Cemaran mikroplastik ditemukan di awan yang menandakan polusi plastik sudah sangat mengancam berbagai penjuru bumi.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peneliti di Jepang menemukan adanya mikroplastik di awan. Hal ini berkonsekuensi bahwa hujan yang turun juga membawa cemaran partikel ini. Keberadaan mikroplastik di awan ini juga dinilai berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Environmental Chemistry Letters edisi Agustus 2023, para ilmuwan mendaki Gunung Fuji dan Gunung Oyama untuk mengumpulkan air dari kabut yang menyelimuti puncaknya. Mereka kemudian menerapkan teknik pencitraan canggih pada sampel untuk menentukan sifat fisik dan kimianya.
Tim tersebut berhasil mengidentifikasi sembilan jenis polimer dan satu jenis karet dalam mikroplastik di udara di puncak gunung berketinggian 3.776 meter dari permukaan laut ini dengan ukuran 7,1-94,6 mikrometer. Jika dihitung, setiap liter air awan mengandung 6,7-13,9 potong plastik.
Jika isu polusi udara plastik tidak ditangani secara proaktif, perubahan iklim dan risiko ekologis dapat menjadi kenyataan.
Banyaknya polimer ”hidrofilik” atau yang bersenyawa dengan air menunjukkan bahwa partikel tersebut memainkan peran penting dalam pembentukan awan yang cepat dan juga sistem iklim. ”Jika isu polusi udara plastik tidak ditangani secara proaktif, perubahan iklim dan risiko ekologis dapat menjadi kenyataan, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius dan tidak dapat diubah di masa depan,” penulis utama Hiroshi Okochi dari Universitas Waseda, dalam sebuah pernyataan pekan lalu.
Menurut Okochi, ketika mikroplastik mencapai lapisan atas atmosfer dan terkena radiasi ultraviolet dari sinar matahari, partikel tersebut akan terurai dan berkontribusi terhadap gas rumah kaca.
Dampak mikroplastik pada iklim
Temuan terbaru ini menguatkan serangkaian kajian sebelumnya yang menunjukkan bahwa mikroplastik telah ditemukan di tempat-tempat paling terpencil di darat dan laut serta dalam makanan kita, di udara, dan di dalam tubuh kita. Mikroplastik adalah pecahan atau serat kecil, berukuran kurang dari 5 milimeter yang terlepas selama penguraian potongan plastik yang lebih besar. Mereka cukup ringan untuk diangkut oleh angin dalam jarak yang jauh.
Sebelumnya para peneliti telah mengkonfirmasi adanya mikroplastik di daerah tangkapan air di pegunungan terpencil, di salju Arktik, dan di kawasan konservasi. Laura E Revell dari University of Canterbury, Selandia Baru, dan tim telah melaporkan di jurnal Nature tahun 2021 mengenai siklus mikroplastik.
Revell dan tim menemukan bahwa secara keseluruhan, mikroplastik di udara efisien dalam menyebarkan sinar matahari, yang berarti memberikan efek pendinginan pada iklim. Namun, mereka juga dapat menyerap radiasi yang dipancarkan bumi, yang berarti mereka berkontribusi, meski dalam jumlah yang sangat kecil, terhadap efek rumah kaca.
Saat ini sejumlah peneliti masih melakukan kajian lebih lanjut mengenai apakah mikroplastik dapat mengubah kimia atmosfer dengan menyediakan permukaan tempat terjadinya reaksi kimia dan bagaimana mereka berinteraksi dengan awan. Besarnya pengaruh mikroplastik terhadap iklim bervariasi dalam simulasi model iklim Revell dan tim bergantung pada asumsi yang dibuat tentang bagaimana pecahan plastik didistribusikan ke seluruh atmosfer bumi.
Studi Revell menunjukkan pengaruh mikroplastik terhadap iklim global saat ini relatif kecil, dan efek pendinginan mendominasi. Namun, mereka memperkirakan jumlah tersebut akan meningkat di masa depan hingga mikroplastik di udara memberikan pengaruh iklim yang sebanding dengan jenis aerosol lainnya.
Diperkirakan 5 miliar ton sampah plastik telah terakumulasi di tempat pembuangan sampah atau lingkungan hingga saat ini. Angka ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam tiga dekade mendatang. Tanpa upaya serius untuk mengatasi polusi mikroplastik, pengelolaan sampah plastik yang salah akan terus meningkatkan jumlah mikroplastik di udara, dan pengaruhnya terhadap iklim di masa depan.