Indeks TII menunjukkan skor Indonesia 84 poin. Ini berarti Pemerintah Indonesia dinilai semakin dekat dengan industri tembakau daripada upayanya menekan prevalensi perokok.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks gangguan industri tembakau pada 2023 meningkat dibandingkan dengan dua tahun lalu menjadi 84 poin. Hal ini menunjukkan intervensi industri tembakau dalam kebijakan pemerintah terkait pengendalian tembakau di Indonesia menguat. Sementara kepentingan kesehatan publik dinilai dikesampingkan.
Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index) 2023 ini disurvei Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI). Angka ini kembali menempatkan Indonesia sebagai negara ranking satu dari sembilan negara lain di Asia Tenggara pada TII Index dalam lima tahun terakhir.
Sebelumnya pada tahun 2015 angka TII Index Indonesia berada pada 84 poin, lalu turun menjadi 81 poin pada 2016, 79 poin pada 2017, naik kembali pada 2019 menjadi 82 poin, dan 83 poin pada 2020.
Ini menunjukkan interaksi antara pejabat pemerintah dan industri tembakau semakin erat yang bisa menimbulkan konflik kepentingan karena tidak transparan. Dengan begitu, upaya untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia akan sulit tercapai.
”Pada tahun 2023 kami menemukan 11 kementerian teridentifikasi amat permisif dan ramah pada industri rokok. Misalnya, menerima sumbangan dari industri rokok dalam bentuk bantuan sosial, terutama saat pandemi Covid-19,” kata Ketua RUKKI Mouhamad Bigwanto di Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Contoh lain bahwa sejumlah kementerian permisif terhadap industri rokok adalah memberikan insentif ke industri atau mendukung kebijakan yang menguntungkan industri. ”Ini sangat disayangkan,” ujarnya.
Bigwanto mencontohkan, pada September 2022, beberapa menteri Kabinet Indonesia Maju, termasuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menjadi pembicara dan memberikan pidato dalam acara bertajuk ”Millennial & Gen Z Summit” di Jakarta. Padahal, acara ini disponsori oleh industri rokok.
Tindakan Budi Gunadi bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan dengan Industri Tembakau di Lingkungan Kementerian Kesehatan.
Dalam aturan itu, semua pejabat dan pegawai Kemenkes dilarang terlibat dalam kegiatan yang disponsori atau terkait industri tembakau.
Pemerintah harus transparan, kalaupun harus ketemu, catat dan sampaikan kepada publik. Kita harus memastikan kebijakannya tidak terpengaruh pertemuan itu dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bukan industri.
Contoh lain, ada mantan pejabat pemerintah yang setelah pensiun bergabung dengan industri tembakau, antara lain Benny Wahyudi, mantan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian yang kini menjadi Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Ada pula Willem Petrus Riwu, mantan Direktur Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian yang kini menjadi Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI).
Perkuat regulasi
Tidak adanya aturan tegas untuk membatasi antara kepentingan industri tembakau dan pemerintah ini memunculkan peluang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Salah satunya terungkap pada kasus eks Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juli 2023 karena menerima setoran terkait dugaan penyelundupan rokok ilegal atau tanpa cukai.
”Pemerintah mesti membatasi akses industri tembakau kepada pengambil kebijakan. Pemerintah harus transparan, kalaupun harus bertemu, catat dan sampaikan ke publik. Kita harus memastikan kebijakannya tak terpengaruh pertemuan itu dan mengutamakan kepentingan rakyat, bukan industri,” tutur Bigwanto.
Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menambahkan, campur tangan industri tembakau juga terlihat dalam penyusunan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau Tahun 2023-2027.
”Rancangan Perpres tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau bertentangan dengan regulasi yang ada dan mencerminkan adanya konflik dua kepentingan (ekonomi dan kesehatan) yang tidak mungkin dipertemukan,” kata Lisda.
Dia menyebutkan, peningkatan prevalensi perokok anak membuktikan lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia. Sebab, intervensi industri tembakau dalam proses penyusunan kebijakan pengendalian tembakau selalu melemahkan regulasi tersebut.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak.
Tanpa upaya sistematis dan masif, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan prevalensi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030 atau setara dengan enam juta anak.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mendorong pemerintah membuat regulasi yang tegas dalam mengatur interaksi dengan industri tembakau. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat, khususnya anak, dari dampak rokok dan target pemasaran industri rokok.
Jika tidak ada campur tangan industri rokok dalam pembuatan kebijakan, target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 bisa tercapai. ”Regulasi membentengi anak dari faktor yang memengaruhinya jadi perokok pemula. Salah satunya dari paparan iklan rokok yang masif,” ucapnya.
TII Index pertama kali dikembangkan oleh Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA). Survei ini untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat campur tangan industri tembakau dalam kebijakan pengendalian tembakau di suatu negara dan melihat respons pemerintah terhadap campur tangan itu.
Sejak tahun 2015, sembilan negara telah memantau dan membuat formula penghitungan seragam dalam mengukur TII Index di negara masing-masing. Penghitungan itu kini sudah dilakukan di 90 negara di dunia.
Skor pada TII Index Indonesia 2023 dihitung berdasarkan data yang diambil selama dua tahun terakhir, yakni pada periode April 2021 hingga Maret 2023.
Saat dihubungi, hingga Jumat (29/9/2023) malam, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi belum merespons dan memberikan tanggapan terkait dengan kenaikan indeks gangguan industri tembakau Indonesia.