Nobel Kimia 2023 untuk Penemuan dan Pengembangan Titik Kuantum
Titik kuantum menjadi dasar bagi teknologi pembuatan layar televisi yang berwarna-warni hingga memetakan jaringan biologis.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
STOCKHOLM, RABU — Hadiah Nobel Kimia 2023 diberikan untuk tiga ilmuwan atas temuan dan pengembangan titik kuantum. Mereka adalah Moungi G Bawendi (62), Louis E Brus (80), dan Alexei I Ekimov (78). Karya ilmiah mereka membuat manusia saat ini bisa menikmati terangnya layar televisi, monitor komputer, warna-warni lampu LED, hingga memetakan jaringan biologis yang memudahkan ahli bedah mengangkat tumor.
Pengumuman pemenang Hadiah Nobel Kimia 2023 itu disampaikan Sekretaris Tetap Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia (AIPKS) Hans Ellegren di Stockholm, Swedia, Rabu (4/10/2023), dan disiarkan secara daring melalui Youtube. Nama pemenang ini ditentukan oleh sebuah komite yang menyeleksi ribuan profesor dan cendekiawan dari seluruh dunia sejak setahun sebelumnya.
Bawendi adalah profesor kimia di Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Cambridge, Amerika Serikat. Sementara Brus adalah profesor kimia di Universitas Columbia, New York, AS, dan dosen pembimbing Bawendi saat menempuh pendidikan pascadoktoralnya. Sementara Ekimov adalah mantan kepala ilmuwan di perusahaan Nanocrystals Technology Inc di New York, AS, yang sebelumnya menempuh pendidikan dan bekerja di Uni Soviet/Rusia.
Ketiga pemenang Nobel Kimia itu berhak atas hadiah uang 11 juta krona Swedia atau sekitar Rp 15,6 miliar yang dibagi rata. Hadiah uang ini naik 10 persen dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 10 juta krona atau Rp 14,2 miliar. Mereka juga berhak atas medali emas sebesar 18 karat dan piagam penghargaan yang akan diberikan dalam upacara khusus pada Desember 2023.
Quantum dot (QD) atau disebut juga titik-titik kuantum atau nano kristal merupakan partikel tunggal berukuran nano dengan diameter 2-10 nanometer (nm). Satu nanometer itu sama dengan panjang 1 meter yang dibagi menjadi 1 miliar bagian sama panjang. Jika rambut manusia memiliki diameter 80.000-100.000 nm, ukuran titik kuantum itu setara satu helai rambut yang dibelah menjadi 10.000-50.000 bagian.
Dalam kimia, sifat sebuah elemen akan ditentukan oleh berapa banyak elektron yang dimiliki. Saat elemen tersebut dibuat berukuran nano dan struktur elemennya tidak berubah, gerak elektronnya menjadi lebih terbatas dan memunculkan fenomena kuantum. Kondisi itu memengaruhi kemampuan elektron dalam menyerap dan melepaskan cahaya tampak yang mengenai mereka hingga menghasilkan warna-warna yang sangat terang.
Titik kuantum memiliki potensi untuk diaplikasikan (dalam beberapa bidang) di dunia nyata.
Partikel nano itu akan memancarkan cahaya monokromatik murni saat terkena cahaya atau dialiri listrik. Titik kuantum berukuran kecil akan menghasilkan warna biru. Saat ukurannya bertambah besar sedikit, warnanya akan berubah menjadi hijau, kuning, oranye, hingga yang berukuran besar akan memiliki warna merah. Perubahan warna ini ditentukan oleh bagaimana elektron bergerak dalam ruang yang terbatas.
”Titik Kuantum memiliki banyak sifat yang menarik dan tidak biasa. Warna yang dimunculkan akan tergantung pada ukuran partikelnya,” tambah Ketua Komite Nobel Kimia 2023, anggota AIPKS, dan profesor kimia teoretis di Universitas Uppsala, Swedia, Johan Åqvist.
Meski ilmuwan telah memprediksi perubahan warna titik kuantum tersebut sejak 1930-an, teknologi saat itu masih belum memungkinkan untuk membuat partikel berukuran nano secara terkontrol di laboratorium. Karena itu, hanya sedikit ilmuwan yang percaya bahwa pengetahuan itu akan bisa dimanfaatkan dalam kehidupan.
Baru pada awal 1980-an, seperti dikutip dari AP, Ekimov berhasil menciptakan efek kuantum yang bergantung pada ukuran partikel dari penggunaan senyawa tembaga klorida berukuran nano pada kaca berwarna. Studi ini yang memberikan bukti awal bahwa ukuran partikel akan memengaruhi warna kaca melalui efek kuantum.
Beberapa tahun kemudian, Brus juga membuktikan efek kuantum yang bergantung pada ukuran partikel itu pada senyawa yang mengambang bebas dalam fluida. Baru pada 1993, Bawendi merevolusi proses produksi titik kuantum hingga menghasilkan partikel yang nyaris sempurna. Kualitas tinggi titik kuantum itu diperlukan agar teknologi ini bisa diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
”Komunitas (peneliti dan industri) baru menyadari manfaatnya (titik kuantum) pada pertengahan 1990-an. Titik kuantum memiliki potensi untuk diaplikasikan (dalam beberapa bidang) di dunia nyata,” kata Bawendi yang dihubungi AIPKS sesaat setelah nama-nama pemenang Nobel diumumkan.
Kini, titik kuantum menerangi layar televisi dan monitor komputer dengan teknologi QLED atau quantum dots light-emitting-diode. Pada layar berteknologi QLED ini, cahaya birunya dihasilkan dari penggunaan dioda hemat energi yang telah diganjar Hadiah Nobel Fisika 2014.
Titik kuantum juga menambah nuansa cahaya lampu LED hingga kita bisa memperoleh warna lampu dengan perbedaan warna yang kecil. Dengan titik kuantum, ilmuwan dan perekayasa bisa mengubah sebagian cahaya biru menjadi merah atau hijau. Tiga warna itu, yaitu biru, merah, dan hijau, merupakan warna cahaya utama atau dasar yang diperlukan layar televisi untuk menghasilkan citra warna-warni, mirip warna aslinya.
Ketiga warna dasar itu juga membuat lampu LED bisa diatur kecerlangan cahayanya, mau cahaya yang terang dan membangkitkan semangat seperti cahaya putih Matahari atau justru cahaya yang lebih redup yang hangat dan menenangkan.
Dalam bidang biokimia dan kedokteran, dengan menempelkan titik kuantum pada biomolekul tubuh manusia, akan diperoleh peta sel dan organ. Dokter pun mulai meneliti potensi penggunaan titik kuantum untuk melacak jaringan tumor di dalam tubuh. Sementara ahli kimia menggunakan sifat katalisis titik kuantum untuk mendorong terjadinya reaksi kimia.
Di masa depan, ilmuwan percaya pemanfaatan titik kuantum akan makin meluas dan memberi keuntungan yang lebih besar bagi umat manusia. Penggunaan teknologi titik kuantum pada bidang elektronik akan makin banyak, seperti untuk sensor berukuran sangat kecil, panel surya yang lebih ramping, hingga memungkinkan komunikasi kuantum yang terenkripsi.
Satu hal yang pasti, seperti disampaikan tim AIPKS, masih banyak yang harus dipelajari dari fenomena kuantum yang menakjubkan ini. Bagaimanapun, dunia nano masih memiliki banyak potensi untuk dikembangkan dan diprediksi akan menjadi salah satu teknologi penting bagi manusia dalam beberapa dekade ke depan.