Risiko Gangguan Penglihatan di Tempat Kerja Masih Terabaikan
Pekerja punya risiko tinggi mengalami gangguan penglihatan. Akan tetapi, risiko itu sering tidak disadari sehingga upaya pencegahan dan penanganan menjadi tidak optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Risiko gangguan penglihatan di tempat kerja cukup tinggi. Namun, upaya pencegahan dan pengendalian terhadap risiko gangguan penglihatan tersebut belum menjadi prioritas, baik oleh pekerja maupun pemberi kerja.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Trilaksana Nugroho dalam acara arahan media terkait peringatan Hari Penglihatan Sedunia 2023 di Jakarta, Selasa (10/10/2023), mengatakan, perlindungan penglihatan bagi pekerja di tempat kerja sering diabaikan. Padahal, risiko kecelakaan di tempat kerja serta tuntutan pekerjaan sering kali menyebabkan kemampuan penglihatan menjadi buruk.
”Bahaya gangguan penglihatan akibat keselamatan kerja yang tidak diperhatikan itu sangat tinggi. Jadi, mulai saat ini kita harus berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya merawat kesehatan mata, mulai dari individu, pemberi kerja, sampai ke pemangku kebijakan,” tuturnya.
Mengutip laporan riset yang dirilis oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Badan Internasional untuk Pencegahan Kebutaan (IAPB) pada September 2023, sekitar 13 juta orang hidup dengan gangguan penglihatan akibat pekerjaan. Diperkirakan sebanyak 3,5 juta cedera mata terjadi di tempat kerja setiap tahun. Angka tersebut merupakan 1 persen dari seluruh cedera mata yang tidak fatal akibat kerja (Kompas, 23/9/2023).
Perlindungan penglihatan bagi pekerja di tempat kerja sering diabaikan. Padahal, risiko kecelakaan di tempat kerja serta tuntutan pekerjaan sering kali menyebabkan kemampuan penglihatan menjadi buruk.
Trilaksana menyampaikan, risiko gangguan penglihatan di tempat kerja semakin besar karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang menuntut penggunaan teknologi sebagai penunjang performa kerja. Penggunaan teknologi yang terlalu lama dapat memicu terjadinya gangguan penglihatan.
Hal itu kian diperburuk dengan jam kerja yang berlebihan. Rata-rata penduduk Indonesia bekerja dengan jam berlebih. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 menunjukkan, rata-rata jam kerja di Indonesia mencapai 40,02 jam dalam seminggu. Itu lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 38 jam per minggu.
Direktur Utama Pusat Mata Nasional-RS Mata Cicendo, Bandung, Antonia Kartika menuturkan, gangguan penglihatan yang cukup banyak ditemukan pada pekerja saat ini adalah computer vision syndrome. Kondisi yang disebut juga sebagai digital eye strain ini dapat diartikan sebagai kumpulan gejala dari gangguan penglihatan akibat aktivitas yang berhubungan dengan pemakaian komputer, tablet, atau telepon.
Gejala
Adapun gejala yang ditimbulkan, antara lain, sakit atau kaku pada leher, sakit kepala, sakit bahu, sakit punggung, mata berair, mata kering, mata yang terasa mengganjal, mata buram, serta terjadi gangguan atau kesulitan untuk membaca dalam jarak dekat. Selain itu, gejala lain yang juga bisa ditimbulkan adalah proses perubahan fokus pada penglihatan yang melambat.
Antonia menjelaskan, gangguan pada otot leher, bahu, dan punggung biasanya disebabkan penempatan layar komputer yang tidak benar. Itu juga bisa disebabkan posisi duduk yang tidak baik serta sudut penglihatan terhadap layar komputer yang tidak sesuai.
Sementara kondisi mata kering, merah, dan seperti ada yang mengganjal bisa disebabkan berkurangnya frekuensi berkedip ketika menatap layar. Frekuensi berkedip yang berkurang berdampak pada berkurangnya produksi air mata yang dapat melembabkan mata.
”Kondisi computer vision syndrome atau digital eye strain ini dapat diperburuk oleh faktor lingkungan dan faktor komputer yang digunakan. Faktor lingkungan seperti pencahayaan yang buruk serta ketidakseimbangan pencahayaan antara komputer dan lingkungan. Sementara faktor komputer seperti resolusi yang buruk, kontras yang buruk, serta adanya glare (silau) dari layar,” tutur Antonia.
Menurut dia, modifikasi faktor lingkungan dan komputer bisa dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya computer vision syndrome. Hal tersebut dengan meletakkan layar komputer sekitar 15-20 derajat di bawah garis mata. Layar komputer juga sebaiknya ditambah dengan filter antisilau untuk mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan dari layar.
Upaya lainnya dapat dilakukan dengan menempatkan layar komputer yang terhindar dari pantulan silau lampu atau jendela. Gunakan pula kursi yang nyaman dengan ketinggian yang sesuai yang membuat telapak kaki bisa bertumpu dengan lantai.
Metode 20:20:20 dapat diterapkan untuk mencegah mata lelah. Metode tersebut dengan cara mengistirahatkan mata setiap 20 menit menatap layar komputer atau gawai, mengalihkan pandangan untuk melihat obyek sejauh 20 kaki atau sekitar 6 meter, serta mengistirahatkan mata selama 20 detik.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menyebutkan, pemerintah menargetkan penurunan gangguan penglihatan pada 2030 sekitar 25 persen. Penyakit prioritas terkait gangguan penglihatan tersebut meliputi katarak, kelainan refraksi, glaukoma retinopati diabetik, dan low vision.
”Sekitar 60 persen dari seluruh gangguan penglihatan sebenarnya dapat dicegah atau bisa diobati, bahkan mayoritas penyakit mata bisa diobati jika terdeteksi lebih awal. Hal ini perlu kita atasi bersama karena sekecil apa pun gangguan penglihatan dapat mengurangi produktivitas seseorang,” katanya.