20 Tahun Ditemukan, Manusia ”Hobbit” Masih Menyimpan Misteri
Penemuan ”Hobbit” atau ”Homo floresiensis” 20 tahun lalu memberikan arah ke masa depan, khususnya di bidang arkeologi.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·5 menit baca
Dua dekade lalu, dunia ilmu pengetahuan digemparkan oleh penemuan Homo floresiensis di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Perawakan individu Homo floresiensis ini kecil sehingga banyak orang menyebutnya ”Hobbit”, terinspirasi dari trilogi film The Lord of the Rings yang berbasis pada novel fantasi JRR Tolkien, The Hobbit (1937).
Pada 2 Oktober 2003, empat peneliti Pusat Arkeologi Nasional, yaitu E Wahyu Saptomo, Jatmiko, almarhum Rokus Duwe Awe, dan Thomas Sutikna, bersama almarhum Prof Mike Morwood dari University of New England mengekskavasi Liang Bua serta menemukan Homo floresiensis. Mereka menggali sebuah mulut goa dengan peralatan sederhana. Karena belum tersedia genset seperti sekarang, para peneliti menggali dengan hanya diterangi lampu senter dan petromaks yang setiap beberapa jam harus diisi ulang.
Pada lapisan holosen ditemukan banyak tinggalan berciri neolitik berupa 14 kubur manusia dengan bekal kubur periuk serta beliung persegi. Sementara di antara lapisan holosen dan plestosen terdapat abu vulkanik berumur 12.000 dan 17.600 tahun lalu.
Saat menggali lapisan holosen, tim peneliti hampir berhenti karena membentur batuan keras flowstone dan batu gamping besar bercampur runtuhan stalaktit. Namun, mereka terus menggali hingga menembus lapisan plestosen dan akhirnya pada kedalaman 5,9 meter ditemukan tulang beserta tengkorak manusia kerdil setinggi 106 sentimeter dengan volume otak 417 cc. Individu tersebut ternyata seorang perempuan berumur 25-30 tahun.
Agar kerangka itu tidak rusak, Thomas Sutikna berinisiatif mengambil tulang belulang bersama gumpalan tanah. Temuan itu lalu dibungkus kapas dan tisu, kemudian dimasukkan ke dalam koper.
Bongkahan tanah beserta tulang itu lalu diangkut menggunakan kapal laut ke Denpasar, kemudian naik bus ke Jakarta. Mereka membawanya dengan sangat hati-hati karena mereka yakin ini adalah temuan luar biasa.
”Kerangka ini ditemukan dalam kondisi hampir utuh pada kedalaman (hampir) 6 meter dalam kondisi sangat rapuh. Hampir enam bulan saya mengeraskan (tulang ini) untuk mengonservasi,” ungkap Thomas yang kini menjadi peneliti Pusat Riset Arkeometri, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (4/10/2023), dalam acara Peringatan 20 Tahun Penemuan Homo Floresiensis di Kawasan Sains RP Soedjono, Jakarta.
Pada saat Homo floresiensis ditemukan, sempat muncul silang pendapat di antara para arkeolog dalam negeri. Sebagian arkeolog menilai manusia Liang Bua adalah spesies baru, sementara arkeolog lain berpendapat bahwa individu ini berkepala kecil karena mengalami kelainan mikrokefali atau kepala kecil.
Karena polemik semakin memanas, antara tahun 2004 hingga 2006 di jajaran Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sempat muncul semacam larangan untuk membicarakan apa pun seputar Liang Bua.
Namun, di tengah kebekuan itu, berita penemuan manusia kerdil dari Flores telanjur bergulir ke medan diskusi arkeologi dunia. Kajian ilmiah tim peneliti itu memikat para pemerhati arkeologi. Meski sempat disangsikan, temuan mereka pun akhirnya diakui dunia.
Dia bukan manusia yang kena penyakit. Dia normal.
Thomas menjelaskan, volume otak Homo floresiensis memang hanya 417 cc, lebih kecil dibandingkan dengan Homo erectus yang volume otaknya sudah di atas 600 cc. Artinya, volume otak ”Hobbit” hanya sama dengan volume otak simpanse.
Meski demikian, hasil analisis struktur otak Homo floresiensis sudah advance atau memiliki intelegensi. ”Dia bukan manusia yang kena penyakit. Dia normal,” tegas Thomas.
Thomas juga memastikan bahwa Homo floresiensis bukanlah anak-anak. Ini terdeteksi dari struktur giginya yang sudah tumbuh sebagai gigi permanen. Diperkirakan usianya 25-30 tahun.
Terus mendalami
Setelah 20 tahun penemuan Homo floresiensis, para peneliti terus mencoba untuk mendalami dan mendetailkan hal-hal yang belum mereka lakukan. Yang terbaru, mereka akan mendeteksi asam deoksiribonukleat (DNA) purba ”Hobbit”.
”Untuk daerah tropis, penelitian ancient DNA sangat menantang bagi seluruh laboratorium di dunia. Kita berharap dalam waktu mendatang bisa mengekstrak ini,” kata Thomas.
Apabila para peneliti bisa mendeteksi DNA purba Homo floresiensis, maka tidak akan ada lagi perdebatan tentang di mana Homo floresiensis akan masuk dalam pohon evolusi karena sudah jelas. Kemudian, pekerjaan rumah berikutnya adalah mendetailkan tentang kondisi lingkungan dan iklim pada saat ”Hobbit” masih hidup.
Menurut Thomas, masa kehidupan sekitar 60.000 tahun lalu bagi manusia purba seperti Homo floresiensis cukup membuat kita bingung mengapa mereka bisa bertahan. Sementara di Sangiran, Jawa Tengah, manusia purba sudah tidak ada lagi sekitar 100.000 sampai 200.000 tahun lalu.
”Di Flores tengah ditemukan Homo floresiensis yang sama persis, tetapi usianya 700.000 tahun. Ada pula komodo yang sampai sekarang malah bisa hidup di Flores. Kita tahu, komodo berasal dari Australia sekitar 6 juta tahun lalu, tetapi mengapa di Flores bisa hidup sampai sekarang?” ucapnya.
Para peneliti juga masih terus menelusuri bagaimana Homo floresiensis bermigrasi, apakah dari barat ke timur atau dari utara ke selatan. Ini tantangan karena di pulau-pulau Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumbawa, Timor) belum pernah ditemukan individu semacam ini. Sementara itu, dari sisi utara ke selatan terdapat arus kuat. Apakah Homo floresiensis mengalir dari sana? Belum ada jawaban hingga sekarang.
Menurut Wahyu, Pusat Riset Arkeometri, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN perlu mengundang para paleontolog untuk membahas bersama dan mengungkap siapa sebenarnya ”Hobbit” ini.
Jatmiko mengungkapkan, perjalanan penelitian Homo floresiensis di Liang Bua sebelum tahun 2003 melalui proses yang sangat panjang mulai tahun 1965 sampai ditangani Pusat Arkeologi Nasional tahun 1978. Selanjutnya, penelitian sempat vakum selama belasan tahun dan tahun 1989 dimulai lagi.
”Saat itu, saya masih pegawai muda yang baru saja diangkat. Saya diajak Pak RP Soedjono ke sana untuk dites. Berikutnya, di Liang Bua baru ada penelitian lagi tahun 2001 bekerja sama dengan Prof Mike Morwood. Setelah itu, pada tahun 2001 Pak Thomas masuk, menyusul tahun 2003 Pak Wahyu gabung dan sampai sekarang kami terus meneliti hingga terakhir tahun 2019,” paparnya.
Proses penemuan dan penelitian Homo floresiensis disarikan dalam jurnal ilmiah Nature dan berbagai jurnal lain. Ternyata publik sangat menghargai sehingga kajian ilmiah itu banyak dikutip para ilmuwan dan pemerhati arkeologi di seluruh dunia.
Temuan itu membawa para penelitinya masuk dalam daftar peneliti yang paling banyak dikutip. Pada 6 Oktober 2014, Presiden Thomson Reuters Basil Moftah, yang berkantor di London, Inggris, menyampaikan pengumuman tersebut.
Menurut lembaga yang secara khusus menangani persoalan kekayaan intelektual dan ilmu pengetahuan ini, publikasi ilmiah lima ilmuwan penemu Homo floresiensis paling banyak dikutip dalam kurun 11 tahun terakhir, yaitu pada periode 2002-2012 dan 2012-2013. Hasil penelitian mereka juga dinilai memberikan arah ke masa depan, khususnya pada bidang arkeologi (Kompas, Selasa, 06 Jan 2015).