Kehidupan transpuan selama ini termarjinalkan. Jangankan mengenyam perguruan tinggi, akses pendidikan dasar pun sulit.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Selasa tanggal 10 Oktober 2023 menjadi hari bersejarah bagi Mami Yuli (62), Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia. Siang itu, pemilik nama asli Yulianus Rettoblaut ini diwisuda sebagai doktor pada Program Studi Ilmu Hukum, Pascasarjana, Universitas Jayabaya, Jakarta.
”Sampai saat ini saya masih merasa antara yakin dan enggak yakin sudah jadi doktor. Selama ini perjuangan mencapai ini tidak bisa diukur dengan materi. Ini luar biasa karena pengorbanan yang besar,” ujar Yuli sesaat setelah diwisuda doktor.
Yuli menuturkan, tidak mudah baginya untuk meraih pendidikan tinggi. Pendidikan doktor diselesaikannya dalam waktu lima tahun dengan berbagai tantangan, terutama pembiayaan.
”Yang paling sulit, mau bayar uang tiap semester kadang tidak ada uang. Mau fotokopi saja kadang tidak ada duit. Pas mau sidang banyak tantangan. Kadang terasa mentok, tapi puji Tuhan ada saja caranya,” kata Yuli saat wisuda mengenakan kebaya putih dipadu kain warna ungu, dengan rambut disanggul.
Kendati menghadapi tantangan, Yuli tidak menyerah. Sebab, bagi Yuli, perjuangannya menempuh pendidikan doktor bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk para transpuan di Tanah Air yang selama ini hidup terkucil dari masyarakat.
”Selama ini transpuan dizalimi. Karena itu, saya berjuang, mendobrak pandangan publik dan pemerintah, membuka mata mereka, walaupun kita warga negara yang dianggap sebelah mata,” paparnya.
Bagi Yuli, dengan memiliki pendidikan setara dengan warga lain, dia berharap masyarakat tidak lagi memandang rendah transpuan. Di sisi lain, apa yang diraihnya bisa memotivasi para transpuan bahwa jika berjuang, pendidikan setingkat doktor pun bisa diraih.
Pada upacara wisudanya, Yuli mengaku bahagia karena saat wisuda sejumlah saudaranya ikut menyaksikannya, bahkan saudara kandung ayahnya, Bonifasius Rettob, ikut hadir. Salah satu anak angkatnya pun ikut menyaksikan wisuda Yuli.
”Menurut kami, dia melawan kodrat. Tapi kalau itu pilihannya kita mau bilang apa? Kita terima. Ternyata dia tidak putus asa, berusaha untuk lebih maju dan lebih maju, dan akhirnya dia mencapai S-3. Itu yang kami bangga. Dia juga membela teman-temannya,” ujar Bonifasius.
Saat keluar dari ruangan tempat wisuda, Yuli disambut dengan pelukan dan ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya transpuan serta sahabat-sahabatnya yang selama ini mengadvokasi para transpuan.
Selama ini transpuan dizalimi. Karena itu, saya berjuang, mendobrak pandangan publik dan pemerintah, membuka mata mereka, walaupun kita warga negara yang dianggap sebelah mata.
Magdalena Sitorus, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2015-2019, juga datang menghadiri wisuda Yuli.
”Pendidikan doktor ini merupakan perlawanan Yuli terhadap diskriminasi. Sebetulnya, berat tantangan yang dihadapinya. Selama ini mereka disisihkan, tidak berpendidikan, bukan enggak mau, tapi ruangnya ditutup,” kata Magdalena.
Menembus stigma
Yuli merupakan transpuan pertama yang meraih gelar doktor. Yuli berhasil menembus tembok stigma yang melekat dalam diri transpuan. Tak hanya menembus pendidikan tinggi, Yuli juga membuktikan dengan perjuangan dia tak hanya mengantongi gelar sarjana di strata 1, tapi sampai pada strata 3.
Di usia yang sudah memasuki lanjut usia, Yuli membuktikan pendidikan bisa diraih oleh siapa saja, termasuk transpuan yang selama ini termarjinalkan. Bagi transpuan, bisa menikmati bangku sekolah sampai sekolah menengah atas itu merupakan prestasi luar biasa.
Sebagian besar transpuan putus sekolah dan hidup terpisah (bahkan dibuang keluarga) sehingga jangankan mengakses pendidikan, mengakses pekerjaan pun bukan hal mudah. Jika sendirian, sangat sulit bagi transpuan menjalani kehidupan jika tidak bergabung dengan komunitas transpuan.
Saat usia muda, transpuan berusaha mandiri ekonomi, jika bekerja. Namun, pekerjaan yang bisa diakses transpuan amat terbatas. Mereka kebanyakan bekerja di salon kecantikan. Bekerja di bidang lain amat kecil peluangnya bagi transpuan.
Situasi transpuan tersebut kian mendorong Yuli untuk mengubahnya. Selain mengadvokasi dan mendorong para transpuan mandiri, dia juga meminta para transpuan di kelompoknya agar mengubah perilaku termasuk cara berpakaian, agar mereka tidak mengalami stigma yang semakin buruk.
Saat ini ada sekitar 4.000 transpuan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodebatek) yang tergabung Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) yang dipimpin Yuli. Sekitar 80 persen adalah warga urban dari berbagai daerah di Indonesia, dan lebih dari 800 transpuan berusia lanjut dan hidup dalam kemiskinan.
Mayoritas mereka tidak memiliki keluarga, dan tidak punya tempat tinggal tetap (mengontrak) serta sakit-sakitan. Bahkan, mayoritas transpuan tidak memiliki dokumen kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), sehingga sulit mengakses bantuan sosial dan layanan kesehatan.
Sejak 2010, FKWI mendirikan Rumah Singgah Waria Lansia ”Anak Raja” di Depok, Jawa Barat , yang menjadi tempat tinggal para transpuan lansia. ”Saya mengajak seluruh teman-teman untuk meraih pendidikan lebih baik,” kata Yuli.