Starlink Bukanlah ”Starling”
Indonesia berpotensi kehilangan kedaulatan sibernya jika satelit Starlink diberi kesempatan melayani langsung masyarakat Indonesia.

Satelit Starlink yang akan menjadi satelit penyedia internet di seluruh penjuru bumi. Starlink adalah perusahaan satelit milik SpaceX yang berambisi untuk membentuk megakonstelasi satelit yang terdiri atas 42.000 satelit Starlink. Saat ini, sudah ada 1.800-an satelit Starlink yang mengorbit di ketinggian 550 kilometer dari bumi.
Pemerintah telah memberikan hak labuh Satelit Starlink ke Telkomsat pada Juni 2022. Sejak saat itu, Starlink sudah melayani sejumlah konsumen via Telkomsat, termasuk mereka yang tinggal di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal atau 3T. Namun, Starlink tetap ingin bisa menjual langsung layanannya ke konsumen hingga menimbukan pro-kontra di masyarakat.
Perdebatan tentang Starlink kembali mengemuka setelah pertemuan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dengan bos SpaceX, induk perusahaan Starlink, Elon Musk, di Amerika Serikat awal Agustus 2023. Budi menjajaki kerja sama dengan Starlink untuk melayani internet di puskesmas yang ada di daerah 3T.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dari 10.000-an puskesmas dan lebih 24.000 puskemas pembantu di Indonesia, ada 2.200 puskesmas dan 11.100 puskesmas pembantu tidak memiliki internet. Padahal, internet dibutuhkan untuk pemerataan akses, peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat, hingga peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.
Kunjungan Menkes itu, seperti dikutip dari VOA Indonesia, 8 Agustus 2023, dilakukan sehari setelah pertemuan Elon Musk dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pertemuan ini salah satunya juga membahas soal pemanfaatan Starlink di Indonesia timur untuk peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan yang diklaim lebih berbiaya murah.
Baca juga: Menkes Ajak Elon Musk Sediakan Akses Internet Puskesmas 3T
Kesenjangan digital, tidak meratanya layanan internet, hingga terbatasnya infrastruktur telekomunikasi dan informatika di banyak daerah membuat kehadiran Starlink bagai hujan di musim kemarau. Keberadaan Starlink dengan berbagai klaim-klaim keunggulan teknologinya dinilai bisa mengatasi kesenjangan itu dengan cepat.
Sejak diluncurkan Mei 2019 hingga Juli 2023, seperti dikutip dari Space, 2 Agustus 2023, sudah ada 4.519 satelit Starlink di orbit dengan 4.487 satelit di antaranya sudah beroperasi. Sementara Starlink berencana untuk memiliki 42.000 satelit untuk membentuk megakonstelasi hingga bisa melayani internet kecepatan tinggi di seluruh muka bumi.

Satelit peluncur Falcon 9 yang membawa 49 satelit Starlink meluncur dari Bandar Antariksa Kennedy di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Kamis (3/2/2022).
Starlink adalah satelit yang diletakkan di orbit rendah bumi ini (LEO) pada ketinggian sekitar 550 kilometer. Berat sebuah satelit Starlink untuk generasi saat ini, yaitu V2, mencapai 800 kg atau tiga kali lipat lebih berat dibandingkan versi sebelumnya. Dalam sekali peluncuran, SpaceX bisa meluncurkan hingga 60 satelit.
Konsep satelit Starlink itu mengubah struktur industri satelit telekomunikasi di banyak negara, termasuk Indonesia, yang selama ini bertumpu pada satelit komunikasi di orbit geostasioner (GEO). Satelit komunikasi GEO umumnya memiliki bobot 3.500-5.500 kg yang diletakkan di sepanjang garis khatulistiwa pada ketinggian 36.000 km.
Dibandingkan satelit GEO, satelit LEO memiliki keunggulan pada latensi atau waktu pengiriman data yang lebih rendah. Artinya, jeda antara waktu pengiriman dan diterimanya data menjadi lebih cepat.
Starlink bukanlah ’starling’ alias pedagang kopi keliling yang bisa menjajakan dagangannya langsung ke konsumen.
Karena itu, satelit LEO cocok untuk akses data yang membutuhkan kecepatan tinggi, seperti transaksi keuangan di pasar modal, sektor finansial, atau penggunaan kendaraan otonom. Sementara jika hanya untuk keperluan berselancar di dunia maya, apalagi bermain media sosial, persoalan latensi tidak menjadi masalah.
Meski biaya produksi dan peluncuran satelit LEO per unit lebih kecil dari satelit GEO, tetapi karena dibutuhkan banyak satelit LEO untuk membentuk konstelasi, investasi satelit LEO menjadi tidak murah. Karena itu, kehadiran satelit LEO tidak serta-merta menggoyahkan industri satelit GEO. Belum lagi, keberlanjutan usaha Starlink juga menjadi kekhawatiran banyak pihak.
Berdasarkan situasi itu, maka penggabungan antara satelit LEO dan satelit GEO oleh perusahaan penyedia layanan internet menjadi solusi terbaik untuk pemerataan akses internet dan peningkatan kualitas internet sesuai kebutuhan masyarakat.
Kedaulatan siber
Di balik berbagai keunggulan satelit LEO, model bisnis Starlink yang menjual layanan internet langsung ke konsumen (business to consumer/B2C) menjadi persoalan di banyak negara. Bukan karena perusahaan layanan internet lokal menjadi goyah, melainkan banyaknya ketidakjelasan dalam operasional satelit Starlink dan adanya potensi ancaman terhadap ketahanan dan kedaulatan negara.
Model penjualan langsung ke konsumen itu merupakan model bisnis yang diterapkan di AS. Namun, saat akan menjual jasanya ke negara lain, banyak aturan yang harus dipenuhi. Meski melayani suatu negara, Starlink tidak membangun stasiun bumi (gateway) di setiap negara, seperti pada layanan satelit GEO. Satelit Starlink memiliki teknologi inter-satellite link (ISL) yang memungkin komunikasi antarsatelit dan selanjutnya langsung ke stasiun bumi yang ada.
Ukuran terminal penangkap sinyal Starlink juga kecil, sekitar 50 sentimeter x 30 sentimeter, berat 4,2 kg, dan hanya butuh daya listrik 50 watt. Dengan dimensi kecil itu, terminal Starlink mudah dibawa dan dipasang di mana saja, termasuk di hutan belantara.

Antena penangkap sinyal satelit Starlink. Pemasangan antena ini dirancang mudah dan bisa dilakukan siapapun hingga mengurangi biaya pemasangan alat. Untuk menempatkan antena pun ada aplikasi yang bisa diunduh guna menentukan tempat terbaik memasang antena hingga bisa menerima sinyal dengan baik.
Kemudahan mendapat sinyal Starlink dan tidak adanya stasiun bumi di setiap negara akan membuat negara tidak bisa mengendalikan akses internet ke masyarakat. Tanpa adanya kontrol negara, maka isu-isu terorisme, radikalisme, dan separatisme yang beredar di dunia maya dan membahayakan negara tidak akan bisa dicegah. Program penangkalan hoaks dan internet sehat pun tidak bisa dilakukan.
”Karena satelitnya memakai ISL, tidak ada gateway di Indonesia, maka negara akan kehilangan kedaulatan sibernya,” tegas peneliti teknik telekomunikasi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Mohammad Ridwan Efendi, dalam webinar peluncuran kertas kerja kebijakan (policy paper) ”Kedaulatan Siber Indonesia” oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), 18 September 2023.
Kepentingan geopolitik
Di luar urusan ketahanan negara, harga terminal Starlink juga tinggi dan membutuhkan pemeliharaan yang tidak mudah dan tidak murah. Terminal akan senantiasa bergerak karena harus menjejak sinyal dari satelit yang terus bergerak. Karena itu, berkaca pada kasus bantuan panel surya di daerah 3T yang banyak terbengkalai karena lemahnya pemeliharaan, penggunaan satelit LEO di daerah 3T oleh masyarakat langsung perlu dipertimbangkan matang.
Ketua tim peneliti kertas kerja kebijakan ”Kedaulatan Siber Indonesia” yang juga Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI, Muhamad Syauqillah, mengatakan, Starlink banyak dimanfaatkan pemiliknya untuk mendapat keuntungan bisnis dengan memanfaatkan situasi geopolitik global.
Baca juga: Pelajaran Perang Semesta Abad Ke-21 dari Ukraina
Starlink digunakan untuk membantu tentara Ukraina dalam perang Rusia-Ukraina dengan meminta bayaran kepada Pemerintah AS dan Uni Eropa sebesar 120 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,8 triliun untuk pemakaian dari Februari 2022-September 2022 dan 400 juta dollar atau sekitar Rp 3 triliun untuk penggunaan setahun berikutnya.
Starlink juga dipakai untuk membantu demonstran di Iran dalam unjuk rasa terkait kematian Mahda Amini pada September 2022 seiring pemblokiran media sosial oleh pemerintah setempat. Saat gempa Turki Februari 2023, Starlink juga menawarkan bantuan internet tetapi ditolak karena lemahnya pengawasan dan mudahnya sistem satelit Starlink mendapatkan informasi sensitif.
Sementara peneliti China pada Februari 2022 mengingatkan adanya hubungan erat antara Starlink dengan militer dan intelijen AS. Starlink dan induk perusahaannya, SpaceX, menjalin sejumlah kerja sama dengan militer AS. Bahkan, aturan perundang-undangan di AS juga mewajibkan penyedia layanan komunikasi elektronik di AS, termasuk Starlink, untuk memberikan informasi intelijen yang mereka miliki.
Ancaman disintegrasi
Dari kondisi itu, kajian Ariesta Satryoko dan Arthur JS Runturambi di Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Volume 3 No 1 2020 telah mengidentifikasi dampak jika Starlink diberikan kesempatan melayani langsung masyarakat di Papua. Starlink dikhawatirkan akan menghidupkan kelompok kekerasan bersenjata dan gerakan separatis di Papua, menjadi alat spionase bagi AS, hingga alat untuk menekan Indonesia.
”Ada potensi ancaman bagi Indonesia jika keberadaan Starlink tidak dimitigasi secara baik oleh regulator di Indonesia,” kata Syauqillah. Jika negara tidak bisa mengendalikan perusahaan layanan internet, itu bukan hanya akan merepotkan pemerintah, melainkan juga bisa memicu disintegrasi bangsa.

Jaringan internet di Jayapura dibatasi Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak Senin (19/8/2019).
Tidak murah
Meski kehadiran Starlink terlihat indah dengan segala teknologi dan kualitas internet yang diberikan, pada praktik di lapangan tidak seindah bayangan. Dibandingkan layanan internet lainnya di AS, Starlink menghadirkan internet berkecepatan tinggi antara 50 megabit per detik (Mbps) hingga 200 Mbps dan tanpa ada batas kuota. Namun, kecepatan yang dirasakan pelanggan umumnya lebih kecil dari itu akibat persoalan jaringan.
Kualitas layanan yang baik tentu juga selaras dengan biayanya. Seperti ditulis Forbes, 4 Juli 2023, harga terendah untuk berlangganan Starlink di AS mencapai 110 dollar atau sekitar Rp 1,7 juta per bulan dan biaya peralatan yang dibayarkan sekali sebesar 599 dollar atau Rp 9,3 juta. Sementara biaya dari penyedia jasa internet lain di AS ada yang hanya 30-50 dollar per bulan atau Rp 460.000-Rp 775.000 dengan tingkat kepuasan konsumen yang lebih tinggi.
Selain itu, banyak daerah di AS masih masuk dalam daftar tunggu layanan Starlink. Banyak daerah perdesaan di AS juga belum terjangkau Starlink. Penggunaan terminal penangkap sinyal satelit juga menimbulkan masalah karena harus dipasang tinggi agar bisa menjejak sinyal satelit, terutama di daerah perkotaan. Jika komponen terminal rusak, maka harus membeli terminal baru. Pengguna Starlink di AS juga masih mengkhawatirkan keberlanjutan proyek ini.
Baca juga: Saat SAtelit Elon Musk Bakal Jualan Eceran di Tanah Air
Dengan berbagai kondisi itu, maka memberikan hak labuh Starlink pada perusahaan layanan satelit di Indonesia, seperti yang sudah berlaku sekarang, menjadi pilihan terbaik. Pemerintah tetap bisa mengendalikan internet, tetapi juga mempercepat pemberian akses ke masyarakat. Telkomsat sebagai pemegang hak labuh Starlink juga telah memberikan layanan Starlink ke daerah 3T, termasuk di provinsi baru Papua Pegunungan.
Kalaupun Starlink tetap ingin memberikan layanan langsung, berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh aturan perundang-undangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tetap harus dipegang teguh. Jangan korbankan kedaulatan negara hanya demi kepentingan semu dan sesaat sekelompok golongan.
Banyak negara juga menolak layanan Starlink dengan berbagai alasan, khususnya terkait keamanan negara. Penilaian teknologi yang masuk dengan karakter penggunaan teknologi oleh masyarakat juga perlu diukur sehingga kehadiran teknologi yang seolah-olah indah itu tidak merugikan masyarakat.
Indonesia memiliki kesenjangan digital yang tinggi. Upaya untuk mengatasi kesenjangan itu memang butuh waktu. Satelit Satria-1 yang diluncurkan Juni 2023 diperkirakan akan mulai melayani masyarakat pada akhir 2023 atau awal 2024. Sesuai tujuan awal, Satria-1 diperuntukkan untuk melayani kebutuhan internet di daerah 3T.
Akhir tahun ini, akan ada juga Satelit Nusantara 5 milik PT Pasifik Satelit Nusantara yang memiliki kapasitas sama besar dengan Satria-1 dan sebuah satelit milik PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat) akan meluncur ke orbit. Saat ketiga satelit itu sudah melayani masyarakat, maka kapasitas internet Indonesia akan meningkat signifikan meski masih akan ada kekurangan mengingat besarnya kebutuhan internet di Indonesia.
Kehati-hatian tetap diperlukan dalam menghadapi teknologi baru, termasuk satelit Starlink. Karena bagaimanapun, Starlink bukanlah ”starling” alias pedagang kopi keliling yang bisa menjajakan dagangannya langsung ke konsumen. Ada aturan yang harus selalu ditegakkan, masyarakat yang wajib dilindungi, dan kedaulatan negara yang harus senantiasa dijaga.