Tradisi sebenarnya tidak bersifat statis. Perjumpaan dengan lapisan-lapisan peradaban melahirkan kebudayaan hibrida.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Sekolah Pedalangan Wayang Sasak bersama WaftLab menampilkan pertunjukan wayang bertajuk Pertale Gumi atau Dunia dalam Lipatan dalam rangkaian Festival Komunitas Seni Media 2023: Tanah Dialektika di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat di Mataram, Senin (5/9/2023) malam. Pertunjukan itu mengolaborasikan wayang tradisi dan wayang modern menggunakan kecerdasan buatan menjadi tontotan yang menarik dan diapresiasi penonton.
JAKARTA, KOMPAS — Seni tradisi dalam bentuknya yang konvensional saat ini sulit untuk bertahan. Dalam kondisi seperti sekarang, langkah pembaruan tidak terelakkan agar seni tradisi bisa beradaptasi dengan perubahan zaman.
Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid berpendapat, pembaruan bisa dilakukan antara lain dengan pengekspresian seni tradisi secara lebih modern, misalnya dengan penggunaan video atau internet untuk seni pertunjukan, seni gerak, dan seni visual.
Dia yakin, dengan cara ini sebagian seni tradisi akan mampu beradaptasi dan selalu terbarukan. ”Meski tidak jarang pembaruan seperti ini melahirkan kegelisahan untuk memahami batas antara seni modern dan seni tradisi,” ujar Hilmar, Rabu (20/9/2023), di Jakarta.
Pembaruan seni tradisi sejauh ini telah dilakukan oleh sejumlah seniman. Pada Festival Komunitas Seni Media 2023: Tanah Dialektika yang berlangsung di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat, Kamis (7/9/2023), praktik pembaruan antara lain terlihat dalam pertunjukan Umar Maye, salah satu tokoh dalam wayang Sasak. Sutradara sekaligus penulis naskah Pertale Gumi Fitri Rachmawati atau Fikong tidak hanya menampilkan Umar Maye dalam bentuk wayang kulit seperti pada umumnya, tetapi dalam berbagai dimensi, laiknya film-film dengan latar belakang multisemesta atau multiverse.
Dalam cerita pun ditampilkan Umar Maye masa depan dalam bentuk robot berikut kecerdasan buatannya. Hal itu membuat pertunjukan yang berlangsung satu setengah jam itu tidak membosankan. Penonton merasakan pengalaman baru. Mereka berhasil dibuat tertawa, bersorak, bernyanyi, dan bertepuk tangan.
”Kami mendiskusikan bagaimana caranya membuat pertunjukan yang bisa disukai. Kami mencoba mempertemukan wayang tradisi dengan wayang modern sehingga penonton bisa merasakan pengalaman menonton yang menyenangkan,” kata Fikong.
Selain menarik bagi penonton, pendekatan baru itu bisa menjadi jembatan yang menghubungkan penonton dengan tradisi wayang.
Penampilan Chandra Irawan dari Nusa Tenggara Barat di hari ketiga Indonesian Music Expo (Imex) 2023 di Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali, Sabtu (23/09/2023) malam.
Praktik pembaruan juga ditemukan dalam Indonesian Music Expo (Imex) 2023 yang berlangsung di Ubud, Bali, pada 21-24 September 2023. Pada pembukaan Imex, Kamis (21/9/2023), tampil gamelan selonding yang mengusung musik purba masyarakat Aga, penduduk asli Bali. Namun, pertunjukan disuguhkan dengan visual yang memanjakan mata. Ada latar belakang keindangan candi kurung, empat patung gupolo, dan pepohonan kamboja. Dari sisi musik, sang komposer, I Wayan Sudiarsa, juga membuat beberapa perubahan tanpa mencerabut gamelan selonding dari akarnya.
”Gamelan atau gong suling bali, di antaranya, semula tak dilirik. Saya cari benang merah dengan gambuh yang sulingnya lebih besar. Wah, sambutannya luar biasa,” ujarnya.
Pembaruan bisa dilakukan antara lain dengan pengekspresian seni tradisi secara lebih modern.
I Wayan Sudiarsa yang biasa disapa Pacet menambahkan, generasi muda sempat tak tertarik menekuni gamelan selonding karena dipandang kaku, repetitif, dan ketinggalan zaman. ”Saya tawarkan paradigma berbeda yang justru menarik mereka,” ujarnya.
Hilmar Farid menilai, tradisi sebenarnya tidak bersifat statis. Dalam tradisi di Indonesia, misalnya, ada lapisan-lapisan peradaban dunia yang datang silih berganti mewarnai peradaban kita seperti lapis kebudayaan India, China, Arab, dan Eropa. Perjumpaan dengan lapisan-lapisan peradaban itu melahirkan kebudayaan hibrida.
Begitu pula serbuan modernitas memungkinkan terjadinya pembaruan-pembaruan yang kelak di kemudian hari bisa saja menjadi seni yang dikatakan sebagai seni tradisi. (NAW/ZAK/BSW/BAY)