Lagu Bisu Para Bissu
Jauh sebelum agama masuk di Sulawesi Selatan, bissu dipercaya sebagai orang suci yang menjadi penghubung manusia dan Sang Pencipta. Kini keberadaan mereka sebagai penjaga budaya kian tersisih.
Bagi para bissu di Bone, Sulawesi Selatan, beberapa tahun terakhir adalah masa sulit. Jangankan melakukan pentas di panggung, sekadar melakukan memmang pun sulit. Memmang adalah ritual merapal doa dan mantra yang ada dalam naskah La Galigo.
Merasa diintai, khawatir diprotes, dicekal, dan beragam bentuk lain membuat bissu kerap merasa terancam. Memang tak semua masyarakat, tapi ada saja kelompok tertentu yang tak menginginkan kehadiran mereka.
”Persoalannya kami dan aktivitas yang kami lakukan dibenturkan dengan agama. Ritual kami dituding sebagai musyrik dan bid’ah. Padahal, bissu dan aktivitasnya adalah hal berbeda dan tak bisa disangkutpautkan dengan agama mana pun,” kata Puang Matoa Anchu, satu-satunya bissu yang tersisa di Bone.
Yuyun, seorang passere (penari pengiring bissu), mengatakan, yang lebih menyakitkan, kelompok-kelompok yang membenturkan dengan agama ini juga menyebut bissu sebagai pembawa sial dan bencana.
Ditemui di rumahnya di Bone, Senin (18/9/2023), Anchu yang terlahir dengan nama Syamsul Bahri tak bisa menutupi kerisauannya. Bukan hanya perihal bissu yang kian tersisih, dia risau pada proses regenerasi yang tak jalan.
Melakukan ritual, berlatih merapal doa dan mantra dalam bahasa Bugis kuno, hanyalah sebagian dari proses yang harus dilalui untuk menjadi bissu. Mereka juga harus rutin melakukan ritual mattangngabenni (tengah malam), maddeniari (subuh), mattangesso (siang), dan mallabukesso (petang).
Dalam empat waktu ritual ini, selain melakukan memmang, mereka juga melatih untuk menyatukan alam pikir dan hati sekaligus belajar membaca isyarat dan firasat. Saat melakukan ritual ini, sejumlah peralatan pelengkap harus ada. Kerap ritual ini harus diiringi bunyi-bunyian. Bissu juga akan massere (melakukan gerakan serupa tarian) tertentu.
”Bagaimana kami bisa melakukan itu jika setiap saat kami merasa diintai, kami khawatir dituding melakukan hal berbau musyrik. Tak ada tempat untuk berlatih. Di rumah sendiri terbatas. Untuk jadi bissu, harus terlatih melakukan semua ritual hingga mahir, terutama menghafal mantra dari naskah dalam bahasa Bugis kuno. Selain latihan, tampil di pentas juga bagian dari melatih kesiapan menjadi bissu,” kata Ancu.
Dicekal
Ancu tak pernah lupa kejadian tahun 2022 lalu saat dia dan rekan-rekannya dilarang tampil pada HUT Kabupaten Bone. Saat itu, berbulan-bulan dia melatih 40 orang yang dipersiapkan untuk tampil pada puncak acara tersebut.
Selama turun-temurun, bissu punya peran penting dalam HUT Bone, yakni melakukan ritual pencucian benda pusaka warisan kerajaan. Pencucian ini adalah rangkaian penting dalam acara HUT Bone. Di masa lampau, segala ritual terkait praktik spiritual, pertanian, sosial kemasyarakatan, terlebih pelantikan raja, mutlak melibatkan bissu.
”Saat semua sudah siap hingga kostum dan berbagai perlengkapan, empat hari sebelum acara, kami dikabari bahwa kami dilarang tampil. Saat itu, kami hanya diberi tahu bahwa pejabat penting di provinsi tak ingin kami dihadirkan. Tentu saja saya dan yang lain sangat kecewa,” katanya.
Bukan semata soal larangan tampil yang membuat Ancu kecewa. Dia jauh lebih sedih karena sebenarnya acara itu menjadi rangkaian proses untuk melakukan regenerasi.
Susah payah dia mengajak sejumlah orang yang dinilai bisa dilatih. Sebagian besar yang dipanggil adalah orang-orang yang memiliki usaha dan beragam kesibukan. Mereka juga sudah mengiyakan untuk ikut dalam rangkaian proses panjang menjadi bissu seusai perhelatan HUT Bone. Untuk itu, mereka rela walau sering meninggalkan usaha dan berbagai kegiatan lain.
”Mereka akhirnya menyatakan tak lagi berniat menjadi bissu. Hanya tersisa delapan orang yang masih setia. Mereka adalah orang-orang lama yang sering saya libatkan dalam sejumlah pentas sebelumnya atau dalam acara adat. Saya berharap ada dari mereka yang bisa melanjutkan generasi bissu. Tapi, dengan situasi seperti sekarang, rasanya sulit,” kata Ancu.
Walau selama 2022 Ancu beberapa kali tampil di sejumlah pentas di luar Sulawesi hingga luar negeri, dia tetap gamang. Ini jika melihat fakta betapa kehadiran dan peran bissu di daerah asalnya sendiri kian tersisih.
Penjaga budaya
Jauh sebelum Islam dan beragam agama lain masuk ke Sulawesi Selatan, suku Bugis sudah mengenal kepercayaan pada Pemilik Semesta dan Kehidupan. Bissu dipercaya sebagai orang suci yang menjadi penghubung antara manusia dan Sang Pencipta. Kaum yang memiliki percampuran jender ini juga dianggap memiliki pengetahuan tentang berbagai tradisi dan kearifan hidup.
Suku Bugis mengenal lima jender, yakni makkunrai (perempuan), oroani (laki-laki), calalai (perempuan yang condong ke sifat laki-laki), calabai (laki-laki yang menunjukkan kecenderungan sifat dan gaya perempuan). Adapun bissu adalah gender kelima. Bissu bukan lelaki, bukan pula perempuan, tapi orang suci yang mewakili semua jender.
Pakar filologi Universitas Hasanuddin, Nurhayati Rahman, mengatakan, dalam naskah La Galigo jelas disebutkan tentang bissu. Mereka turun ke bumi bersamaTo Manurung(orang pertama yang turun ke bumi). Bersama To Manurung, turun pula arajang (istana), bendera, senjata, dan beragam benda kerajaan. Bissulah yang memegang peran penting sebagai penjaga barang kerajaan.
Mereka dianggap orang suci karena percampuran jender. Karena itu, mereka menjadi rohaniwan dan penghubung manusia dengan dewa langit (Botti Langi) dan dewa bawah laut (Buri’ Liung). Pentingnya peran bissu di masa lalu membuat kelompok ini diberi rumah tinggal dalam kompleks istana dan juga lahan pertanian. Segala keperluan hidup mereka disiapkan kerajaan.
Saat ini di Sulsel hanya tersisa empat bissu, masing-masing satu di Bone, Pangkep, Soppeng, dan Wajo. Serupa di Bone, bissu di tempat lain juga kian tersisih. Padahal, biasanya bissu dilibatkan dalam acara adat, seperti rangkaian acara pernikahan, pertanian, dan menjaga benda pusaka.
Dalam proses pernikahan, bissu memegang peran penting, mulai dari menentukan hari baik, menyiapkan perlengkapan, dan memimpin serangkaian ritual. Pada pertanian, petani tak akan menanam padi sebelum bissu menentukan hari baik. Bissu pula yang memimpin penanaman dengan memasukkan benih pertama. Bagi sebagian warga, masih lekat kepercayaan bahwa sentuhan bissu membuat panen akan berhasil.
Di Sulsel, bissu sebagai orang ataupun bagian kesenian tradisi dan budaya sudah melalui fase panjang. Keberadaannya mulai hilang bermula saat terjadi pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakkar. Saat itu bissu banyak dibunuh. Di era pemerintahan Soeharto, ada lagi yang disebut Operasi Mappatoba’ (pertobatan). Ini membuat banyak yang berhenti menjadi bissu atau bersembunyi.
Namun, di Bone, bissu perlahan kembali muncul karena masyarakat masih memahami perannya. Di Pangkep, bissu masih dilibatkan terutama dalam pertanian. Namun, belakangan eksistensi mereka kembali terancam. Kehadiran kelompok tertentu dan kelompok garis keras yang membenturkannya dengan agama membuat bissu kembali tersisih.
”Saya selalu bilang ke kelompok penganut garis keras bahwa seharusnya kita menikmati sekaligus memaknai kehadiran bissu sebagai produk dan keragaman budaya. Jangan melihat dari soal jenis kelamin maupun kepercayaannya karena tidak ada kaitannya. Apa yang mereka lakukan lebih terkait budaya, tradisi, dan itu sudah ada jauh sebelum masyarakat mengenal agama yang banyak dianut saat ini,” kata Nurhayati.
Situasi yang terjadi saat ini memang membuat ritual memmang,massere, maggiri’ (menusukkan benda tajam ke bagian-bagian tubuh) kian sulit disaksikan. Bissu kini hanya bisa melakukan memmang dan massere dalam diam. Lagu bissu kini adalah senandung bisu.