Kedepankan Calon Presiden dengan Agenda Transisi Energi yang Berkeadilan
Dalam kontestasi Pemilihan Umum 2024, semua pihak, termasuk masyarakat sipil, perlu mengedepankan calon presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah dengan agenda transisi energi yang berkeadilan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan perubahan iklim. Oleh karena itu, dalam kontestasi Pemilihan Umum 2024, semua pihak termasuk masyarakat sipil perlu mengedepankan calon presiden, legislatif, dan kepala daerah dengan agenda transisi energi yang berkeadilan.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengemukakan, hasil survei yang dilakukan Celios dan Unitrend menunjukkan bahwa krisis iklim sudah sangat mendesak untuk ditangani, terutama di luar Jawa. Bahkan, 60 persen masyarakat menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan untuk mencegah krisis iklim.
”Pengambil kebijakan saat ini ataupun yang nanti akan maju tidak mampu menangkap suara dari para konstituen yang sebenarnya ingin ada representasi atau berbicara tentang krisis iklim. Sebab, ini sudah jadi masalah hidup dan mati,” ujarnya dalam webinar”Mengawasi Pemilu dan Solusi Palsu dalam Kebijakan Transisi Energi” yang digelar Yayasan Indonesia Cerah dan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Selasa (10/10/2023).
Menurut Bhima, salah satu hal yang perlu disoroti dalam Pemilu 2024 khususnya pemilihan presiden (capres) adalah terkait dengan agenda transisi energi. Namun, hasil pengumpulan berita secara daring bertema lingkungan menunjukkan sampai sekarang ketiga calon presiden masih parsial atau sedikit yang berbicara terkait transisi energi.
Bhima menilai terdapat kekhawatiran beberapa kandidat capres dan calon legislatif (caleg) mengusung agenda transisi energi secara salah demi popularitas semata. Hal ini ditunjukkan ketika capres maupun caleg hanya mendukung upaya pertambangan atau investasi smelter nikel. Padahal, selama ini banyak permasalahan terkait sektor hilirisasi.
Di sisi lain, dalam agenda Pemilu 2024 juga perlu mengawasi berbagai solusi palsu atau kurang tepat untuk mempercepat transisi energi. Solusi tersebut dinilai palsu apabila upaya transisi energi justru menggunakan teknologi untuk memperpanjang usia fosil dan prosesnya berdampak negatif secara sosial maupun lingkungan.
”Kita akan terjebak mendukung solusi palsu jika tidak kritis dan hati-hati terhadap beberapa program, misalnya konflik dengan masyarakat adat akibat pembangunan geotermal di NTT. Jadi, transisi energi juga harus berkeadilan dan jangan sampai menimbulkan permasalahan baru,” katanya.
Ia pun mendorong semua pihak, termasuk masyarakat sipil, mendesak semua partai politik dalam Pemilu 2024 beserta kandidatnya untuk transparan terhadap asal pendanaannya. Ini sekaligus untuk membuka kepada publik terkait asal-usul pendanaan kampanye pemilihan presiden, anggota legislatif, hingga kepala daerah.
”Ketika terpilih, sulit rasanya mereka akan berpihak kepada masyarakat apabila didanai dari bisnis kotor sektor ekstraktif. Sebaliknya, keberpihakan mereka justru kepada perusahaan-perusahaan atau konglomerat yang memberikan pembiayaan saat kampanye,” tuturnya.
Ia memandang, pemerintahan yang lahir dari dukungan pendanaan industri ekstraktif akan menghasilkan regulasi atau kebijakan yang mengarah kepada perpanjangan sektor energi kotor. Pada akhirnya, hal ini juga akan menghambat transisi energi yang berkeadilan.
Strategi pendanaan
Analis Kebijakan Energi International Institute of Sustainable Development (IISD) Anissa Suharsonomengatakan, agenda transisi energi tidak lepas dari strategi pendanaan, salah satunya Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP). Namun, dana JETP yang mencapai Rp 300 triliun ini masih jauh di bawah kebutuhan total transisi energi Indonesia.
”Tahun lalu Kementerian Keuangan sempat menyebutkan Indonesia butuh Rp 3.500 triliun untuk transisi energi. Jadi, masih sangat dari pendanaan JETP. Kesuksesan transisi energi, terutama yang sifatnya berkeadilan, juga bukan hanya urusan pendanaan, tetapi perlu reformasi di berbagai aspek kebijakan lintas sektoral,” ungkapnya.
Anissa menekankan pentingnya mengalihkan sebagian dukungan keuangan publik dari bahan bakar fosil ke energi ramah lingkungan. Sebab, hal ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi kesenjangan pendanaan proyek-proyek energi bersih.
”Aliran pendanaan publik ini contohnya subsidi, insentif, bantuan, investasi dari BUMN, dan pinjaman dari lembaga keuangan publik atau bank BUMN. Jadi, pemerintah seharusnya mulai mengalihkan sebagian besar subsidi dan insentif dari sektor energi fosil ke energi sektor energi yang lebih bersih,” ucapnya.
Secara terpisah, Wakil Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Paul Butarbutar mengatakan, salah satu fokus dari JETP adalah mengurangi kapasitas pembangkit listrik dari tenaga fosil untuk memberikan ruang yang besar ke energi terbarukan. Di sisi lain, penting juga meningkatkan investasi untuk sektor energi terbarukan yang dapat dikirim (dispatchable) dan variabel energi terbarukan.
”Transisi energi membutuhkan proses politik. Dalam dokumen investasi yang sedang disiapkan, kita juga menyoroti pentingnya just transition. Oleh karena itu, kita membangun semacam kerangka kerja yang bisa mengimbangi pembangunan, termasuk melihat ke aspek ekonomi dan lingkungan,” tambahnya.