bahkan melewati tanggal kedaluwarsa. Hal ini tak membuat Hai Xiang khawatir. Ia memahami, produk makanan yang melewati tanggal terbaiknya masih layak dikonsumsi.
Selain harganya miring, membeli produk kedaluwarsa juga bisa mengurangi sampah makanan. Sebab, kebanyakan makanan kedaluwarsa akan dibuang dan berakhir di tempat sampah sehingga berpotensi membebani lingkungan.
”Sisa makanan adalah masalah yang cukup besar. Orang-orang sering membuang makanan, begitu juga dengan swalayan,” ujarnya kepada peserta program kunjungan jurnalis oleh Singapore International Foundation (SIF). Program ini diikuti sembilan jurnalis dari Indonesia, India, dan Vietnam.
Barang-barang di MoNo SG dijual dengan harga bervariasi, dari gratis hingga 10 dollar Singapura atau sekitar Rp 114.000. Pembeli bisa menghemat dari 1,5 dolar Singapura (Rp 17.000) hingga 35,5 dolar Singapura (Rp 406.000) per produk dibandingkan dengan membeli di ritel pada umumnya.
Baca juga: Inklusivitas Merekah di ”Negeri Singa”
Sore itu, Hai Xiang membeli beberapa botol oat milk atau sari gandum. Harganya 35 persen lebih murah dibandingkan dengan harga pasaran. Meski tidak rutin, ia sering berbelanja di wirausaha berkelanjutan yang didanai Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura (NEA) dan Dewan Pemuda Nasional Singapura (NYC).
”Jadi, saya bisa menghemat uang dengan berbelanja di sini dan mencoba melakukan yang terbaik untuk mengurangi sampah makanan,” katanya.
Akan tetapi, menurut Hai Xiang, masih banyak warga Singapura belum menganggap sampah makanan sebagai masalah serius. Persoalan ini masih cenderung terabaikan.
MoNo SG memang bukan bisnis biasa. Wirausaha ini juga bertujuan mengubah pola pikir konsumen terhadap makanan yang melewati tanggal terbaiknya masih aman untuk dikonsumsi. Dengan begitu, toko tersebut mengalihkan makanan dari tempat sampah atau insinerator dengan mendistribusikannya kembali ke masyarakat untuk mengurangi limbah makanan.
Barang-barang di toko tersebut didatangkan dari sejumlah pemasok. Pengelola MoNo SG kemudian memastikan keamanannya untuk dikonsumsi dengan terlebih dahulu mencoba beberapa sampel.
”Kami perlu memastikan semua baik-baik saja. Selain itu, pemasok memberi tahu kami berapa lama biasanya barang-barang ini tetap dalam kondisi baik,” ujar pendiri MoNo SG, Leonard Shee.
Sisa makanan adalah masalah yang cukup besar. Orang-orang sering membuang makanan, begitu juga dengan swalayan.
Leonard mengatakan, pendapatan toko itu bervariasi setiap bulannya. Biasanya omzet akan meningkat di akhir tahun seiring adanya sejumlah perayaan. Namun, ia tidak menyebutkan nominalnya.
”(Pendapatan) itu bukan fokus utama kami. Penghasilan bisa sangat berbeda setiap bulannya,” ucapnya.
Meningkatnya aktivitas ekonomi turut menambah beban sampah di Singapura. Merujuk data dari laman Badan Lingkungan Hidup Singapura (NEA), www.nea.gov.sg, negara itu menghasilkan 7,39 juta ton limbah padat pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 6,94 juta ton.
Akan tetapi, tingkat daur ulang sampah di negara berpenduduk sekitar 5,6 juta jiwa itu juga terus bertambah. Perbandingannya, dari 55 persen pada 2021 menjadi 57 persen pada 2022.
Limbah elektronik
Berjarak sekitar 18 kilometer dari MoNo SG, upaya mengurangi sampah turut digagas oleh gerakan Repair Kopitiam. Gerakan ini fokus pada pemberdayaan masyarakat untuk memperbaiki sejumlah peralatan listrik sehingga dapat menekan pembuangan limbah elektronik.
Di salah satu ruang pelatihan, fasilitator Repair Kopitiam, Jin Tee Lim, menunjukkan sebuah kipas angin rusak. Kipas tidak berputar meski sudah dialiri listrik.
Tanpa mengetahui penyebabnya, banyak orang akan membuang kipas angin yang rusak. Hal ini memicu penumpukan sampah elektronik dan membebani lingkungan.
Padahal, menurut Lim, sering kali kerusakan barang elektronik hanya disebabkan oleh masalah kecil. Kipas angin yang tidak berputar itu, misalnya, disebabkan melemahnya fungsi kapasitor yang harganya tidak sampai 1 dollar Singapura (Rp 11.000).
”Biaya perbaikannya mungkin bisa murah asal tahu masalah kerusakannya. Namun, sering kali hal ini tidak disadari sehingga barang yang rusak langsung dibuang sehingga menimbulkan masalah sampah,” ujarnya.
Baca juga: Tak Lagi Digunakan, 5,3 Miliar Ponsel Akan Menjadi Sampah
Repair Kopitiam membuka berbagai kursus bagi masyarakat umum. Selain memperbaiki barang elektronik, ada juga lokakarya untuk memperbaiki barang lain, seperti mebel. Komunitas ini mendorong pola pikir masyarakat dalam mengurangi sampah dengan mendaur ulang.
”Dengan melakukan hal ini, mereka terlibat dalam pembuangan limbah elektronik yang bertanggung jawab. Selain itu, kami juga membawa semangat perbaikan kepada masyarakat melalui berbagai kursus dan kegiatan,” katanya.
Lim berharap gerakan perbaikan barang elektronik yang menjadi bagian dari gaya hidup berkelanjutan semakin digandrungi generasi muda. Hal ini diperlukan agar limbah elektronik tidak menimbulkan masalah lebih besar di masa depan.
”Sebagian besar barang yang rusak karena masalah kecil. Siapa pun bisa memperbaikinya jika mengetahui caranya. Upaya ini harus menjadi gerakan masif demi kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Seiring meningkatnya populasi dan kemakmuran warganya, Singapura harus bertarung menghadapi lonjakan sampah yang dihasilkan. Kesadaran warga mengubah gaya hidup dalam mengonsumsi makanan dan memperbaiki barang menjadi ”senjata” agar lebih bertanggung jawab dalam membuang limbah.