Penghargaan Akademi Jakarta 2023 untuk Moelyono dan Taring Padi
Perupa Moelyono dan komunitas seni Taring Padi dianugerahi penghargaan Akademi Jakarta 2023. Karya keduanya menyadarkan publik akan persoalan sosial.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perupa Moelyono dan komunitas seni Taring Padi dianugerahi penghargaan Akademi Jakarta 2023. Dalam berkesenian, keduanya dinilai berhasil menghapus jarak antara seni dan publik. Karya seni keduanya menyadarkan dan menggugah publik akan segala keresahan sosial. Dedikasi dan konsistensi keduanya tidak perlu diragukan lagi.
Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma menjelaskan, karya-karya Moelyono (66) selalu dilandasi sikap dan upaya untuk membantu kaum papa dalam menyuarakan penderitaannya. Ini disebutnya sebagai seni rupa penyadaran untuk menggugah publik bahwa pendidikan hari ini lebih banyak menyediakan peluang bagi kesuksesan individual, kemewahan, dan kehormatan daripada memihak orang kecil.
”Dalam semangat itulah Akademi Jakarta memberikan penghargaan tahun ini kepada Moelyono,” kata Seno di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Hasil karya yang dicapai Moelyono sejak 1987 sampai sekarang tidak banyak, secara kuantitatif memang kecil, tetapi kualitasnya bermakna besar. Ia berhasil membuktikan bahwa sekolah di luar sistem adalah perlu untuk menciptakan pendidikan yang terjangkau bagi semua. Seno berharap agar semangat Moelyono tidak hanya ada di bidang seni rupa.
”Terima kasih, Akademi Jakarta, atas penghargaan yang telah diberikan kepada saya,” kata Moelyono.
Sementara kelompok seni Taring Padi yang berdiri sejak 1998 dari gerakan reformasi mendapatkan penghargaan atas dedikasi dan konsistensinya melawan ketidakadilan. Sampai saat ini, anggotanya silih berganti, tetapi tetap secara teratur mengadakan pertemuan untuk membahas berbagai situasi sosial lalu menentukan posisi untuk memberikan suara mereka atas situasi yang dianggap perlu direspons ataupun dilawan.
Komunitas seni asal Yogyakarta ini menggunakan baliho, poster, spanduk, stiker, terutama dengan teknik cukil, ataupun mural sebagai media seni. Seni itu kemudian dibawa turun ke jalan sebagai protes menuntut keadilan ataupun agar karya seni bisa diakses publik secara luas atau tidak terbatas seperti di galeri atau museum.
Kami membaca penghargaan ini sebagai salah satu tanda kembalinya aktivisme seni ke dalam ekosistem seni budaya kita, di mana ekspresi daya kreatif adalah bagian dari kerja-kerja politik di lapangan.
Salah satu karya Taring Padi dalam format banner raksasa bertuliskan ”People’s Justice” memunculkan reaksi besar di luar negeri karena dianggap antisemit (memusuhi Yahudi) saat ditampilkan di pameran seni rupa Documenta Fifteen di Kassel, Jerman, pada 2022. Karya ini lantas diturunkan dari Documenta. Padahal, karya ini dibuat sebagai reaksi antimiliterisme dan kekerasan di Indonesia. Tidak ada hubungan dengan sejarah Jerman walau sama-sama traumatik (Nazi dan Orde Baru).
”Taring Padi telah menginspirasi kita supaya tidak lengah hari ini pada perilaku budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang ditentangnya sejak era Orba yang disuarakan sejak awal kehadirannya di medan sosial seni budaya Indonesia. Semoga Taring Padi terus konsisten, fokus, dan tambah kuat,” kata Tisna Sanjaya, anggota Akademi Jakarta.
Fitriani Dwi Kurniasih, seniman dari Taring Padi, menyebutkan, penghargaan Akademi Jakarta ini adalah pengakuan atas konsistensi kerja-kerja advokasi melalui seni yang mereka lakukan sejak 1998. Sampai saat ini mereka terus menyuarakan nasib rakyat korban tragedi Lapindo di Porong, Sidoarjo; petani dan nelayan Batang yang terampas lahannya oleh pembangunan pembangkit listrik; dan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo yang mempertahankan penghidupannya dari tambang pasir besi.
Lalu, nasib warga Kendeng yang terus melawan pabrik semen yang merusak gunung dan air mereka; warga Wadas yang melawan tambang batu andesit; sampai warga di Nguter, Sukoharjo, yang terdampak bau busuk pabrik tekstil.
”Kami membaca penghargaan ini sebagai salah satu tanda kembalinya aktivisme seni ke dalam ekosistem seni budaya kita, di mana ekspresi daya kreatif adalah bagian dari kerja-kerja politik di lapangan,” kata Fitriani.
Penghargaan Akademi Jakarta merupakan agenda yang diberikan tahunan kepada seniman, sastrawan, dan budayawan yang konsisten memperjuangkan visinya serta berkontribusi atas perkembangan seni dan kebudayaan. Awalnya, penghargaan ini bernama ”Hadiah Seni Akademi Jakarta” yang pernah diberikan kepada WS Rendra (1975) dan Zaini (1977). Penerima penghargaan sebelumnya, pada 2022, adalah maestro tari Didik Nini Thowok dan Komunitas Dialita.