Menavigasi Arah Kebijakan Redaksi di Era Kecerdasan Buatan
Perusahaan media perlu menavigasi dengan hati-hati kebijakan redaksinya jika ingin menerapkan kecerdasan buatan dalam proses jurnalistik.

Seorang pengunjung Mobile World Congress (MWC) memperhatikan tanda AI (artificial intelligence/ kecerdasan buatan) di layar animasi pada sebuah pameran teknologi informasi tahunan di Barcelona.
Jurnalisme menghadapi fase kritis, sekali lagi. Setelah menghadapi dua gelombang perkembangan teknologi yang mendisrupsi, kini perusahaan media dihadapkan pada kecerdasan buatan yang menghadirkan peluang sekaligus ancaman.
Pada gelombang pertama, media menghadapi digitalisasi. Media cetak yang didistribusikan melalui jaringan agen, mau tidak mau, juga harus hadir secara daring melayani audiensnya. Jaringan distribusi dan sirkulasi media pun jelas terdampak.
Sementara pada gelombang perkembangan teknologi kedua, media dihadapkan pada platform media sosial dan dampaknya pada penciptaan konten, konsumsi berita, dan persaingan. Platform-platform media sosial itu berkembang menjadi sumber pencarian informasi bagi publik, terutama generasi muda. Media massa bukan lagi sumber informasi utama bagi mereka.
Bagi media massa dan jurnalisnya di seluruh dunia yang sedang tertekan secara sosial, ekonomi, dan politik, kehadiran teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) atau generative AI (genAI) kian menambah tekanan tersebut.
Baca juga : Jurnalisme dalam Bayang-bayang Kecerdasan Buatan
Dirilisnya ChatGPT dari OpenAI pada November 2022 mendapat respons yang luar biasa. Dalam lima hari setelah dirilis, satu juta orang memakai aplikasi ChatGPT. Setelah 100 hari, sudah 100 juta orang menggunakan ChatGPT.
Perusahaan media dan jurnalis di dunia merespons fenomena tersebut secara beragam. Ada yang melihatnya sebagai peluang, tapi tidak sedikit yang skeptis bahkan merasa terancam. Dua survei terhadap media terkait AI yang dirilis pada 2023 menggambarkan betapa banyak media yang belum menavigasi arah jurnalismenya dengan jelas di tengah kemunculan AI.
Survei pertama dilakukan oleh Polis, lembaga think-tank jurnalisme internasional London School of Economic and Political Science, Inggris, terhadap 105 media di 46 negara di dunia atas dukungan Google News Initiative. Survei kedua dilakukan World Association of News Publishers (WAN-IFRA) bersama SHICKLER Consulting yang berbasis di Jerman terhadap 101 editor dan jurnalis di sejumlah negara.

Hasil survei Polis menunjukkan, antara lain, lebih dari 75 persen responden menggunakan AI pada minimal salah satu rantai proses peliputan, produksi, dan publikasi. Mayoritas responden yang memakai AI berpendapat bahwa teknologi tersebut meningkatkan efisiensi dan produktivitas sehingga memungkinkan jurnalis melakukan pekerjaan kreatif yang lain.
Survei WAN-IFRA juga menampilkan gambaran serupa. Sebanyak 49 persen responden telah menggunakan teknologi AI. Bahkan, 70 persen responden berharap teknologi AI dapat membantu redaksi dan jurnalis.
Baca juga : Kecerdasan Buatan, Ancaman bagi Jurnalisme?
Saat menerima peserta Asia Journalism Fellowship (AJF) 2023 pertengahan Agustus 2023, Willy Tan dari tim News AI Mediacorp, Singapura, menyampaikan, aplikasi teknologi AI di ruang redaksi Mediacorp telah memungkinkan tiga hal terjadi, yakni mengurangi frekuensi pekerjaan berulang, meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja, dan mengembangkan kemampuan baru.
Willy menyebut, terdapat enam pilar newsroom yang diperkaya AI di Mediacorp yang disebutnya sebagai 3T dan 3V. T yang pertama adalah translation (penerjemahan). Dalam praktiknya, penerjemahan produk jurnalistik dari bahasa Inggris ke bahasa China sudah dilakukan. Ke depan, penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu dan Tamil juga akan dilakukan mengingat audiens Mediacorp yang berbahasa Melayu dan Tamil juga besar.

Foto layar bertanggal 23 Januari 2023 di Toulouse, Perancis, ini menampilkan logo ChatGPT dari OpenAI.
T kedua adalah transcription (penulisan). Contohnya, penulisan pidato bahasa Inggris ke teks dan penulisan langsung liputan sidang-sidang di parlemen Singapura. AI akan mengenali wajah anggota parlemen yang berbicara dan mulai menuliskan pernyataan anggota parlemen tersebut. Ke depan akan dikembangkan transkripsi multibahasa sekaligus. Kemudian T ketiga ialah text. Dalam hal ini, AI berperan seperti asisten penulisan. Misalnya, menyarikan sebuah tulisan atau dokumen.
AI Smart Cut
Sementara pilar 3V meliputi video, voice, dan verification. Pada aspek video, berkolaborasi dengan berbagai mitranya, Mediacorp telah mengembangkan sendiri AI Smart Cut.
Secara sederhana, teknologi tersebut menggunakan pengenalan suara dan pemrosesan bahasa untuk mengidentifikasi video berita dan wawancara untuk menghasilkan klip. Suara penyiar dan perubahan gambar/video dalam siaran Asia Tonight dan Singapore Tonight di Channel News Asia (CNA) TV akan diproses oleh AI Smart Cut menjadi klip video berita dan mengirimnya ke aplikasi laman CNA maupun Youtube CNA.
Meski beberapa aktivitas di ruang redaksi telah dilakukan AI, aspek manusia tetap ada terutama untuk memastikan kualitas produk jurnalistik dan aspek etiknya sebelum dipublikasi.
Proses pengeditan klip video secara manual yang memakan waktu pun menjadi lebih singkat sehingga siaran terjadwal ketat bisa dilakukan lebih cepat. Willy menyebut, proses ini telah menghemat 1.200 jam kerja dalam setahun. Menurut dia, jam kerja yang bisa dihemat itu memungkinkan editor untuk mengerjakan hal lain secara lebih berkualitas.
Selain itu, mereka juga menggunakan dua AI bot untuk memangkas 11 langkah manual visualisasi data pada siaran prakiraan cuaca setiap pagi, siang, dan sore. Proses ini diperkirakan menghemat 1.000 jam kerja setahun.
Willy menegaskan, meski beberapa aktivitas di ruang redaksi telah dilakukan AI, aspek manusia tetap ada terutama untuk memastikan kualitas produk jurnalistik dan aspek etiknya sebelum dipublikasi. Selain itu, secara etik, lembaga redaksi juga akan menyertakan pernyataan bahwa produk jurnalistik yang dipublikasi dibantu oleh AI.

Yusuf Mehdi, Corporate Vice President Search dari Microsoft, berbicara di hadapan media soal integrasi mesin pencari Bing dan Edge dengan OpenAI, Selasa 7 Februari 2023, di Redmond.
Sementara pada aspek voice, mereka telah menyelesaikan proyek human-sounding English voice untuk siaran berita kilas setiap jam di radio. Adapun pada aspek verifikasi, Mediacorp telah mengembangkan deteksi video deep fake (reality defender) dan cek fakta untuk mengetahui apakah sebuah kampanye di media sosial didorong oleh akun otentik atau bot (Cybra). Ke depan mereka mengembangkan basis data deep fake lokal.
Walau sejumlah media telah memakai bahkan mengembangkan AI di ruang redaksi, survei Polis memperlihatkan hanya sepertiga responden yang mengatakan bahwa redaksi mereka memiliki strategi AI atau sedang mengembangkan strategi terkait AI.
Bahkan, survei WAN-IFRA menunjukkan, hanya 20 persen responden menyatakan ruang redaksi mereka memiliki panduan terkait AI. Sementara tiga persen responden mengatakan bahwa redaksi melarang penggunaan AI di ruang redaksi.
Baca juga : Meregulasi Kecerdasan Buatan
Faktor teknis dan finansial menjadi hambatan utama redaksi mengadopsi AI dalam kerja jurnalistik. Media kecil yang kebanyakan berada di negara-negara berkembang menghadapi hambatan yang lebih banyak dibanding media besar di negara maju.
Di samping itu, kekhawatiran soal etik menjadi pusat polemik AI di banyak industri termasuk media yang bekerja bagi kepentingan publik. Pertanyaannya adalah bagaimana mengintegrasikan teknologi AI ke dalam jurnalisme dengan tetap memegang teguh nilai-nilai jurnalisme, seperti akurasi, keadilan, akuntabilitas, dan transparansi.

Menggunakan AI
Terlepas semua kekhawatiran itu, antusiasme media mengadopsi AI ke ruang redaksi tinggi terutama untuk cek fakta dan analisis disinformasi; personalisasi konten dan otomatisasi, meringkas dan menyarikan tulisan, serta memakai chatbot untuk mengukur sentimen publik terhadap suatu masalah.
Direktur Polis Prof Charlie Beckett menyodorkan enam langkah bagaimana sebaiknya media beradaptasi dengan AI. Pertama, ikuti perkembangan AI. Kedua, tingkatkan literasi AI. Setiap orang di redaksi perlu memahami komponen-komponen AI yang berdampak pada jurnalisme karena itu akan berdampak pada pekerjaan.
Ketiga, bentuk tim khusus untuk memonitor perkembangan AI. Tim ini sebaiknya juga memimpin inovasi AI dan menjaga percakapan soal AI di ruang redaksi tetap berjalan.
Baca juga : Selektif Menggunakan AI dalam Jurnalistik
Keempat, tes dan ulangi prosesnya. Uji coba AI dan naikkan skalanya, tapi selalu dengan pengawasan manusia dan manajemen. Jangan terburu-buru memakai AI jika belum yakin dengan prosesnya. Selalu kaji dampaknya.
Keempat, buat panduan penggunaan AI, bisa umum atau spesifik. Kaji ulang dan ubah panduan secara berkala. Kemudian, kelima, kolaborasi dan berjejaring. Ada banyak lembaga, seperti perguruan tinggi, perusahaan rintisan, atau lembaga riset, yang bekerja di bidang ini. Berbagi dengan sesama media juga bermanfaat.
Jika ruang redaksi kita ingin menerapkan AI, Willy menyarankan, ”Mulailah dari apa yang kita lakukan dengan lebih baik.”